
Teukoe Nja Hamsa (paling kiri), Teukoe Lampasei (kiri di sofa), Teukoe Nek Radja Meuraksa (kanan di atas sofa) dan Teukoe Nja Mohammad (ke-2 dari kanan) bersama para pengikut. Mereka adalah para uleebalang paling awal yang berkerja sama dengan Belanda (Ketika awal Perang Aceh). Foto diambil tahun 1874 di wilayah Meuraksa (Bagian dari Banda Aceh sekarang). Sumber KITLV.
PARA ULEEBALANG RAJA KECIL DI ACEH DARI MASA KESULTANAN SAMPAI REVOLUSI SOSIAL (1512-1946)
Siapa dan apa Uleebalang?
Uleebalang adalah yang dipertuan di negerinya masing-masing dan merupakan kepala wilayah par excellence. Mereka disebut raja di negerinya masing-masing. Uleebalang dalam teorinya berperan sebagai perpanjangan tangan atau pejabat dari Sultan Aceh yang memimpin berbagai negeri yang berada dalam naungan Kesultanan Aceh Darussalam.
Uleebalang dalam bahasa Aceh memiliki arti yang sama dengan Hulubalang dalam bahasa Indonesia yang berarti kepala laskar atau pemimpin pasukan. Pada masa dahulu di Aceh bermakna panglima tentara yang diberikan kepada syahbandar paling berkuasa, dimaksudkan untuk membawahi rakyat dan memimpin prajurit di bawahnya.
Peran pemimpin pasukan ini bergeser seiring dengan melemahnya kesultanan Aceh terutama kekuatan armada laut, sehingga pada masa-masa kemunduran hanya menjadi penguasa teritorial. Selanjutnya para Uleebalang diserahi tugas mengepalai nanggroe (negeri/kerajaan kecil) oleh Sultan Aceh. Dalam adat Meukuta Alam disebutkan bahwa seorang Uleebalang diangkat berdasarkan pertimbangan mewarisi kedudukan leluhurnya, meski begitu mereka juga mendapat surat pengangkatan sebagai raja dari Sultan Aceh sebagai penghargaan atas kedudukan mereka.
Peran Uleebalang pada masa Kesultanan Aceh.
Uleebalang disebut sebagai penguasa lokal setelah abad ke-17 Masehi ketika Kesultanan Aceh mengalami kemunduran, banyak urusan pemerintahan diserahkan kepada Uleebalang sehingga bertindak sebagai penguasa merdeka sehingga kekuasaan Sultan Aceh hanya bersifat formalitas.
Uleebalang pada awalnya merupakan pimpinan kemiliteran di wilayahnya. Sultan Aceh mendapat bagian dari pajak (wasee) yang dikumpulkan oleh Uleebalang berdasarkan surat pengakuan pengangkatan, uleebalang diberi stempel sultan atau cap sikureung (cap Sembilan). Seiring melemahnya kekuasaan Sultan Aceh maka pajak ini dikorup oleh Uleebalang untuk kepentingan pribadi dan kaumnya.
Perubahan peran Uleebalang pada masa Belanda.
Ketika Belanda berkuasa, mereka menyebut “negeri” sebagai “landschap”. Para Uleebalang memimpin rakyat di wilayah masing-masing. Dalam prakteknya mereka semacam sultan atau raja kecil. Di pemerintahan mukim (Kumpulan beberapa kampung) mereka di Uleebalang, sedangkan di Sagoe (Sagi/setingkat kampung) disebut Peutua.
Pada rentang tahun 1874-1942 tercatat ada lebih seratus nanggroe atau landschappen yang dipimpin oleh Uleebalang yang disebut oleh Belanda dengan nama zelfbestuurder (Pemerintahan sendiri) di Aceh. Khusus untuk wilayah Aceh Besar disebut sagoe dan para uleebalang yang memerintah disebut sagihoofd.
Asal usul gelar Teuku dan Cut di Aceh.
Ada dua pendapat mengenai asal usul gelar Teuku dan Cut yang menjadi ciri khas kaum Uleebalang dan keturunannya yaitu:

Seorang uleebalang (Teuku) Nja Gadang dan istrinya (seorang Cut) ditangkap di pedalaman Aceh dalam keadaan dirantai karena melawan penjajahan kolonial Belanda diturunkan dari kapal uap Pegu di Kutaradja (Banda Aceh sekarang) sebelum dikirim ke pengasingan Foto diambil pada tahun 1897. Sumber KITLV.
