PEKUBURAN SERDADU BELANDA PEUCUT KERKHOF SAKSI KEDAHSYATAN PERANG ACEH
Latar Belakang Perang Aceh
Perang Aceh–Belanda atau disingkat Perang Aceh adalah perang antara Kesultanan Aceh melawan Belanda dimulai pada 1873 hingga 1904. Kesultanan Aceh menyerah pada Januari 1904, tapi perlawanan rakyat Aceh dengan perang gerilya terus berlanjut.
Perang Aceh adalah perang yang paling menyengsarakan Belanda pada masa kolonial, menurut Wikipedia, tercatat lebih dari 100.000 tentara Belanda yang tewas sedang dipihak Aceh berkisar antara 60.000 sampai 70.000 tentara tewas dan 100.000 penduduk sipil dibantai oleh Belanda. Oleh karena sangat banyak serdadu Belanda yang tewas di Aceh maka Belanda membuat sebuah kompleks pekuburan yang dinamakan “Peucut.”
Sejarah nama Peucut menurut Hikayat Aceh (Oral Tradisi)

Nama Pekuburan Peucut diambil dari julukan Meurah Pupok yang telah ada jauh sebelum Belanda datang ke Aceh
Sebelum Belanda menggunakan kompleks tersebut sebagai pekuburan tentaranya yang tewas dalam peperangan diseluruh Aceh, kompleks tersebut telah lebih dahulu terdapat kuburan-kuburan orang-orang Aceh yang terkemuka, bahkan disana terdapat pusara putera Sultan Iskandar Muda, Meurah Pupok yang terbunuh setelah menjalani hukuman cambuk yang dilakukan oleh Sultan sendiri.
Peucut sendiri berasal julukan dari Meurah Pupok yang sering disebut Pocut (Anak Kesayangan) kemudian seiring zaman berubah menjadi “Peucut”. Pada saat Sultan Iskandar Muda menghukum puteranya inilah lahir hadist maja (Ungkapan atau pribahasa Aceh) yang berbunyi “Mate anuek mupat jirat. Gadoh adat pat tamita.” Artinya “Mati anak diketahui dimana makamnya, hilang adat (hukum) kemana hendak dicari.”
Sejarah berdirinya Pekuburan Peucut Kerkhof berdasarkan pencatatan Belanda.
Pekuburan “Peucut”, adalah nama sebuah tempat dimana serdadu-serdadu Belanda dikuburkan di Banda Aceh, menjadi salah satu bahan penelitian yang sangat berguna bagi kita dalam mempelajari keadaan Aceh pada zaman penjajahan Belanda melalui catatan yang tertulis pada makam-makam tersebut. Sejarah tentang penamaan “Peucut” berdasarkan catatan Belanda masih sangat samar dan kurang jelas.
Kepada mereka yang berminat pada sejarah Aceh tulisan ini untuk memberikan keterangan tentang beberapa hal antara lain: Apa dan bagaimana serta mengapa makam pahlawan Belanda tersebut disebutkan “Peucut?” Sebagaimana yang kita ketahui generasi sekarang nyaris dikenali lagi dengan nama “Peucut“. Antara lain akibat nama makam para pahlawan Belanda di Aceh disebut dengan sebutan “kerkop” saja.
Mungkin kita patut heran, mengapa nama “Peucut” yang didokumentasikan oleh Belanda dalam berbagai tulisan sebagai nama tersendiri bagi “Kerkhoff” di Banda Aceh, kemudian hanya disebut dengan sebutan “kerkop” saja, maka timbulah dugaan, bahwa “Peucut” itu mungkin berasal dari nama kampung makam para pahlawan Belanda sebelumnya, letak Peucut berdekatan dengan kampung yang kini telah resmi bernama Blower, yang berasal dari nama “Kebon Belower”.
Asal Usul Kampung Blower
Peucut terletak pada kampung Blower di Kota Banda Aceh. Dan jika ditarik sejarahnya kalau orang menceriterakan “Peucut” dengan sendirinya orang tak boleh melupakan kebon “Belower” yang berasal dari nama seorang Yahudi, yakni BOLCHOVER, pada awalnya adalah “Padang Nalueng lakoe” (alang-alang). Ketika Belanda datang, mereka menjadikan daerah ini menjadi lapangan pemeliharaan dan perawatan kuda-kuda peperangan (Kavaleri), kemudian dibeli oleh tuan Bolchover untuk seterusnya menjadi kompleks perkebunan, masih samar-samar perkebunan apakah gerangan yang kini telah meninggalkan nama dengan sebutan yang populer “Belowor” atau “Belower”, nama ini terdapat pula di Meulaboh (Aceh Barat) karena disanapun terdapat apa jang dinamakan “kebon Belowor”, sebelumnya dikenal dengan nama kebun Sam Su Lo.

Nama-nama serdadu Belanda yang tewas di Aceh tertulis pada dinding dekat gerbang pintu masuk “erepoort” Peucut Kerkoff yang terletak dikampung Blower (sekarang).
Pada masa lalu kebon Belowor memiliki konotasi yang sangat negatif. Bila orang menyebutkan nama tersebut, orang langsung menghubungan sebutan itu dengan hal-hal berkaitan dengan sex liar, tetapi syukurlah sekarang ini di kampung Blower itu telah terdapat masjid sebagai pusat pertemuan dan keagamaan masyarakat perkampungan disana.
Mereka yang dimakamkan di “Peucut” Kerkhof
Pada makam-makam ini telah dikuburkan lebih dari 2.200 orang tentara Belanda, dari serdadu biasa sampai Mayor Jenderal, dari suku-suku bangsa Indonesia, bangsa Belanda serta bangsa-bangsa lain yang menjadi serdadu upahan Belanda. Diantara kuburan-kuburan itu masih terdapat catatan yang dapat dibaca nama, pangkat serta tahun serta tempat mereka tewas. Nama-nama mereka diukir demikian indah pada marmer yang merupakan dinding pintu gerbang kehormatan “erepoort” makam para pahlawan Belanda tersebut.
Menurut keterangan dari seorang pensiunan K.N.I.L (Kesaksian tahun 1975) dikatakan bahwa yang telah dikuburkan di “Peucut” masih belum sampai sepertiga dari keseluruhan korban perang Aceh dipihak Belanda, karena masih banyak tertinggal di hutan belukar, pinggir sungai, lurah dan lembah, dan sebagainya di Aceh. Tempat-tempat tersebut menjadi “kuburan” bagi para tentara kolonial Belanda yang belum sempat “di-Peucut-kan” atau dipindahkan.
Dari pencatatan Belanda sendiri, kita ketahui bahwa perwira pertama yang dikuburkan di Peucut seteIah “Peucut” resmi sebagai makam pahlawan mereka dan diberi pintu gerbang kehormatan dengan tugu yang megah itu adalah letnan satu J.J.P. WEIJERMAN jang tewas didalam pertempuran dekat masjid Siem Krueng Kalee pada tanggal 20 Oktober 1883.
