SEPAK TERJANG SNOUCK HURGRONJE SEBAGAI PENASIHAT PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Snouck Hurgronje sebagai Abdul Ghaffar di Arab, kelak diberi julukan Tengku Puteh oleh orang-orang Aceh.

Snouck Hurgronje sebagai Abdul Ghaffar di Arab, kelak diberi julukan Tengku Puteh oleh orang-orang Aceh.

SEPAK TERJANG SNOUCK HURGRONJE SEBAGAI PENASIHAT PEMERINTAH KOLONIAL BELANDA

Christiaan Snouck Hurgronje dilahirkan pada tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout. Setelah tamat Hogere Burgerschool (Sekolah Menengah Lima Tahun, penerjemah) di Breda dan setelah menempuh ujian negara, ia kuliah di Universitas Leiden. Di sana ia menempuh ujian kandidat dalam mata kuliah teologi, setelah itu ia menempuh ujian dalam ilmu sastra Samiyah. Pada tanggal 24 November 1880 studinya di universitas itu berakhir dengan promosi – cum laude – menjadi doktor dalam ilmu sastra tersebut, berdasarkan sebuah disertasi tentang perjalanan haji ke Mekah berjudul Het Mekkaansche Feest (Perayaan di Mekah).

Dari tahun 1881 sampai 1887 Dr. Snouck Hurgronje menjadi lektor pada Lembaga Kota Praja untuk Pegawai Hindia Timur di Leiden dari tahun 1887 sampai 1889 di universitas tersebut. Kurun waktu pertama – 1884/85 – disela oleh waktu bermukimnya di tanah Arab. Pemukimannya di sana memberikan kesempatan yang langka kepada Dr. Snouck Hurgronje untuk dapat ikut menghayati kehidupan penduduk Mekah di pusat akidah kaum muslimin.

Masih terdapat banyak salah paham tentang cara ia berhasil masuk ke Mekah. Sekarang pun masih banyak orang yang menyangka bahwa ia bergerak di sana dengan menyamar dan akhirnya terpaksa meninggalkan Mekah dengan tergesa-gesa, karena ia ketahuan sebagai seorang asing, seorang Belanda yang telah masuk menyelonong ke Mekah secara sembunyi-sembunyi. Dugaan-dugaan seperti ini sering disertai cerita-cerita yang sangat berupa omong-kosong. Bahkan seorang pengarang biografi yang ternama seperti Henriette L.T. de Beaufort pun rupanya percaya kepada penyamaran yang gaib itu. Ia menulis dalam riwayat hidup Cornells van Vollenhoven (halaman 26)” … Ia mengunjungi arsip kota dan arsip mesjid. Sebagaimana pantasnya bagi seorang calon haji yang saleh ia ikut serta dalam semua peribadatan; ia bercakap-cakap dengan rakyat dan bersoal jawab dengan para ulama. Tak seorang pun yang ragu-ragu bahwa bahasa Arab merupakan bahasa asalnya. Seolah-olah dengan lahap ia minum dari sumber-sumber rohani orang-orang yang beriman dalam agama Islam. Kemudian secara mendadak rupanya timbul kebocoran dalam rahasia penyamarannya, sebab surat kabar berbahasa Perancis Le Temps bertanggal 5 Juli ’85 salah ucap berlebih-lebihan dan membuka sedikit-sedikit tabirnya: Abd al-Gaffar sebenarnya seorang sarjana dari Leiden, yaitu Dr. Snouck Hurgronje.”

Sebab kejadian sebenarnya, meskipun tidak seromantis itu, telah digambarkan oleh Snouck Hurgronje sendiri dalam sebuah karangan “Aus Arabien” (Dari Negeri Arab) dalam Münchener Allgemeine Zeitung tanggal 16 November 1885 (dimuat dalam Verspreide Geschriften, jilid III, halaman 1-13) dan dalam sebuah karangan yang terbit dalam Meuwe Rotterdamsche Courant tanggal 26 dan 27 November 1885 yang lebih kurang sama isinya (“Mijne reis naar Arabie”, Perjalanan saya ke negara Arab). Dalam karangan tersebut dilukiskan dengan panjang lebar keberangkatannya yang mendadak dari Mekah tak lama sebelum permulaan ibadah haji yang sangat diharapkannya agar dapat diikutinya. Bersama dengan itu juga diberikan alasan-alasan mengapa ia diperintahkan agar segera pergi.