- Pertama gelar ini dibuat pada masa Pemerintah Kolonial Belanda, para Uleebalang diberi gelar Teuku (laki-laki) dan Cut (perempuan), sebelumnya para pemimpin mukim lazim disebut Imuem atau Panglima bahkan Datok di pesisir barat Aceh. Selanjutnya gelar Teuku dan Cut diperuntukkan untuk keluarga raja atau Uleebalang di wilayah otonom dan berlaku turun-temurun meskipun mereka (sudah) tidak menjabat. Sebelumnya pada dokumen-dokumen lama baik catatan asing maupun manuskrip lokal (awal) tidak ditemukan gelar Teuku dan Cut, (diduga) sengaja diciptakan oleh Belanda untuk menjadi lawan tanding ulama yang bergelar Tengku, sedangkan gelar Tuanku, Tuwanku dan Pocut adalah gelar untuk keluarga Sultan Aceh.
- Gelar ini telah dahulu ada sebelum Belanda datang (kuno). Asal kata “Teu” berasal dari kata “tu” (ada pada kata nektu yang dalam bahasa Indonesia berarti nenek buyut), “tuha” yang berarti (tua atau orang tua) sedang “ku” berasal dari kata aku (subjek orang pertama). Teuku bisa diartikan “Orang tuaku” atau dalam kata lain orang yang dianggap mengayomi. Cut sendiri berarti kata “cut” yang artinya kecil, mungil atau cantik. Adalah wajar bagi masyarakat menganggap pemimpin mereka sebagai orang tua yang dihormati. Meskipun sebutan Teuku dan Cut sudah dahulu ada (sebagai sebutan hormat) namun diduga yang memformalkan dalam bentuk jabatan atau gelar kebangsawanan adalah pemerintah kolonial Belanda ketika berkuasa di Aceh.
Keadaan Aceh pada awal abad ke-20 Masehi.
Menghadapi perang Aceh yang panjang dan melelahkan, akhirnya Belanda menangkap sultan Aceh terakhir Tuanku Mohammad Daudsyah pada akhir tahun 1903 dan gelar Sultan Aceh dihapuskan. Belanda menganggap Kesultanan Aceh sebagai ancaman, dan sultan adalah simbol perlawanan rakyat. Perhitungan Belanda tidak sepenuhnya benar.

Sultan Alaiddin Muhammad Daudsyah (nomor ketiga dari kanan membelangi kamera) selaku Sultan Aceh terakhir (Masa memerintah 1873-1903) setelah ditangkap dihadapkan pada Gubernur Militer Sipil Aceh, Johannes Van Heutsz (nomor satu dari kanan menghadap kamera) menjabat 1898-1903. kelak Van Heutsz menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda (Menjabat 1904-1909), foto diambil pada pendopo Gubernur Kutaradja (Banda Aceh sekarang). Untuk menghinakan Sultan Aceh dia tidak diizinkan mengenakan sepatu dan Belanda menyebutnya sebagai “Sultan pura-pura” dalam uraian foto. Sumber KITLV.
Perang kemudian dilanjutkan oleh para ulama beserta beberapa uleebalang yang menjadi pendukung setia Sultan Aceh. Kaum ulama memberi corak agama dengan menyebut sebagai Prang Sabi (Perang Sabil). Mereka terus bergerilya ke pedalaman sampai kira-kira sepuluh tahun sejak Sultan Aceh ditangkap, sementara itu kebanyakan uleebalang bersedia bekerjasama dengan Belanda.
Sebenarnya sejak awal Perang Aceh meletus, beberapa Uleebalang telah menandatangani perjanjian dengan Belanda. Pada awal abad ke-20 tercatat 82 dari 100 uleebalang telah menandatangani Korte Velklaring (Perjanjian Pendek) yang berisi 3 pasal:
- Setia kepada Ratu Belanda;
- Menjadikan musuh Belanda sebagaimana musuhnya dan sebaliknya;
- Menjalankan perintah Ratu Belanda maupun wakilnya.
Para Uleebalang tadinya berperang dengan Belanda, pada akhirnya memihak Belanda. Sikap oportunis beberapa Uleebalang sebanding dengan kepentingan Belanda sehingga mereka diangkat sebagai raja di daerahnya masing-masing.
Uleebalang sebagai alat kolonial Belanda di Aceh.
Belanda sangat berkepentingan berkuasa dengan aman di Aceh, untuk itu mereka menerapkan politik devide et impera dengan membenturkan Uleebalang dengan ulama. Pengangkatan uleebalang sebagai zelfbestuurder menempatkan mereka sebagai birokrasi kolonial yang bertugas memungut pajak serta sebagai hakim pada kejahatan kecil.