Hal ini tercatat dalam buku “DE HEL DEN SERIE”, jilid 8 halaman 25, dengan tulisan sebagai berikut : “Luitenant Weijerman was de eerste Officier die op Peucut na de oprichting van de monumentale poor ter aarde werd besteld”. Artinya “Letnan Weijrman adalah perwira pertama dikuburkan di Peucut setelah lokasi itu dilengkapi bangunan pintu gerbang kehormatan.”
Mengenai tewasnya letnan tersebut dapat kita kutip lagi “Krijgsgeschiedenis van N.I.” jilid 3 halaman 352 – 353 dan sebagai berikut : “De hiernevesns vermelde colonne, te Lamnjong Verzameld herstelde op den 20 sten Oktober de verbroken gemeenschap en veroverde twee der stellingen, waarvan die bij Messig t Siem de voornaamste was. De volgenden dag bleek de derde stelling ontruimd te wezen en verliet de vijand zijn positie ten Zuiden van den weg naar Kroeëng Kalé. De actie had ten gevolge het sneuvelen van luitenant J.J.P- Weijerman en drie minderen, terwijl 3 officieren en 32 minderen werden ge-wond”. Artinya “Kolone yang tersebut disamping ini, berkumpul di Lamnyong, telah memulihkan kocar-kacir mereka dan dapat merebut 2 buah benteng, satu diantaranya yang penting benteng Masjid. Hari berikutnya ternyata benteng ketiga telah ditinggalkan dan musuh meninggalkan posisi mereka sebelah selatan dari jalan menuju Krueng Kalé. Pertempuran itu mengakibatkan tewasnja Letnan Weijerman dan 3 orang bawahannya, sedangkan yang luka-luka dan lain-lainnya terdiri dari 3 orang perwira dan 32 orang para bawahan”.
Belanda mengakui, bahwa tanah Aceh “merupakan perkuburan” bagi tentera mereka, dari masa ke masa sejak Belanda memulai perang terhadap Aceh, di kampung-kampung disini mungkin kita pernah mendengar para orang tua-tua pernah mengatakan bahwa, “dilikót rumoh lön na djeurat kaphé” atau kira-kira di sekitar hutan dulunya ada kuburan kompeni. Di hutan-hutan belantara Aceh banyak terdapat banyak kuburan Kompeuni termasuk kuburan orang-orang rantai yang dipaksa menjadi kuli mereka dimasa itu.
Serdadu-serdadu Belanda yang tewas dalam pertempuran, antara lain di Lhoksukon, Jeuram, Lamia, Blang Keujren, dan sebagainya. Banyak yang telah dikuburkan disana, banyak juga kemudian dibongkar kembali, tulang-belulang mereka saja yang dibawa secara simbolis dan dikuburkan kembali di “Peucut” sebagai satu tanda kemenangan dan kemegahan bagi orang bersangkutan, dapat diumpamakan kehormatannya sebagai bintang “Militair Willemsorde” yang terkenal dengan singkatan M.W O. yang terdiri dari beberapa tingkatan.

Tugu yang terlihat ini bukan kuburan tetapi tugu kehormatan yang dibangun oleh tuan-tuan pemilik kebun Planters di Sumatera Timur dahulu untuk menghormati Ulang Tahun korps Marsose ke-40 tahun (1930) di Aceh.
Belanda sangat berhati-hati menganugerahkan bintang-bintang kepahlawanan, sehingga menjadi sangat terhormat dan dihormati dimasa itu apabila bisa dikuburkan disini. Sebagian besar dari penghuni “Peucut” sejak perkuburan didirikan dan diresmikan sampai akhir kekuasaan Belanda di Aceh (Maret 1942) adalah mereka yang tewas didalam peperangan, diberi gelar “dragers” (pemakai-pemakai) dan bakal “dragers” dari M W.O, bahkan juga “ridder van Oranje Nassau”, sedangkan bintang perunggu yang diberikan adalah”v.t.e.v.” (voor trouw en verdienste) yakni karena kesetiaan, atau jasa banyak dan atau terlalu banyak kepada pemerintah Kolonial Belanda.
Pemakai bintang itu adakalanya seorang serdadu biasa saja, merupakan satu-satu anggota pasukan yang mendapatkannya sedangkan komandan dari pasukan belum tentu bisa mendapatkan bintang jasa, karena “sistim dapat seorang semuanya harus mendapat juga” tidak ada dalam kamus Belanda.
Tanda Kasih di Peucut Kerkhof
Dari batu-batu nisan di “Peucut” yang masih dapat dibaca, terdapat tulisan-tulisan mesra yang mengharukan hati, tentang maksud tulisan dibatu nisan tersebut, baik dari seorang ibu kepada seorang putranya, atau dari seorang isteri terhadap suaminya, maupun dari para sahabat dan rekan-rekan sejawat terhadap seorang “krijgsmakker” (kawan seperjuangan). Semua itu menunjukkan kesungguhan Belanda untuk menundukkan Aceh.
Peucut Kerkhof Bukti Simbol Kepahlawanan

Nisan Mayor Jenderal Kohler yang meninggal dunia terkena tembakan jarak jauh pada saat memimpin agresi pertama Belanda ke Aceh (1873).
“Peucut” bukan saja merupakan satu taman kehormatan bagi Belanda yang masih ada di Banda Aceh, tetapi juga menjadi simbol kemegahan dan kepahlawanan rakyat Aceh yang dengan bersenjatakan “semangat juang yang ikhlas”, rakyat Aceh merupakan tantangan yang tidak boleh dianggap enteng oleh pihak Belanda karena dalam peperangan kuno seperti itu Belanda telah kehilangan beberapa Jenderal diantaranya, Jenderal Pel dan Jenderal Kohler dikuburkan di “Peucut”. Awalnya Jenderal Kohler yang tewas pada expedisi pertama tahun 1873 dimakamkan di Jakarta, pada tahun 1978 jenazah Kohler dipindahkan dari Jakarta (karena digusur) ke Banda Aceh, sedang kuburan Jenderal Demmini dan De Moulin tidak dikuburkan di Peucut. Semuanya sebagai korban perang Aceh dipihak Belanda, yang sangat mempermalukan mereka dihadapan dunia internasional.
Kematian Para Jenderal Belanda di Aceh

Pada disamping pintu gerbang tertulis In Memoriam Generaal-Majoor J.H.R Kohler gesneuveld 14 April 1873
Kematian Jenderal Kohler terjadi di dekat Mesjid Raya Baiturrahman, ia terkena peluru yang ditembakkan oleh pejuang Aceh dari jarak jauh, tembakan jitu itu ketika membuat pihak Belanda menjadi takjub atas ketepatan tembakan pihak Aceh yang tak disangka akan tepat sasaran.

Tugu kuburan Jenderal Major J.L.J.H. Pel di “Peucut”, Sebelum tewas Jenderal ini menjabat “Civiel en Militair Bevelhebber” (Panglima sipil dan militer) di Aceh. Jenazahnya tidak dikuburkan pada monument tersebut. Tetapi disalah satu sudut dikompleks “Peucut” tanpa diberi tanda apa-apa. (Tampak Samping)

Tugu kuburan Jenderal Major J.L.J.H. Pel di “Peucut”, Sebelum tewas Jenderal ini menjabat “Civiel en Militair Bevelhebber” (Panglima sipil dan militer) di Aceh. Jenazahnya tidak dikuburkan pada monument tersebut. Tetapi disalah satu sudut dikompleks “Peucut” tanpa diberi tanda apa-apa. (Tampak Depan).