Bagaimana Snouck Hurgronje dapat masuk ke Mekah? Dengan menyamar? Tidak, kecuali jika pakaian ribuan calon haji lain sebelum dia mau disebut pakaian samaran. Sebab untuk orang yang tahu, yaitu Gubernur Kerajaan Turki dan para pegawainya, Syarif Besar yang berbangsa Arab serta lingkungannya, dan yang lebih penting lagi: bagi banyak alim ulama, ia adalah seorang muslim terpelajar berbangsa Belanda yang telah datang ke Mekah untuk melakukan telaah dan untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah.

Bagaimana hal itu mungkin terjadi di Mekah, suatu tempat di mana orang asing dari Eropa ditolak dan tempat apabila ada orang yang masuk dengan sembunyi-sembunyi dan kemudian ketahuan, tidak terjamin lagi jiwanya? Sesudah tiba di Jedah, pelabuhan untuk Mekah, Snouck Hurgonje yang telah diundang untuk keperluan tersebut di atas oleh konsul yang disertainya dalam perjalanan ke sana, dapat menumpang di Konsulat Belanda. Hubungan-hubungan yang telah diadakan oleh konsul serta agen perkapalan Belanda dengan para syekh (penunjuk jalan calon haji) di Mekah dapat dimanfaatkan untuk mengundang para alim ulama di Mekah untuk mengirim beberapa di antara mereka ke Jedah. Alasannya ialah karena seorang sarjana berbangsa Belanda yang muda yang sedang menelaah agama Islam, ingin berjumpa dengan mereka. Pertemuan itu terjadilah dan setelah diadakan perbincangan tentang pokok agama – Snouck Hurgronje diminta berbicara mengenai itu – dan mengenai beberapa kitab pedoman tertentu yang oleh Snouck Hurgronje sendiri mulai dibicarakannya, maka para tamu dari Mekah menerangkan bahwa sikap Snouck Hurgronje terhadap agama Islam sudah jelas bagi mereka. Kata mereka, “Kami merasa bahwa Anda seorang di antara kami.” Dengan jalan ini terbukalah baginya jalan ke Mekah.

Sarjana yang muda itu telah sempat antara lain berlatih menuturkan bahasa Arab karena di negeri Belanda ia telah tinggal selama tiga bulan dengan seorang Arab yang terpelajar. Setelah lebih kurang pada tahun 1919,  seorang kenalan berbangsa Arab  ia seorang anggota tua perhimpunan para penunjuk jalan yang telah menghadiri perbincangan tersebut di atas. Ketika ditanyakan apakah ternyata Snouck Hurgronje yang ketika itu ditanya oleh para alim ulama, memang fasih lidahnya, maka kenalan saya itu menjawab, “Tidak, ia bukan hanya fasih, tetapi apa pun yang dikatakannya pantas dipikirkan.”

Jadi, bagi orang Mekah yang terpelajar, Snouck Hurgronje bukan sembarang orang asing, juga bukan orang asing bagi seorang dua bangsa Indonesia di antara mereka (lihatlah “Vergeten Jubile’s”, Hari-hari Kenangan yang Terlupakan), Verspreide Geschriften IV, II, halaman 417 dan seterusnya). Bagi khalayak ramai ia hanya salah seorang di antara banyak orang asing yang menonjol, meskipun tampaknya seperti orang Eropa, sebab banyak orang Turki dan Suriah pun berambut pirang dan bermata biru. Adapun para pejabat menganggap dia seorang tamu terpandang.

Wali (gubernur) Turki di Mekah menyatakan penyesalannya karena harus mengusirnya, karena andaikata Snouck Hurgronje lebih lama tinggal di sana, hal itu akan membahayakan hidupnya. Karena berangkat dengan tergesa-gesa, semua catatan dan bahan fotografinya terpaksa ditinggalkannya di Mekah. Tetapi berkat pengurusan dan perantaraan yang baik sekali oleh agen perkapalan di Jedah, semua itu dapat disusulkan kepadanya.

