RAJA ZALIM DAN MENTERI-MENTERI CELAKA

Seni patung di Mesir dibuat dengan bentuk yang sama paling tidak selama sepuluh abad. Merupakan salah satu mahakarya Fir’aun dan Haman yang digambarkan dalam Al-Quran sebagai raja zalim dan menteri celaka.

RAJA ZALIM DAN MENTERI-MENTERI CELAKA

“Langkah pertama membubarkan suatu bangsa adalah dengan menghapus ingatannya. Menghancurkan bukunya, budayanya, sejarahnya. Kemudian munculkan seseorang yang menulis buku baru, menciptakan budaya baru, dan memalsukan sejarah mereka. Tak lama kemudian bangsa itu akan melupakan dirinya dan sejarahnya. Maka sesungguhnya perjuangan manusia melawan kekuasaan menindas adalah sebagaimana perjuangan ingatan melawan lupa.” Tafsir terhadap kata-kata Milan Kundera dalam bukunya The Book of Laughter and Forgetting diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Kitab Lupa dan Gelak Tawa.

XXX

Kuala Meurisi, circa 1996.

Bayang-bayang awan begitu membelah cahaya bulan memerah di angkasa, angin sepoi-sepoi berhembus pelan dari arah Samudera Hindia. Di pasar malam, para pelancong sedang berbual, para penjaja jajanan berulang memenuhi permintaan, tukang nasi goreng menunjukkan kepakarannya menggunakan spatula mengaduk telur di atas penggorengan di celah-celah asap yang berkepul naik ke atas, di sudut berbeda penjual gulali melambai-lambaikan serat-serat halus berwarna-warni seperti kapas. Pasar malam bergerak seperti orchestra, pergerakan seolah telah dikoreografikan, sebagaimana puisi tercipta dalam gerak.

Situasi Jembatan Krueng Sabee tahun 2006, 2 tahun setelah tsunami Aceh

Abu waktu itu berumur 12 tahun, baru selesai menamatkan Madrasah Ibtidaiyah di Banda Aceh dan liburan untuk masuk ke sekolah menengah. Abu lupa ada keperluan apa, waktu itu Abu diajak pulang kampung oleh ibu ke Mon Mata, Kecamatan Krueng Sabee untuk sebuah urusan. Selepas Maghrib kami bersepeda ke Kuala Meurisi kurang lebih 3 kilometer dari rumah nenek. Tahun 1996 itu adalah kali pertama Abu melihat bagaimana pasar malam, ada rasa takjub bercampur ingin tahu. Sedihnya ini juga merupakan kali terakhir pula Abu melihat pasar malam di sana. Tahun 1996 adalah tahun terakhir kedamaian di pesisir Barat Aceh, tahun nostalgia yang kemudian diikuti oleh tahun-tahun kecemasan, 1997-1998 krisis moneter menerjang Indonesia diikuti 1999-2004 konflik pertikaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan pemerintah pusat merontokkan roda perekonomian, dan akhir Desember 2004 terjadi tsunami Aceh yang mengubah lanskap dan kebudayaan di Aceh. Apa yang pernah Abu lihat di pasar malam di tahun 1996 ini tak akan pernah berulang, alamnya, suasananya, dan orang-orangnya telah punah.

Hiruk pikuk di pasar malam tiba-tiba menemukan keheningan, seluruh pandangan tertuju pada panggung, Abu berbalik dan dari kejauhan melihat seorang berpakaian berumbai-rumbai berwarna merah-ungu-kuning-hijau naik ke pentas. Abu masih keasyikan dengan kacang rebus sayup-sayup terdengar, “Bismillah lon mula surat, deungon nama zat Tuhan nyang Esa, Alhamdulillah laju lon sambat, pujoe hadarat wahidul kaha.”

Kelak bertahun-tahun kemudian Abu baru mengetahui sosok yang memakai bedak tebal seperti badut itu adalah seorang troubadour, berakar dari bahasa Occitan di Perancis selatan yang berarti “menyusun, mengarang, atau mencari.” Di Aceh mereka disebut sebagai ahli peugah haba, meuhaba atau meuhikayat sebagai penutur kisah-kisah yang terkadang menambahkan alat maupun instrumen musik dalam menyampaikan cerita. Malam itu adalah penampilan terakhir karena pasar malam yang telah berlangsung sepekan akan usai, hari ini adalah peunutoh atau penutup cerita.

Lukisan Sultan Iskandar Muda

Alkisah menjelang ajal Sultan Iskandar Muda (Raja terbesar Kesultanan Aceh Darusalam di abad ke-17 Masehi) telah memiliki firasat akan kembali ke rahmatullah. Maka ia memanggil anak menantunya, para menteri dan segenap pembesar kerajaan untuk mendengar petuah darinya. Baginda berkata, “segenap tarikh telah mengabarkan bahwa sepanjang zaman, apa yang diinginkan anak manusia sedari dulu apa yang diinginkan adalah kurang lebih sama, hanya berbeda tempat dan waktu saja, yakni keadilan.”