Kemudian Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel. tewas pada di Aceh Besar, disekitar jembatan Lamnyong. Jenazah Pel dimakamkan di “Peucut” dengan satu tugu pusara (graf-monument) yang agak besar dan bersahaja, dimana masih dapat jelas dibaca nama dan kedudukan perwira tinggi ketika ia menemui ajalnya pada tanggal 24/25 Februari 1876. Menurut keterangan Belanda Pel menderita putus urat nadi.
Mengenal tewasnya Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel ini tertulis pada buku “De Krijgsgeschiedenis van N.I.”, jilid III halaman 183-184, sebagaimana berikut :
“Na een dag rust marcheerden de troepen den 25 sten, te 6 ure voormiddadgs, ongehinderd langs den rand van Pinang en door Langgoegoep en Tonga, naar Kroeëng Tjoet, waar zij te half elf voormiddags aankwamen. Daar opende de vijand van de overzijde het vuur op de compagnie der voorhoede, die, hoewel versterkt met 2 compagnieën en een sectie artillerie, niet in staat was dit vuur tot zwijgen te brengen. Een waadbare plaats werd niet gevonden, maar meer zuidelijk een half afgebroken brug ontdekt, die onder bescherming van laatst genoemde troepen onder het vuur des vijands door de mineurs werd hersteld.
De in actie zijnde troenen passeerden nu de lagune en verdreven de Atjehers, waarna de colonne te 4 ure namiddags het bivak aan beide zijden der kreek betrok.
Daar overleed des avonds te elf ure de Bevelhebber, general Pel, aan een Slagaderbreuk. Evenals de overste RAAFF door de overmatige inspanning van zijn krachten stierf, voordat hij zijn plannen tot bestrijding, der Padri’s had kunnen volvoeren, zo werd ook de door zijn troepen zoo hooggeschatte, dappere generaal Pel, weggenomen, voordat hij de consolidatie onzer vestiging te Atjeh overeenkomstig zijn plan ten einde had kunnen brengen.”
Artinya dalam Bahasa Indonesia;
“Setelah sehari lamanya beristirahat maka para pasukan bergeraklah pada tanggal 25 (Februari 1876) jam 6 sore tanpa suatu halangan sepanjang pinggir Pinang dan melalui Lamgugup dan Tonga (maksudnya Tunggai) ke Krueng Cut dimana mereka tiba jam setengah sebelas malam. Disanalah pihak musuh (maksudnya pasukan kita, Aceh, pen-) mulai membuka serangan bedil dari serangan atas Kompi yang bergerak sebagai pasukan depan yang meskipun diperkuat dengan 2 kompi dan satu seksi pasukan meriam yang ternyata tidak mampu menghentikan serangan Aceh tersebut. Tak dijumpai suatu tempat yang bisa dilewati, tetapi lebih kesebelah selatannya lagi dijumpai sebuah jembatan yang telah setengah rusak/hancur dibawah perlindungan pasukan-pasukan yang disebut belakangan tadi dan kini telah kita perbaiki.
Pasukan-pasukan yang bergerak itu kini melewati naungan air itu dan menghalau orang-orang Aceh kemudian kolonne kita itu selamat tiba pada bivak jang letaknya pada kedua pinggir teluk itu tepat pada jam empat sore.
Disanalah meninggalnya Panglima kita, jenderal Pel, pada jam 11 malam disebabkan karena putus atau pecahnya urat-nadi (slagaderbreuk). Sebagai juga overste RAAFT menemui ajalnya ketika itu disebabkan terlalu penat dan karena tegang penggunaan kekuatan dan daya pikirnya sebelum RAAFT tersebut berhasil melaksanakan rencana-rencananya untuk membasmi kaum Padri, tentu di Minangkabau. Demikian juga matinya Jenderal Pel juga dinilai tinggi dan sebagai jenderal yang berani sebelum ia selesai melaksanakan rencana-rancananya untuk kestabilan kedudukan kita di Aceh.”
Jenderal Demmeni (13 Desember 1886) dan Jenderal De Moulin (7 Juli 1896) meninggal di Aceh tapi kedua jenazah perwira tersebut tidak terdapat di “Peucut” dan kemungkinan kuburan mereka dipindahkan ke Padang atau Jakarta. Nama-nama mereka hanya tinggal dalam buku-buku sejarah, namun meskipun “Peucut” tidak menyimpan tulang-belulang mereka namun nama para perwira tinggi yang memimpin penyerangan dan tewas di Aceh tersebut masih terukir dengan jelas pada ere poort Peucut.
Pekuburan Peucut Kerkhof sebagai bahan sejarah

Monumen Kapitein F. Darlang di “Peucut”. Merupakan satu-satunya monumen yang masih punya sisa patung dada “borstbeeld” walau tanpa kepala lagi.
“Peucut” mendapat nama julukan dari para penulis Belanda ketika itu sebagai perkuburan yang selalu mampu memberikan aspirasi dan bahan-bahan sejarah kepada setiap pengunjungnya terutama bagi mereka yang mengerti bahasa Belanda. Pengakuan para penulis Belanda itu memang benar dan beralasan sebab hampir setiap kuburan ketika itu dapat menerangkan dirinya sendiri pada setiap para pengunjung tanpa diperlukan seorang guide. Tetapi apa yang terlihat di “Peucut” sekarang? Makam para Pahlawan Belanda itu tidak terurus lagi. Kuburan-kuburan itu banyak yang rusak dan yang dirusakkan, tulisan-tulisan hampir pada setiap kuburan telah “dicongkel” dan huruf-huruf sengaja dikorek-korek. Dan yang sangat disesalkan oleh para peminat yang berkunjung ke “Peucut” yaitu dulu terdapat “borstbeeld” diatas kuburnya tetapi borstbeelden ini telah lama hilang sejak Belanda meninggalkan Aceh pada bulan Maret 1942.

Pekuburan “Peucut” dengan batu-batu kubur yang kesepian tetapi masih “bisa bicara” kalau ia tidak dirusak, ia dapat berkomunikasi dengan pengunjungnya yang gemar akan sejarah.
Jika kita dapat membaca tulisan pada makam-makam tersebut maka anda akan tersenyum, bukan karena tidak berperikemanusiaan kepada tentara Belanda yang tewas itu, tetapi karena geli dan agak lucu anda mengenangkan tipu muslihat serta strategi perang orang-orang Aceh dahulu ketika itu sedang berperang dengan Belanda.
Salah satunya adalah kisah Kapten Webb
Orang-orang Aceh ketika itu menciptakan “bom batang kayu” agak serupa dengan bom modern. Bom Kayu ciptaan orang-orang Aceh di Leubeu Minyeuk (Lhoksukon) ketika itu telah mampu menewaskan seorang Divisiecommandant Marechaussee dan beberapa orang anak buahnya ketika mereka berpatroli mencari-cari dan memburu Panglima Polem yang ketika itu masih dikejar-kejar oleh Belanda disetiap hutan belantara antara Pidie, Pase bahkan ke Idi, dimana pun tempat yang ada kecurigaan adanya “de djahat” oleh Belanda.