Lebih kurang tiga bulan sesudah keberangkatannya, Snouck Hurgronje menerima surat dari wali tersebut. Dalam surat itu ia diberitahukan bahwa kesalahpahaman telah dijelaskan dan ia akan disambut lagi dengan baik sekali. Snouck Hurgronje menjawab bahwa tujuan perjalanannya telah tercapai dan bahwa ia tidak sempat lagi kembali ke Mekah. Bertahun-tahun kemudian, lebih kurang tahun 1920, kemungkinan ini memang dipikirkannya juga. Akan tetapi, karena ketika itu tidak ada jaminan bahwa ia akan disambut baik, disebabkan oleh sikap Raja Syarif Husein yang berubah-ubah, ia tidak jadi melakukan kunjungan ke sana, meskipun didesak oleh seorang teman lama di Mekah yang tetap melakukan surat-menyurat dengan dia sejak tahun 1883.

Sepucuk surat permohonan yang disampaikannya kepada Pemerintah Belanda pada tahun 1887, agar diperbantukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda guna lebih lanjut menelaah agama Islam dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu selama dua tahun, telah dikabulkan pada tahun 1889. Untuk mencapai hasil ini, masih perlu juga diberikan uraian lisan kepada Menteri Jajahan. Menteri tersebut yakin juga bahwa tugas yang dimohonkan itu akan membuat orang yang bersangkutan mampu memperkaya pengetahuannya, tetapi ia tidak segera memahami faedah yang timbul dari tugas tersebut bagi Pemerintah Hindia Belanda.

Setelah dua tahun yang diperkenankan itu berakhir, Snouck Hurgronje, dalam sepucuk surat pada bulan Mei, 1890 (I-3), menyatakan harapan agar Pemerintah Hindia Belanda hendaknya mendesak agar ia secara tegas diberi ikatan dinas di Hindia Belanda. Arti penting baginya yang terkandung dalam lingkungan kegiatan yang menjadi pilihannya, terbukti oleh kutipan yang berikut dari surat tersebut, “Sebaliknya ikatan dinas pada Pemerintah Hindia Belanda secara tetap, sekarang pun bagi saya masih tetap merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan jabatan guru besar. Sebagaimana telah saya ketengahkan sebelumnya, karena di sini saya menemukan lingkungan kegiatan yang, dengan bersambungnya secara paling sempurna telaah-telaah saya sebelum ini, memberikan kesempatan yang tak ada taranya agar – mudah-mudahan – saya dapat melakukan pekerjaan yang bermanfaat untuk kepentingan Pemerintah dan ilmu pengetahuan.”

Selama ia tinggal di negara Arab, maka percakapan-percakapannya dengan beberapa orang Aceh telah meyakinkan Snouck Hurgronje bahwa tindakan-tindakan yang telah diambil oleh Pemerintah terhadap Aceh telah gagal. Sebabnya ialah karena tidak terdapat pengetahuan tentang negeri dan suku Aceh yang semestinya menjadi dasar tindakan tersebut. Di samping itu, agar dapat memperkuat keyakinan itu dengan bukti-bukti dan agar dapat orang lain menerimanya, perlulah diadakan penelitian di tempat itu juga. Dengan demikian timbullah rencananya – dalam hal ini ia percaya kepada pengalamannya di negara Arab – untuk memasuki daerah pedalaman Aceh mulai dari Penang. Di sana ia hendak menghimpun data yang dapat membantu dalam memecahkan masalah Aceh. Izin Pemerintah Hindia Belanda yang perlu untuk hal itu mula-mula memang diberikan kepadanya, tetapi setibanya di Penang, ternyata terdapat keberatankeberatan sedemikian rupa di pihak Pemerintah di Kutaraja hingga ia terpaksa membatalkan perjalanan penelitian di pedalaman yang hendak dilangsungkannya atas risikonya sendiri.

Bulan Mei 1889, setelah di Betawi, mulailah Snouck Hurgronje menjalankan jabatan pegawai yang diperbantukan kepada Pemerintah Hindia Belanda. Dua tahun berikutnya digunakan untuk penelitian di Jawa Barat dan Jawa Tengah tentang keadaan pengajaran agama Islam dan tentang keadaan apa yang pada zaman itu dirangkum di bawah nama – yang kekeliruannya setiap kali ditunjukkan oleh Snouck Hurgronje -“para rohaniwan Mohammadan” (demikianlah Pemerintah Kolonial Belanda sebagaimana bangsa Eropa lain menyebut agama Islam).

Penelitian-penelitian yang luas tersebut belum sampai pada bagian Pulau Jawa dan Madura selebihnya, ketika Pemerintah menganggap penyelidikan tentang, keadaan religius-politik di Aceh lebih mendesak dibandingkan dengan melanjutkan pekerjaan di Jawa.