“Jangan pernah kalian mendiamkan kezaliman, karena ketika kalian berlaku acuh maka suatu hari kezaliman itu akan menimpa kalian. Aceh mencoba membebaskan Malaka (Semenjung Malaya) dari Portugis bukan untuk menguasai, atau nafsu untuk menambah wilayah. Tapi Aceh tak ingin orang-orang Melayu terusir dari tanahnya dan dikuasai oleh bangsa asing untuk kepentingan nafsu angkara murka keserakahan mereka.”

“Ingatlah rakyat kita adalah orang-orang yang berkali-kali telah diperintah oleh raja-raja adil dan saleh, sehingga mereka punyai kenangan bersama (memori kolektif) tentang diperintah dengan sangat baik. Maka dari itu jangan pernah kalian menjadi raja yang zalim dan menteri-menteri yang celaka kepada orang-orang Aceh, karena sejarah telah bercerita dan mereka punya ingatan bagaimana diperintah oleh raja-raja yang adil dan saleh sehingga kalian jika menjadi zalim dan celaka maka sesungguhnya kalian telah merasa terlalu pintar dan begitu bangga pada diri kalian, sehingga cepat atau lambat kalian akan melakukan sesuatu yang mencelakakan atau menghancurkan diri sendiri.”

Ketika menulis ingatan tentang kejadian ini tersimpan rasa jengkel mememukan betapa manusiawi dan adalah fakta bahwa Abu tidak mampu merekam secara penuh kejadian hari itu, sesungguhnya mungkin karena itulah sebuah kenangan bertumpu pada ingatan memiliki keterbatasan.

Sang troubadour meskipun menggunakan bedak yang tebal tidak kehilangan sisi maskulinnya, bagaikan seorang masterpiece dengan brilian menggabungkan, mengacak, mengocok, memplesetkan sekaligus mempermainkan fiksi dan fakta, mimpi dan kenyataan, mitos dan realitas, sejarah dan dongeng dengan cara yang magis.

Kisah ditutup dengan sebuah peunutoh, “La Ilahaillallah, nyang meutuah raya saba, kakeuh tamat ulon surat, nyoe hikayat hai syedara.”

Dalam usia yang sangat muda Abu tertegun, pertunjukan ini memberikan pelajaran kepada seorang anak remaja tanggung di hari itu. Ada begitu banyak tali sejarah yang mengikat dengan sesuatu yang lebih tua, sesuatu yang lebih dulu datang, ingatan bersama turun-temurun dari leluhur. Ada getar membingungkan, yang mengelak dari berahi.

XXX

Langsa, akhir September 2023

Abu terbangun dari mimpi buruk, tertegun sejenak kemudian mencoba mengingat-ingat mimpi apa barusan. Seperti elang Abu terbang mengunjungi Krueng Sabee dan melihat keadaannya sebelum tsunami datang. Wajah orang-orang yang telah tiada, bahkan pohon perlak yang telah ribuan tahun yang sebegitu besar bahkan jika 10 dewasa orang memeluknya tak akan bisa menjangkau lingkarannya, pasir-pasir putih pante di sungai Krueng Sabee, jembatan besinya yang sudah kuno, pasar ikannya, kedai-kedai kayunya, Abu tersenyum bahagia.

Tak lama kemudian dari angkasa Abu dengan mata burung elang kemudian melihat gelombang besar tsunami itu datang dan menghancurkan semuanya, hal-hal yang Abu ingat dan rindukan tesebut menjadi sebuah hamparan padang berlumpur hitam. Betapa pilu mengingat ratusan kaum Abu dari pihak ibu lenyap di hari itu. Ada perasaaan sesak, sesaat kemudian timbul rongga melompong dimana rasa sakit itu mengalir masuk.

Abu kemudian mengingat kenangan di pasar malam Kuala Meurisi di tahun 1996 itu. Bahwa seorang troubadour pernah bercerita, bahwa Sultan Iskandar Muda pernah mengingatkan bahwa: Kekuasaan itu seperti candu. Begitu mencicipinya maka kamu akan menginginkan lebih banyak lagi sampai keinginan itu menguasaimu. Kamu bahkan akan membunuh orang-orang yang kamu cintai jika mereka menghalangimu. Bahwa kekuasaan pun harus tahu batas. Hati manusia lebih kaya dari nafsu atau kejayaan. Sungguh sedikit manusia yang tahu betapa terbatas dirinya untuk memelihara hati nurani dan menahan godaan.

Meriam Besar Milik Kesultanan Aceh yang dirampas Belanda saat Perang Aceh sekarang ada di Bronbeek Museum Arnhem Belanda.

Catatan Kaki: Bukan kita bangsa yang tak mencatat, ketika Belanda mendarat pada ekspedisi kedua di Peunayong tahun 1874 yang mereka pertama kali lakukan adalah membakar perpustakaan dan arsip Kesultanan Aceh yang telah berusia 800 tahun, sebuah tujuan kolonial untuk menghapus sejarah kita, tujuannya adalah memutus kita dengan para leluhur yang agung.

Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cerita, Kisah-Kisah, Mari Berpikir and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

2 Responses to RAJA ZALIM DAN MENTERI-MENTERI CELAKA

  1. Silan Aceh says:

    Izin saya kutip tulisan nya abu

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.