Kapitein Webb mengalami pecah kepala sehingga jenazahnya tidak diperkenankan dilihat oleh isterinya. “Sepotong batang kayu besar” telah digantungkan oleh seorang prajurit Panglima Polem diatas pohon kayu jang dilewati Webb dengan anak buahnya, disana (atas pohon kayu itu) telah rela berjibaku prajurit Aceh untuk memotong rotan pengikat “bom” tersebut dikala pasukan kecil musuh melewati. Bom jatuh dan tarrrrr kepala Webb berhamburan otak dan pecah seketika. Menurut Belanda, para prajurit Aceh selalu mempunyai orang yang rela mati untuk menewaskan musuhnya lebih banyak serta yang berpengaruh, tetapi syukur orang yang memotong tali tersebut selamat wal afiat dan kembali keinduk pasukannya dengan selamat dengan menghasilkan korban dipihak musuh yang bukan kecil artinya. Inilah sejarah, bukan hanya kisah kapitein Webb saja, ada ribuan serdadu Belanda yang lain diistirahatkan di “Peucut”.
Kisah Letnan H.P. De Bruyn yang tewas di Seunagan (Aceh Barat) tahun 1902
Seorang letnan yang masih muda remaja dan lajang serta pemberani De Bruijn, saat itu akan menikah di pendopo (dulu), tetapi ia memilih untuk “di-Peucut-kan” daripada menjadi “pengantin”. Bagi Belanda, ia dianggap gagah berani.
De Bruyn adalah perwira dengan pangkat letnan satu dari pihak Belanda yang bertugas di Seunangan (Aceh Barat), ia mendapat perintah langsung dari Van Heutsz (Gubernur Belanda di Aceh ketika itu) sendiri. Van Heutsz juga akan mengawinkan De Bruyn dengan seorang gadis anak seorang perwira menengah, perkawinan tersebut akan berlangsung ditempat kediaman Van Heutsz yaitu pendopo gubernur sekarang.
Naas bagi De Bruyn karena dia dan sebahagian besar anak buahnya berhasil disapu bersih oleh para pejuang Aceh dari Seunagan dengan suatu “klewangaanval” yang terkenal itu. De Bruijn menderita terlalu banyak bacokan sehingga ia tak mungkin dirawat lagi. Dia dengan gagah berani mengatakan kepada dokter yang bakal merawatnya dalam medan perang itu (Seunagan) : “Dokter, laat mij maar liggen, ik ga toch dood. Help liever de arme marechaussee’s!” (Dokter, biarkan saja saya ini, saya akan mati. Lebih baik dokter menolong marsose-marsose malang yang lain!).
Mendengar kata-kata De Bruijn demikian itu. maka salah seorang letnan lainnya mendekati tubuh De Bruijn yang penuh luka dan berlumuran darah seraya membisikkan ke telinganya seandainya ia mempunjai pesan-pesan lain. Maka dengan susah payah Bruijn meneruskan wasiatnya: “zeg aan mijn moeder dat ik mijn plicht heb gedaa!” (Katakan pada ibuku bahwa aku telah menunaikan tugas-tugasku!).
Dia tidak ingat dan tidak terpengaruh oleh tunangannya. Sebelum ia menghembuskan nafas terakhir, ia mengucapkan kata-kata kepuasan yang ikhlas bagi perjuangan mereka : “zeg aan mijn moeder, dat ik mijn best heb gedaan!” (Katakan kepada ibuku, bahwa aku telah menjalankan tugasku dengan sebaik-baiknya). Disaat menjelang maut, ia masih lebih ingat kepada ibunya dan kewajibannya sebagai seorang serdadu yang sedang menjalankan tugas. Dan bukan tidak mungkin ada bahkan banyak diantara mereka yang menyerukan : “Leve de Koningin!” (hidup Seri Ratu!)
Adapun luka De Bruijn yang menyebabkan kematiannya adalah luka kena tombak (lanssteek) pada perutnya, yaitu luka pertama yang ditombak dari jarak jauh, setelah ia roboh tanpa sanggup memberi perlawanan maka ia pun dihujani dengan cencangan kelewang yang mengerikan. Ini terjadi sekitar tahun 1902 di Seunagan/Aceh Barat.
Ketika jenazah De Bruijn tiba di Ulee Lheu dengan kapal dari Pemerintah Belanda, maka ketibaannya itu sebenarnya untuk menjadi mempelai atau “raja sehari” sementara tunangannya telah siap-siap mengenakan pakaian pengantin yang dikirim dari Jawa oleh ayahnya.
Van Heutsz dengan tegas berkata kepada calon pengantin perempuan itu: Anakku, De Bruijn telah tiba tetapi ia lebih penting “di-Peucut-kan” daripada duduk bersanding denganmu sekarang ini”. Kita dapat menduga bagaimana gawatnya keadaan pendopo kediaman Van Heutsz ketika itu. Ini adalah kepingan sejarah yang “Peucut” dapat ceritakan kepada setiap pengunjungnya kalau dia tidak rusak.
Aceh Pungo dan Kematian dua serdadu Belanda yang gemar meneliti kebudayaan Aceh, Scheepens dan Schmidt
Letnan kolonel (overste) SCHEEPENS, adalah seorang peneliti terkenal tentang Aceh, begitu pula SCHMIDT yang juga tewas di Sigli pada tahun 1913. Pada tugu tersebut kita akan terkenang betapa konyol Kematian overste Scheepens, padahal ia sebelumnja pernah mendapat luka-luka yang agak lumayan berat dalam berbagai pertempuran dihutan belukar Aceh, dan dia selamat. Adapun luka yang menyebabkan kematiannya akibat tikaman rencong dengan tiba-tiba, dan tidak pernah disangka ketika dia sedang mengetuai satu sidang pengadilan kecil di Sigli. Orang menikamnya adalah Uleebalang Titeu yang mati seketika itu juga dicincang oleh agen-agen polisi yang bertugas sekitar kantor dimana sidang itu bertempat.

Makam Letnan kolonel (overste) SCHEEPENS, yang seorang peneliti terkenal tentang Aceh yang tewas pada tahun 1913.
Sebelum kejadian itu sebenarnya Aceh telah dikenal oleh Belanda sebagai salah satu daerah yang aneh yang dinamakan “Gekke Atjehsche” atau lebih dikenal sebagai “Atjeh Moorden” (Aceh Pungo; Aceh atau Aceh Gila; Indonesia).
Aceh Pungo adalah tindakan nekat seseorang melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda tak peduli apakah ia serdadu, dewasa, perempuan bahkan anak-anak sekalipun. Tindakan ini dilakukan dimana saja, di jalan-jalan, di tangsi-tangsi, atau di taman-taman. Ini terjadi akibat kekerasan Belanda dalam perang Aceh sehingga menimbulkan benci dan dendam yang mendalam bagi keluarga pejuang Aceh yang tersisa, lebih-lebih karena anak, menantu, sanak keluarga atau kaumnya yang telah menjadi keganasan pihak Belanda.