Perintah untuk penyelidikan baru dari pihak Pemerintah diberikan bulan Februari 1891. Penyelidikan-penyelidikan yang diadakan secara setempat-setempat guna keperluan itu berlangsung dari bulan Juli 1891 sampai awal bulan Februari 1892. Pada tanggal 23 Mei 1892 Snouck Hurgronje menyampaikan sebuah laporan yang kini tersohor tentang keadaan religius politik di Aceh, yang selanjutnya dalam surat-menyurat mengenai hal itu, selalu dikutip sebagai “Laporan Aceh”. Dengan bermusyawarah dengan pihak Pemerintah diolahnyalah dua bab awal (A dan B) laporan tersebut, yang membahas “pernyataan kehidupan orang Aceh yang di dalamnya pengaruh agama Islam berturut-turut agak berada di belakang dan tegas-tegas terkemuka”. Setelah diolahnya, dimasukkannyalah hasilnya ke dalam bukunya yang berjudul De Atjehers yang terbit pada tahun 1893/1894 (pada tahun 1906 terbitlah sadurannya dalam bahasa Inggris). Kedua bab lainnya (C dan D) dalam laporan itu yang berkenaan dengan “saat-saat utama dalam perang bertalian dengan penggambaran kami tentang watak suku bangsa dan beberapa kesimpulan”, bersama dengan lampiran-lampiran laporan tersebut, telah dimuat dalam karya itu di dalam bab III-I.

Setelah kembali ke Jawa, Snouck Hurgronje, melalui surat-menyurat yang teratur dengan para pengirim beritanya di Aceh (III-20), tetap mengetahui sepenuhnya jalannya hal-ihwal di sana, juga jika ditinjau dari segi orang pribumi. Pada tahun 1898, dua tahun setelah Teuku Umar membelot dan Jenderal Deyckerhoff dipecat, dan ketika Kolonel Van Heutsz diangkat menjadi Gubernur Sipil dan Militer daerah Aceh dan bawahannya, maka Pemerintah memberikan kepada Snouck Hurgronje sebuah tugas yang maksudnya memberikan kepadanya pengaruh yang tetap atas urusan pemerintahan sipil di sana (III-35). Disebabkan perbedaan pandangan, maka berakhirlah kerja samanya dengan Van Heutsz pada tahun 1903. Sesudah itu Snouck Hurgronje tidak kembali lagi ke Aceh, namun ia tetap bekerja untuk daerah itu, biarpun tanpa mengunjunginya.

Di antaranya, untuk mengetahui hubungan antara pemerintahan swatantra pribumi dengan perangkat pegawai, dalam bulan-bulan awal tahun 1901 Snouck Hurgronje sering berada di Jambi dan Palembang. Pada akhir tahun itu pun ia tinggal beberapa pekan di Jambi. Tahun 1903, setelah kepergiannya dari Aceh, dan setelah ia tinggal selama dua bulan di daerah itu dalam rangka pemukiman yang diperpanjang, maka ia berusaha mengadakan perjalanan ke Kerinci, di perbatasan daerah pegunungan Padang (sekarang Sumatra Barat, penerjemah). Setelah ia menumpang perahu ke Bangka, pada pertemuan Sungai Mesuma dengan Sungai Marangin, maka ia berjalan kaki lewat medan yang sangat sulit yang akan makan waktu sepuluh hari untuk sampai ke tempat tujuannya. Tetapi ia terpaksa memutuskan perjalanannya, akibat serangan penyakit malaria, serta kembali lagi.

Juga berdasarkan data yang dikumpulkan selama perjalanan-perjalanan tersebut, maka menjadi mungkinlah bagi Snouck Hurgronje untuk memberikan pandangannya pada tahun 1916 tentang sebab-sebab yang menimbulkan pemberontakan di Jambi dan Palembang.

Data-data yang dikumpulkannya sampai akhir tahun 1902 tentang Tanah Gayo dan penduduknya telah terbit pada tahun 1904 dalam bentuk buku.