Korbannya tak mesti orang Belanda, terkadang juga bangsa kulit putih lain yang disangka sebagai orang Belanda. Korban Aceh Pungo di Sigli antara lain seorang turis wanita dari Amerika Serikat yang bernama Mrs. Mary Ware yang pernah dijanjikan Scheepens untuk diberikan layanan sebaik-baiknya karena ia sedang mencari bahan untuk menulis buku “FOREIGN COUNTRY THROUGH FOREIGN EYES”.
Kapitein CHARLES EMILE SCHMID, komandan Divisi 5 Korp Marsose di Lhoksukon pada tanggal 10 Juli 1933 mati konyol dengan tiba-tiba diluar dugaan pada suatu pagi cerah dilapangan tempat latihan militer di Lhoksukon. Schmid sedang melihat sekumpulan kecil serdadu berlatih dipagi hari itu. Ia meninggalkan lapangan tersebut untuk pulang tetapi tiba-tiba dilihatnya seorang Aceh melewatinya sambil memberi “tabek” sebuah salam sebagaimana kebiasaan orang Aceh menghormati Belanda. Tabek orang tersebut dibalas oleh kapitein itu tetapi diluar dugaannya, begitu tangan orang yang menghormatinya itu turun, begitu rencong berlabuh pada tubuhnya dan menyebabkan luka yang mematikan. Schmid terhoyong tetapi langsung dibantu oleh beberapa orang serdadu dan ia digotong ke rumah sakit, namun ia tak dapat ditolong lagi. Schmid kini menjadi salah seorang penghuni Peucut.
Menurut sumber Belanda, orang yang menikam Schmid di Lhoksukon itu dinyatakan sebagai “orang yang telah jemu untuk hidup” dan mencari syahid, namanya Amat Leupon. Ia mati dicincang oleh serdadu Asa Baoek yang “atas jasa dan keberaniannya” mendapat bintang salib perunggu.
Fenomena Aceh Pungo
Pembunuhan khas Aceh ini antara tahun 1910 – 1920 telah terjadi sebanyak 79 kali dengan korban di pihak Belanda 12 orang mati dan 87 luka-luka, sedang di pihak Aceh 49 tewas. Puncak dari pembunuhan ini terjadi dalam tahun 1913, 1917, dan 1928 yaitu sampai 10 setiap tahunnya. Sedangkan di tahun 1933 dan 1937 masing-masing 6 dan 5 kali. Adapun jumlah korban dalam perang Belanda di Aceh selama sepuluh tahun pada awal abad XX (1899-1909) sebagaimana disebutkan Paul Van’t Veer dalam bukunya De Atjeh Oorlog tidak kurang dari 21.865 jiwa rakyat Aceh. Dengan kata lain, angka itu hampir 4 persen dari jumlah penduduk pada waktu itu. Angka ini setelah 5 tahun kemudian (1914) naik menjadi 23.198 jiwa dan diperhitungkan seluruh korban jiwa (dari pihak Aceh dan Belanda) dalam kurun waktu tersebut hampir sama dengan yang telah jatuh pada masa perang 1873 – 1899.
Hal ini belum lagi korban yang jatuh setelah tahun 1914 hingga tahun 1942. Sementara pada akhir bulan Nopember 1933 dua orang anak-anak Belanda yang sedang bermain di Taman Sari Kutaradja (sekarang Banda Aceh) juga menjadi korban pembunuhan khas Aceh ini.
Pembunuhan khas Aceh adalah sikap spontanitas rakyat yang tertekan akibat tindakan kekerasan yang dilakukan pasukan Marsose Belanda. Sikap ini juga dijiwai oleh semangat ajaran perang Sabil untuk poh kaphe (membunuh kafir). Di samping itu juga adanya suatu keinginan untuk mendapatkan mati syahid. Dan untuk membalas dendam yang dalam istilah Aceh disebut tueng bila, sebuah istilah yang menggambarkan betapa membara semangat yang dimiliki oleh rakyat Aceh.
Akibat adanya pembunuhan nekad yang dilakukan rakyat Aceh tersebut menyebabkan para pejabat Belanda yang akan ditugaskan ke Aceh berpikir berkali-kali. Dan ada di antara mereka yang tidak mau mengikutsertakan keluarganya (anak-istri) bila bertugas ke Aceh. Malahan ada yang memulangkannya ke negeri Belanda. Para pejabat Belanda di Aceh selalu membayangkan dan memikirkan bahaya Atjeh Moorden tersebut.
Mereka tidak habis pikir, bagaimana hanya dengan seorang saja dan bersenjata rencong yang diselipkan dalam selimut atau bajunya para pejuang Aceh berani melakukan penyerangan terhadap orang-orang Belanda, bahkan pada tangsi-tangsi Belanda sekalipun. Oleh karena itu, ada di antara orang Belanda yang menyatakan perbuatan itu “gila” yang tidak mungkin dilakukan oleh seorang yang waras, maka timbullah istilah di kalangan orang Belanda yang menyebutnya Gekke Atjehsche (orang Aceh gila), yang kemudian populer dengan sebutan Aceh pungo (Aceh Gila).
Untuk mengkajinya pihak Belanda mengadakan suatu penelitian psikologis terhadap orang-orang Aceh. Dalam penelitian itu terlibat Dr. R.H. Kern, penasihat pemerintah untuk urusan kebumiputeraan dan Arab, Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa perbuatan tersebut (Atjeh Moorden) termasuk gejala-gejala sakit jiwa. Suatu kesimpulan yang mungkin mengandung kebenaran, tetapi juga mungkin terdapat kekeliruan, mengingat ada gejala-gejala yang tidak terjangkau oleh dasar-dasar pemikiran ilmiah dalam Atjeh Moorden tersebut. Menurut R.H. Kern apa yang dilakukan rakyat Aceh itu adalah perasaan tidak puas akibat mereka telah ditindas oleh orang Belanda karena itu jiwanya akan tetap melawan Belanda.
Dengan kesimpulan bahwa banyak orang sakit jiwa di Aceh, maka pemerintah Belanda kemudian mendirikan rumah sakit jiwa di Sabang. Dr. Latumenten yang menjadi kepala Rumah Sakit Jiwa di Sabang kemudian juga melakukan studi terhadap pelaku-pelaku pembunuhan khas Aceh yang oleh pemerintah Belanda mereka itu diduga telah dihinggapi penyakit syaraf atau gila. Namun hasil penelitian Dr. Latumenten tersebut menunjukkan bahwa semua pelaku itu adalah orang-orang normal. Dan yang mendorong mereka melakukan perbuatan nekad tersebut adalah karena sifat dendam kepada Belanda yang dimiliki yaitu tueng bila (Balas dendam). Untuk itu, seharusnya segala tindakan kekerasan jangan lagi dilakukan terhadap rakyat Aceh.
Selanjutnya, pemerintah Hindia Belanda melaksanakan kebijaksanaan baru yang dikenal dengan politik pasifikasi lanjutan gagasan yang dicetuskan oleh C. Snouck Hurgronje. Sesuatu politik yang menunjukkan sifat damai di mana Belanda memperlihatkan sikap lunak kepada rakyat Aceh, mereka tidak lagi bertindak hanya dengan mengandalkan kekerasan, tetapi dengan usaha-usaha lain yang dapat menimbulkan simpati rakyat.
Pada Peucut Kerkhof Ada Banyak Kuburan Massal

Para Serdadu Belanda yang gugur pada pertempuran menyerang Kampung Kuala Zuid pada tanggal 4 April 1887 dikuburkan dalam satu liang.

Para Serdadu Belanda yang gugur pada pertempuran menyerang Kota Pohama pada tanggal 26 Juli 1889 dikuburkan dalam satu liang.
Pada “Peucut” terlihat oleh anda lapangan-lapangan yang agak luas didalamnya, berkesan bahwa lapangan-lapangan itu tidak berisi, tidak berpenghuni dibawahnya. Nee, oleh Zentgraaff dan Van Goudoever dalam buku mereka Sumatraantjes disebutkan bahwa itu merupakan “massa graven” atau kuburan beramai-ramai dari para marechaussee yang dikuburkan dengan sederhana. Ada juga diantaranya kuburan yang bertanda palang salib atau susunan batu-batu biasa saja tetapi kini banyak yang telah “ditelan waktu” hingga ia menjadi lapangan biasa. Setiap hampir setiap jengkal Peucut penuh dengan kuburan, demikian sebagaimana disebutkan oleh Zentgraaff dan Van Goudoever.
Dikuburkan di Peucut Kerkhof adalah sebuah kebanggaan bagi orang-orang Belanda yang pernah bertugas di Aceh
Tidak sedikit orang-orang Belanda yang pernah bertugas di Aceh yang mewasiatkan andaikata ia mati, agar dimakamkan dï “Peucut” (Aceh) ditengah-tengan semua teman seperjuangannya. Salah satu contoh dari pada masalah ini adalah Gubernur Belanda untuk Aceh yang terakhir dan terkenal bernama A. Ph. VAN AKEN jang meninggal dunia di Jakarta tanggal 1 April 1936 dalam kedudukannya sebagai anggota Dewan Hindia Belanda. Wasiatnya dipenuhi oleh Pemerintah Hindia Belanda dan masyarakat Belanda ketika itu sehingga sampai kini kuburannya terdapat di “Peucut” pada kuburannya terdapat tulisan “Tugu perkuburan ini disumbangkan oleh penduduk Aceh”. Van Aken merupakan seorang alat penjajahan Belanda yang “agak disukai” di Aceh yang pada ketika itu karena usahanya memperbaiki kubah Masjid Raya di Banda Aceh dengan penambahan dari satu kubah menjadi tiga menggunakan biaya dari “Rubberfonds” (Dana Getah tahun 1936) sebelum ia dipindakan ke Jakarta dan meninggal dunia.
Peucut Kerkhof sebagai kenang-kenangan bagi Aceh
Peucut Kerkhof termasuk sebuah kawasan terkena Tsunami Aceh pada tanggal 26 Desember 2004. Meskipun tsunami mengakibatkan hilangnya 50 palang salib sebagai tanda kubur namun secara umum Peucut Kerkhof dapat bertahan menghadapi musibah tersebut.
Dengan selamat dan tetap terpeliharanja “Peucut” bukan saja merupakan satu keuntungan bagi pihak Belanda dan tanda ikatan persahabatan setelah lama bermusuhan antara kedua bangsa, tetapi pun “Peucut” itu akan menjadi sebuah fakta yang dapat bicara mengenai kepahlawanan rakyat Aceh, lebih-lebih mengenai dimasa lampau.
Sejak tewasnya Jenderal Kohler, yang secara simbolis sebagai orang Belanda pertama tewas di Aceh (padahal bukan Kohler pertama tewas melainkan banyak serdadu lain) pada tahun 1873 sampai kepada tewasnya kapitein A J. Haga dalam satu pemberontakan di Lhoong pada tahun 1933, di “Peucut” itu selalu “ada orang yang masuk” sedikitnya dalam jangka waktu seminggu satu orang atau lebih. Dan ini pula yang menyebabkan Belanda selalu mengakui bahwa diantara daerah-daerah di Indonesia yang telah ditaklukkan Aceh adalah yang paling sukar diamankan dan damaikan hingga mereka mencap Aceh “een fanatiek volk” atau bangsa yang menganut “fanatisme” yang bodoh.
Cap demikian boleh saja dilakukan oleh Kolonial Belanda tetapi dibalik itu tentu ada juga orang yang dapat mengerti bahwa mempertahankan kampung halaman bahkan tanah air adalah perbuatan yang mulia. Zentgraaff dalam membandingkan antara orang Aceh dengan orang Belanda, bangsanya sendiri pernah menulis dalam bukunja ATJEH: “nief alle Hollanders zijn helden en niet aüe Atjehcrs zijn verraders!” yang artinya “bukan semuanya orang-orang Belanda itu para pahlawan, dan bukan pula semua orang Aceh itu tergolong sebagai pengkhianat!”
Makam para Pahlawan Belanda “Peucut” adalah bukti dari kepingan sejarah kepahlawanan Rakyat Aceh yang patut dikenang dan dihormati. Kita dapat melihat bahwa Peucut bukan sekadar kumpulan batu-batu nisan yang mati, akan tetapi merupakan monumen-monumen hidup yang menjelaskan tentang keteguhan semangat kesatria dan kepahlawanan Rakyat Aceh dalam menantang penjajahan.

Usai sudah penelitian lapangan di Peucut Kerkhof saatnya pulang dengan menggunakan sepeda motor Suzuki Shogun 125 biru itu. Sampai Jumpa.
Peucut menjelaskan, bukan saja bagaimana dahsyatnya perlawanan Rakyat Aceh menentang penjajahan Belanda, akan tetapi telah menunjukkan bahwa Belanda membayar mahal untuk kehadirannya di Aceh. Kita harus menghargai dan memelihara monumen-monumen bersejarah ini untuk tetap menjadi iktibar dan peringatan bagi anak cucu nantinya bahwa para nenek moyang kita telah berkorban banyak untuk kemerdekaan.
DAFTAR PUSTAKA
- TJOETJE : “PEUCUT” MEMBUKA TABIR SEDJARAH KEPAHLAWANAN RAKJAT ATJEH;
- Hooyer’s: “DE KRIJGSGESCHIEDENIS VAN NED. INDIE” – DEEL III.
- Zentgraaf’s: “ATJEH”.
- Du Croo’s & Schmidt’s: “GENERAAL SWART, PACIFICATOR VAN ATJEH” ;
- GEDENKBOEK KORPS MARECHAUSSEE ATJEH 1390-1940 (susunan majoor Doup);
- ZENTGRAAFF/VAN GOUDOEVER’s “SUMATRAANTJES”;
- SAID’s “ATJEH SEPANDJANG ABAD”;
- MAJALAH ANGKATAN DARAT BELANDA “ONS LEGER” edisi Maret 1972.