Pekerjaan sebagai penasihat Pemerintah bagi urusan di luar Aceh yang juga selama ia tinggal di sana sudah bertambah, meskipun dalam ukuran yang lebih terbatas, dilanjutkan dengan dasar semula setelah kembalinya ke Betawi pada bulan Maret atau April 1903. Hanya saja, jumlah nasihat mengenai pokok-pokok yang aktual dan memerlukan telaah, bertambah sedemikian rupa sehingga tidak ada lagi waktu yang dapat digunakannya untuk melengkapi penelitian yang terdahulu dilakukannya di Jawa Barat dan Jawa Tengah di bidang agama Islam, dengan penelitian serupa di bagian lain Pulau Jawa.

Pada tanggal 12 Maret 1906 berangkatlah Snouck Hurgronje untuk cuti setahun ke negeri Belanda, hampir tujuh belas tahun sesudah tanggal ia memulai kegiatannya di Betawi (11 Mei 1889).

Kenang-kenangan akan kurun waktu terakhir dalam kegiatannya di Betawi, selama masa jabatan Gubernur Jenderal Van Heutsz, kurang menggembirakan baginya. Dalam sepucuk surat bertanggal 11 Oktober 1907 kepada Kolonel Van der Maaten – yang dimuat sebagai lampiran XLVIII dalam jilid II karyanya, Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog (Snouck Hurgronje dan Perang Aceh), terbaca, “Lama-kelamaan bagi saya soal bekerja di Hindia Belanda terasa dibuat pahit-getir karena dengan sengaja ditunjukkan kurangnya penghargaan dan bantuan dari kedudukan yang tertinggi, dan barangkali rasa mudah tersinggung yang telah bertambah pada saya karena sudah lama tinggal di sini, telah menyebabkan saya lebih merasakan kekecewaan tersebut daripada dulu. Namun, hal ini menjadi ‘terlalu berat’ bagi saya.”

Nomor-nomor agenda sejumlah nasihat yang diberikannya sesudah tiba di negeri Belanda masih tetap bertanda V (verlof atau cuti) sampai pada akhir bulan Juli 1906, sesudah itu tidak ada lagi. Dalam bulan berikutnya Snouck Hurgronje telah memberikan jawaban “tidak” ketika ditanya apakah ia akan kembali ke Hindia Belanda. Ini pun sesudah ia berpikir lama. Tentang hal ini harap membaca surat-menyuratnya dengan Kolonel Van der Maaten. Masih juga dalam sepucuk surat tertanggal September 1907 tercantum, “Namun, andaikata kepada saya ditawarkan kesempatan untuk bekerja di sana dengan menghasilkan sesuatu, maka biarpun hal itu akan dilakukan dengan dasar yang dahulu, saya tidak akan berkeberatan.”

Namun, cuti tersebut berubah menjadi pemukiman yang tetap di negeri Belanda. Meskipun begitu, ikatannya dengan Hindia Belanda tidak diputuskannya. Jelasnya, mimbar pengajaran bahasa Arab yang ditawarkan kepadanya, oleh Snouck Hurgronje baru diterima baik setelah Pemerintah mengabulkan syarat yang dikemukakannya. Syaratnya ialah agar hendaknya ia tetap boleh menjalankan jabatan sebagai penasihat dalam urusan-urusan yang menyangkut kepentingan golongan pribumi dan golongan Arab.

Jabatan penasihat mendapat sifat yang lain sama sekali setelah ia bermukim di negeri Belanda. Akibat tuntutan-tuntutan jabatan guru besar, kegiatannya sebagai penasihat Pemerintah seakan-akan mundur ke belakang, sekurang-kurangnya bagi dunia luar. Akan tetapi dalam kenyataannya, sifat ulasan-ulasan serta nada nasihat-nasihat menjadi jauh lebih tajam, khususnya yang mengenai hal-hal yang selama bertahun-tahun menyebabkan dia menunjukkan dengan tegas tindakan-tindakan yang salah atau peraturan yang tidak adil. Juga mengenai soal-soal yang tak kunjung dibuatkan peraturan padahal dianggapnya perlu dan berkali-kali dibelinya demi kepentingan serta kewibawaan Pemerintah.