- DE HELDEN-SERIE-ATJEHSCH LEGER MUSEUM-1940
- Paul Van’t Veer; De Atjeh Oorlog
Artikel-artikel lain tentang Aceh:
- PEREMPUAN ACEH FULL POWER 4 AGUSTUS 2008;
- MENYUSURI JEJAK DARA PORTUGIS DI ACEH 6 DESEMBER 2008;
- TEUKU UMAR PAHLAWAN 11 FEBRUARI 2011;
- FILOSOFI GOB 10 OKTOBER 2011;
- KEBENARAN YANG SAMAR 28 FEBRUARI 2013;
- GAM CANTOI TIADA 30 MARET 2013;
- PERANG CUMBOK SEBUAH REVOLUSI SOSIAL DI ACEH (1946-1947) 18 JUNI 2013;
- TSUNAMI 26 DESEMBER 2015;
- PERADABAN TANPA TULISAN 25 FEBRUARI 2016;
- SURAT TENGKU CHIK DI TIRO KEPADA RESIDEN VAN LANGEN AGAR TERCAPAI PERDAMAIAN DALAM PERANG ACEH MAKA BELANDA HARUS MEMELUK AGAMA ISLAM DI TAHUN 1885 4 NOVEMBER 2016;
- PARA PENYEBAR KEBOHONGAN 13 NOVEMBER 2016;
- MENGUNJUNGI RUMAH PAHLAWAN NASIONAL CUT MEUTIA 17 APRIL 2017;
- SAMUDERA PASAI SEBAGAI TITIK TOLAK ISLAM DI ASIA TENGGARA, SEBUAH UPAYA MELAWAN PSEUDO SEJARAH 24 APRIL 2017;
- EMAS, KAFIR DAN MAUT 20 APRIL 2017;
- MENGENAL LEBIH DEKAT POCUT BAREN 5 MEI 2017;
- OPERASI PENYERGAPAN BELANDA TERHADAP CUT MEUTIA 7 MEI 2017;
- MENGUNJUNGI PAMERAN BATU NISAN ACEH SEBAGAI WARISAN BUDAYA ISLAM DI ASIA TENGGARA 15 MEI 2017;
- KESULTANAN ACEH NEGARA BERDAULAT PERTAMA YANG MENGAKUI KEMERDEKAAN REPUBLIK BELANDA DARI KERAJAAN SPANYOL DI TAHUN 1602 18 MEI 2017;
- SYARIAT ISLAM SIAPA TAKUT 6 JUNI 2017;
- SENJA DI MALAKA 14 JUNI 2017;
- KRITIK KEPADA SULTAN ISKANDAR MUDA 4 JULI 2017;
- HIKAYAT SUKU MANTE 5 JULI 2017;
- TEUKU NYAK MAKAM, PAHLAWAN ACEH TANPA KEPALA 30 JULI 2017;
- ASAL MUASAL BUDAYA KOPI DI ACEH 1 AGUSTUS 2017;
- MUSIBAH TENGGELAMNYA KMP GURITA 6 AGUSTUS 2017;
- PERANG ACEH, KISAH KEGAGALAN SNOUCK HURGRONJE 7 AGUSTUS 2017;
- ACEH DI MATA KOLONIALIS 8 AGUSTUS 2017;
- MELUKIS SEJARAH 10 AGUSTUS 2017;
- NASIHAT-NASIHAT C. SNOUCK HURGRONJE SEMASA KEPEGAWAIANNYA KEPADA PEMERINTAH HINDIA BELANDA 1889-1936 14 AGUSTUS 2017;
- ACEH SEPANJANG ABAD 16 AGUSTUS 2017;
- PERANG DI JALAN ALLAH 30 AGUSTUS 2017;
- ACEH DAERAH MODAL 7 SEPTEMBER 2017;
- 59 TAHUN ACEH MERDEKA DI BAWAH PEMERINTAHAN RATU 12 SEPTEMBER 2017;
- KERAJAAN ACEH PADA JAMAN SULTAN ISKANDAR MUDA (1609-1636) 13 SEPTEMBER 2017;
- PERISTIWA KEMERDEKAAN DI ACEH 14 SEPTEMBER 2017;
- PASAI DALAM PERJALANAN SEJARAH 17 SEPTEMBER 2017;
- MATA UANG EMAS KERAJAAN-KERAJAAN DI ACEH 19 SEPTEMBER 2017;
- ACEH MENDAKWA 21 SEPTEMBER 2017;
- MISI MENCARI MAKAM PARA SULTANAH ACEH 6 OKTOBER 2017;
- BERZIARAH KE MAKAM SULTANAH MALIKAH NAHRASYIYAH 8 OKTOBER 2017;
- EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM APAKAH BAGUS UNTUK ACEH 15 OKTOBER 2017;
- AROMA MEMIKAT DARI DAPUR ACEH 16 OKTOBER 2017;
- TARIKH ACEH DAN NUSANTARA 29 OKTOBER 2017;
- PEMBERONTAKAN KAUM REPUBLIK KASUS DARUL ISLAM ACEH 17 NOVEMBER 2017;
- TUANKU HASYIM WALI NANGGROE YANG DILUPAKAN SEJARAH 19 NOVEMBER 2017;
- KOPRS MARSOSE SERDADU PRIBUMI PELAYAN RATU BELANDA 8 DESEMBER 2017;
- HIKAYAT-HIKAYAT DARI NEGERI ACEH 16 DESEMBER 2017;
- LEGENDA GAJAH PUTIH SEBAGAI ASAL NAMA KABUPATEN BENER MERIAH; 12 JANUARI 2018;
- SECANGKIR KOPI DARI ACEH; 22 JANUARI 2018;
- ACEH PUNGO (ACEH GILA); 8 FEBRUARI 2018;
- SIAPAKAH ORANG ACEH SEBENARNYA; 6 APRIL 2018;
- ORANG ACEH DALAM SEJARAH SUMATERA; 15 APRIL 2018;
- KETIKA IBNU BATTUTA MELAWAT SAMUDERA PASAI; 16 APRIL 2018;
- KISAH HIDUP LAKSAMANA MALAHAYATI; 18 APRIL 2018;
- PERANAN LEMBAGA TUHA PEUET DALAM MASYARAKAT ACEH PADA MASA LAMPAU; 5 MEI 2018;
- MENYINGKAP MAKNA SYAIR KUTINDHIENG SELAKU MANTRA SIHIR ACEH KUNO; 15 MEI 2018;
- SEJARAH KERAJAAN LAMURI; 24 JUNI 2018;
- KEBIJAKAN POLITIK ISLAM OLEH SNOUCK HURGRONJE SEBAGAI SARAN KEPADA PEMERINTAH HINDIA BELANDA UNTUK MENGHANCURKAN KEKUATAN ISLAM DI INDONESIA; 25 JUNI 2018;
- MASA DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU; 28 JULI 2018;
Pingback: PEUCUT KHERKOFF, ACEH-DUTCH WAR MONUMENT | Tengkuputeh
Pingback: PEREMPUAN ACEH FULL POWER | Tengkuputeh
Pingback: MENYELUSURI JEJAK DARA PORTUGIS DI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: TEUKU UMAR PAHLAWAN | Tengkuputeh
Pingback: FILOSOFI GOB | Tengkuputeh
Pingback: KEBENARAN YANG SAMAR | Tengkuputeh
Pingback: GAM CANTOI TIADA | Tengkuputeh
Pingback: PERANG CUMBOK SEBUAH REVOLUSI SOSIAL DI ACEH (1946-1947) | Tengkuputeh
Pingback: TSUNAMI | Tengkuputeh
Pingback: PERADABAN TANPA TULISAN | Tengkuputeh
Pingback: SURAT TENGKU CHIK DI TIRO KEPADA RESIDEN VAN LANGEN AGAR TERCAPAI PERDAMAIAN DALAM PERANG ACEH MAKA BELANDA HARUS MEMELUK AGAMA ISLAM DI TAHUN 1885 | Tengkuputeh
Pingback: PARA PENYEBAR KEBOHONGAN | Tengkuputeh
Pingback: MENGUNJUNGI RUMAH PAHLAWAN NASIONAL CUT MEUTIA | Tengkuputeh
Pingback: MENGUNJUNGI PAMERAN BATU NISAN ACEH SEBAGAI WARISAN BUDAYA ISLAM DI ASIA TENGGARA | Tengkuputeh
Pingback: SAMUDERA PASAI SEBAGAI TITIK TOLAK ISLAM DI ASIA TENGGARA, SEBUAH UPAYA MELAWAN PSEUDO SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM APAKAH BAGUS UNTUK ACEH | Tengkuputeh
Pingback: PEUCUT | Tengkuputeh
Pingback: KESULTANAN ACEH NEGARA BERDAULAT PERTAMA YANG MENGAKUI KEMERDEKAAN REPUBLIK BELANDA DARI KERAJAAN SPANYOL DI TAHUN 1602 | Tengkuputeh
Pingback: PEMBERONTAKAN KAUM REPUBLIK KASUS DARUL ISLAM ACEH | Tengkuputeh
Pingback: MUSIBAH TENGGELAMNYA KMP GURITA (1996) | Tengkuputeh
Pingback: TUANKU HASYIM WALI NANGGROE YANG DILUPAKAN SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: TEUKU NYAK MAKAM, PAHLAWAN ACEH TANPA KEPALA | Tengkuputeh
Pingback: MELUKIS SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: ACEH SEPANJANG ABAD | Tengkuputeh
Pingback: ACEH DI MATA KOLONIALIS | Tengkuputeh
Pingback: KORPS MARSOSE, PASUKAN PRIBUMI PELAYAN RATU BELANDA | Tengkuputeh
Pingback: MENGENAL LEBIH DEKAT POCUT BAREN | Tengkuputeh
Pingback: SYARIAT ISLAM SIAPA TAKUT | Tengkuputeh
Pingback: SENJA DI MALAKA | Tengkuputeh
Pingback: TARIKH ACEH DAN NUSANTARA | Tengkuputeh
Pingback: AROMA MEMIKAT DARI DAPUR ACEH | Tengkuputeh
Pingback: BERZIARAH KE MAKAM SULTANAH MALIKAH NAHRASYIYAH | Tengkuputeh
Pingback: MISI MENCARI MAKAM PARA SULTANAH ACEH | Tengkuputeh
Pingback: ATJEH MENDAKWA | Tengkuputeh
Pingback: MATA UANG EMAS KERAJAAN-KERAJAAN DI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: PASAI DALAM PERJALANAN SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: PERISTIWA KEMERDEKAAN DI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: KERAJAAN ACEH JAMAN SULTAN ISKANDAR MUDA (1607-1636) | Tengkuputeh
Pingback: ACEH DAERAH MODAL | Tengkuputeh
Pingback: PERANG DI JALAN ALLAH | Tengkuputeh
Pingback: PERANG ACEH KISAH KEGAGALAN SNOUCK HURGRONJE | Tengkuputeh
Pingback: HIKAYAT-HIKAYAT DARI NEGERI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: EMAS, KAFIR DAN MAUT | Tengkuputeh
Pingback: LEGENDA GAJAH PUTIH SEBAGAI ASAL NAMA KABUPATEN BENER MERIAH | Tengkuputeh
Pingback: SECANGKIR KOPI DARI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: ASAL MUASAL BUDAYA KOPI DI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: NASIHAT-NASIHAT C. SNOUCK HURGRONJE | Tengkuputeh
Pingback: ACEH PUNGO (ACEH GILA) | Tengkuputeh
Pingback: MELUKIS SEJARAH - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: KEBIJAKAN POLITIK ISLAM OLEH SNOUCK HURGRONJE SEBAGAI SARAN KEPADA PEMERINTAH HINDIA BELANDA UNTUK MENGHANCURKAN KEKUATAN ISLAM DI INDONESIA | Tengkuputeh
Pingback: OPERASI PENYERGAPAN BELANDA TERHADAP CUT MEUTIA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: PUTROE PHANG JULUKAN DARI TENGKU KAMALIAH SEORANG PUTRI KESULTANAN PAHANG | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: TEUKU NYAK ARIEF SEORANG YANG TULEN BERANI DAN LURUS SEBAGAI RENCONG ACEH DI VOLKSRAAD | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: PENEMUAN ARCA KEPALA ALALOKITESWARA SEBAGAI JEJAK KEBERADAAN PERADABAN AGAMA BUDHA DI ACEH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: REVOLUSI DESEMBER 45 DI ACEH ATAU PEMBASMIAN PENGKHIANAT TANAH AIR | Tengkuputeh
Pingback: PENEMUAN ARCA KEPALA ALALOKITESWARA SEBAGAI JEJAK KEBERADAAN PERADABAN AGAMA BUDHA DI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: CATATAN SEJARAH RANTAI BABI ATAU RANTE BUI DALAM TULISAN YANG DISUSUN KOLONIAL BELANDA | Tengkuputeh
Pingback: PASUKAN MERIAM NUKUM SANANY SEBUAH PASAK DARI RUMAH GADANG INDONESIA MERDEKA | Tengkuputeh
Pingback: LEBURNJA KERATON ATJEH | Tengkuputeh
Pingback: MENAFSIR ALAM MEMBACA MASA DEPAN | Tengkuputeh
Pingback: KISAH HIDUP LAKSAMANA MALAHAYATI | Tengkuputeh
Pingback: HADIH MAJA PENGAJARAN SERTA HIBURAN WARISAN LELUHUR | Tengkuputeh
Pingback: PERANAN LEMBAGA TUHA PEUT DALAM MASYARAKAT ACEH PADA MASA LAMPAU | Tengkuputeh
Pingback: MASA DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU | Tengkuputeh
Pingback: HAME ATAU PANTANGAN ORANG ACEH DARI MASA LAMPAU | Tengkuputeh
Pingback: NILAI SEORANG MANUSIA | Tengkuputeh
Pingback: SEJARAH PARTAI KOMUNIS INDONESIA DI ACEH | Tengkuputeh
Pingback: SEJARAH KERAJAAN LAMURI | Tengkuputeh
Pingback: MENYINGKAP MAKNA SYAIR KUTINDHIENG SELAKU MANTRA SIHIR ACEH KUNO | Tengkuputeh
Pingback: PEUCUT KHERKOF SUATU MASA | Tengkuputeh