Didalamnya ia menyalahkan anjuran Pemerintah agar jangan naik haji dengan alasan penyakit atau kerusuhan di Tanah Suci, sebab nasihat semacam itu sia-sia dan oleh penduduk dikira nasihat itu telah didorong oleh hal-hal lain. Yang disebutnya tidak adil, lagi pula sangat tidak bijaksana terhadap mancanegara yang beragama Islam, ialah pembatasan kebebasan gerak bagi orang Arab dari Hadramaut setelah mereka diperkenankan masuk ke Hindia Belanda dan telah menerima izin bermukim. Pers Pan-Islam di negeri-negeri Arab dan Turki, telah berhasil memanfaatkan keluhan keluhan mengenai hal itu, yang sebagian benar dan sebagian dilebihlebihkan atau dikarang-karang; ini sangat merugikan citra Pemerintah Belanda di dunia Islam. Sebagai imbangan terhadap kebiasaan Pemerintah: memperkenankan mereka masuk dengan agak terbatas, sedangkan mereka yang telah telanjur masuk, diberi kebebasan sesedikit mungkin, maka Snouck Hurgronje menyarankan: dengan mengecualikan mereka yang sedikit banyak dapat mengukuhkan haknya karena berkerabat erat dengan orang-orang yang sudah bermukim di Indonesia, seorang pun jangan dibolehkan masuk ke sini mengingat pengaruh orang Arab yang tidak diinginkan dibidang agama. Sebaliknya, mereka yang sudah telanjur masuk, hendaknya diberi kebebasan yang menjadi haknya. Ketika Pemerintah mendapat pengertian lain pada tahun 1921, ternyata telah lewatlah waktu yang tepat untuk mengadakan perubahan peraturan, yang agaknya akan dihargai.

Mengenai pengangkatan penerjemah-penerjemah untuk bahasa-bahasa Turki dan bahasa Arab oleh Departemen Luar Negeri – pengangkatannya sangat perlu demi citra Pemerintah – sehingga Kedutaan Belanda di Konstantinopel tidak lagi perlu menggunakan penerangan dan bantuan para sarjana yang bekerja pada Kedutaan Jerman di kota itu, hal ini ditunggu bertahun-tahun dengan sia-sia. Padahal, penasihat (Snouck Hurgronje) telah mengulas hal ini berkali-kali kepada Pemerintah dengan nada yang tajam.

Adapun larangan naik haji tahun 1915 dan 1916 selama Perang Dunia I yang dipandang mutlak perlu oleh Snouck Hurgronje, untuk melawan Pemerintah Turki sehubungan dengan aksi Pan-Islamnya, tidak diberlakukan oleh Pemerintah. Alasannya ialah menurut anggapan Pemerintah, pada waktu itu bagaimanapun kapal-kapal haji tak dapat berlayar, jadi hasilnya sama juga. Perbedaan paham yang mendalam timbul pula antara Snouck Hurgronje dengan para pegawai pimpinan di Departemen Pemerintah Dalam Negeri di Betawi mengenai pemberian lebih banyak otonomi (kemandirian) kepada pihak Pangreh Praja Pribumi, supaya pemerintahan ganda – Belanda dan Pribumi – berangsur-angsur akan beralih menjadi pemerintahan tunggal dan seluruh tugas dapat diembankan kepada para pejabat pribumi. Yang menjadi syarat’ bagi pewujudan hal ini ialah: meninggalkan pendapat tentang kerendahan budi dan kerendahan kecendekiaan (intelektual) para pejabat pribumi. Suatu pendapat yang dilawannya dengan kekuatan alasannya. Tentang pemberian lebih banyak kemandirian kepada para bupati. Pemberian lebih banyak kewenangan kepada semua bupati secara berangsur-angsur yang diusulkannya di sini dalam ulasan yang tajam, menurut kecakapan dan andal diri mereka sebagai pemimpin mandiri atas dewan-dewan kabupaten, tanpa pengawasan pihak Eropa sedikit pun, tidak diambil alih oleh Pemerintah. Di Jawa dan Madura, kabupaten-kabupaten dibentuk antara tahun 1923 dan 1928 dalam rangka perubahan pangreh praja secara umum. Namun, pengawasan pihak Eropa dipertahankan juga dalam dewan-dewan tersebut.

Perbedaan-perbedaan pendapat seperti yang disebutkan tadi terkadang menimbulkan hubungan yang tegang sekali dengan pihak Departemen Tanah Jajahan. Hal ini tidak akan saya bicarakan secara lebih rinci dan lebih lanjut. Dalam surat bulan Mei 1931 kepada Jenderal Van der Maaten. Baris-baris yang berikut mengesankan – sesudah dijawab permintaannya untuk mendapat keterangan tentang satu peristiwa khusus selama ekspedisi Pidir yang terjadi 33 tahun yang lalu (1898), “Sekaligus karena menulis surat kepada Anda, saya ingin mempermaklumkan kepada Anda bahwa saya baru-baru ini secara agak mendadak, telah menjadi penasihat kehormatan (honoris causa) bagi Pemerintah Perancis untuk politiknya terhadap Maroko… Saya terpaksa mengakui bahwa sukses kecil ini membantu mengatasi beberapa salah penilaian terhadap saya yang telah saya alami di tanah air.” Beberapa sarjana dan pejabat, di antaranya Prof. B.J.O. Schrieke dan Prof. Mr. Dr. F.M. baron van Asbeck yang karena jabatannya mengetahui nasihat-nasihat Snouck Hurgronje yang berharga dan yang tersimpan di dalam arsip Hindia Belanda, menyadari betapa sangat penting artinya untuk mengumpulkan dan menerbitkannya. Dr. R.W. van Diftelen-lah, yang ketika itu menjadi Kepala Kabinet Sekretariat Umum di Bogor, yang membicarakan hal itu selama cutinya, kira-kira tahun 1933, dengan Dr. Snouck Hurgronje. Yang tersebut terakhir ini dapat menyetujui pikiran tersebut, tetapi mengemukakan bahwa untuk hal itu perlu ada izin dari Menteri Tanah Jajahan dan perlulah diperhitungkan bahwa mengenai satu hal yang sama sering telah diberikannya nasihat. Maka, agar jangan membuat bacaannya membosankan karena sering terjadi pengulangan, perlu diadakan suatu pembatasan dan pemilihan. Setelah kembali dari cutinya, Van Diflelen segera mulai menghimpun dan menyuruh menyalin nasihat tersebut. Pada tahun 1940 semua nasihat Snouck Hurgronje yang terdapat di Sekretariat Umum telah dibuatkan salinannya. Salinan ini dengan sekumpulan yang cukup banyak, berupa catatan Van Diflelen dan dua rekan penelaahnya tentang tiga kuliah Snouck Hurgronje  disimpan di dalam lemari-lemari baja. Selama pendudukan Jepang kabarnya lemari-lemari itu telah dibawa oleh orang Jepang dan isinya bertebaran di pekarangan. Surat dan kartu tetap tergeletak di situ dalam segala cuaca. Apa yang masih tersisa katanya telah dihancurkan oleh sejumlah gerombolan yang berkeliaran dan dibakar oleh mereka. Sepanjang yang diketahui, tidak ada sedikit pun yang masih tersimpan.

Sejarah Indonesia:

  1. Teuku Nyak Arief Seorang yang Tulen Berani dan Lurus sebagai Rencong Aceh di Volksraad; 17 Oktober 2018;
  2. Catatan Sejarah Rantai Babi atau Rante Bui dalam Tulisan yang Disusun Kolonial Belanda; 26 Oktober 2018;
  3. Pasukan Meriam Nukum Sanany Sebuah Pasak dari Rumah Gadang Indonesia Merdeka; 4 November 2018;
  4. Penemuan Arca Kepala Alalokiteswara Sebagai Jejak Keberadaaan Peradaban Agama Budha di Aceh; 18 November 2018;
  5. Revolusi Desember 1945 di Aceh atau Pembasmian Pengkhianat Tanah Air; 6 Februari 2019;
  6. Singa Atjeh Biographi Seri Sultan Iskandar Muda; 6 Agustus 2019;
  7. Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agressi Belanda; 17 Oktober 2019;
  8. Lokasi Istana Kerajaan Aceh Dulu dan Sekarang; 27 Februari 2020;
  9. Hamzah Fansuri Perintis Sastra Melayu; 4 Juli 2020;
  10. Gereja Pertama di Aceh; 12 Juli 2020;
  11. Peristiwa Terbunuhnya Teuku Umar; 1 Agustus 2020;
  12. Sejarah Kerajaan Pedir (Poli) atau Negeri Pidie; 18 Agustus 2020;
  13. Sejarah Kerajaan Daya (Lamno); 21 Agustus 2020;
  14. Para Uleebalang Raja Kecil di Aceh Dari Masa Kesultanan Sampai Revolusi Sosial (1512-1946); 25 Oktober 2020;
  15. Kenapa Sultan Aceh Menyerah Pada Belanda; 9 April 2021;

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cuplikan Sejarah, Data dan Fakta and tagged , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.