Pengalaman pahit Perang Aceh membuat Belanda sangat berhati-hati di Aceh, untuk itulah Belanda menugaskan Uleebalang mengurusi pemerintahan di tingkat bawah. Belanda memberikan gaji, jaminan masa jabatan, dan garis-garis wilayah yang jelas. Gaji berkisar 240 – 10.200 Gulden diukur berdasarkan besar kecilnya wilayah dan posisi strategis berdasarkan kepentingan Belanda.
Kekuasaan yang diberikan Belanda memberi legitimasi kuat, seperti penguasaan tanah, pungutan 10% dan pelaksanaan hukum waris, pengalihan kepemilikan tanah yang ditinggalkan pemiliknya untuk mereka, monopoli, penyitaan tanah, hak pengerahan kerja rodi dan pajak atas irigasi. Beberapa uleebalang bahkan secara melawan hukum menggelapkan pajak.
Beberapa gelintir Uleebalang secara terang-terangan melanggar syariat Islam dengan berjudi dan madat sehingga meresahkan masyarakat. Kekuasaan mereka yang hampir tak terbatas membuat mereka mampu melaksanakan segala kehendaknya.
Memasuki tahun 1920-an, Belanda mengambil kontrol langsung atas seluruh Aceh, sedikit demi sedikit mengurangi kekuasaan Uleebalang karena Belanda merasa posisi mereka di Aceh sudah cukup kuat, meskipun perlawanan rakyat masih ada tapi hanya bersifat sporadis dan individual. Pada masa ini bisa dikatakan sebagai masa puncak kejayaan Pemerintah Kolonial Belanda.
Hubungan Uleebalang dan Ulama pada masa kolonial Belanda.
Pada masa Kesultanan Aceh, posisi ulama dan uleebalang setara, di mana Sultan Aceh sebagai penyeimbang, masing-masing berperilaku sesuai perannya. Uleebalang mengurus ketatanegaraan, ulama mengurus keagamaan, namun dinamika berubah ketika Belanda berkuasa.
Belanda menjalankan politik devide et impera, mendekati uleebalang sebagai kaki tangan dan menjauhi ulama. Posisi uleebalang yang didekati Belanda membuat kelompok ini tergantung kepada mereka, sebaliknya ulama menunjukkan sikap melawan. Tapi bukan berarti setiap uleebalang menerima kehadiran Belanda, (meski) banyak juga dari kaum feodal yang berjuang bersama Ulama melawan Belanda.
Bentuk perlawanan yang dilakukan oleh para ulama adalah mendirikan sekolah-sekolah agama sebagai bentuk perlawanan terhadap sekolah-sekolah sekuler milik pemerintah. Menjadi semakin nyata dengan berdirinya PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) dengan tujuan mempererat ikatan para ulama. Organisasi ini dibiarkan oleh Belanda karena hanya terbatas di Aceh sehingga dianggap tidak membahayakan seperti Serikat Islam dan Muhammadiyah yang memperkenalkan nasionalisme dan memperjuangkan Negara merdeka. Belanda pun menganggap politik Islam yang digariskan oleh Snouck Hurgronje tidak lagi relevan dengan perkembangan zaman, kekuasaan Belanda sudah terlalu kuat untuk digoyangkan. Sebaliknya sejak tahun 1930-an Belanda merasa bahwa ketergantungan uleebalang kepada mereka semakin membesar dan menjadi beban.
Perkembangan terbaru di Aceh pada tahun 1930-an membuat Belanda membuka sedikit ruang bagi masyarakat di Aceh untuk menyampaikan ketidakpuasan kepada golongan Uleebalang, sepanjang tidak menyinggung kepentingan mereka. Hal ini dilakukan karena Belanda mendapat imbas negatif dari tindakan sewenang-wenang Uleebalang kepada masyarakat. Serangkaian peristiwa Aceh Pungo (Pembunuhan sporadis kepada orang Belanda) sesungguhnya adalah kejengkelan masyarakat Aceh kepada perlakuan sewenang-wenang para uleebalang.
Pada awal 1939 muncul isu restorasi Kesultanan Aceh oleh Belanda. Berita ini merupakan pukulan kepada golongan uleebalang, posisi mereka akan terancam tidak memiliki hak-hak istimewa karena akan diberikan kepada sultan Aceh kelak. Pendukung pro-Kesultanan datang dari berbagai lapisan masyarakat seperti pedagang kecil dan ulama di luar PUSA yang gencar melakukan petisi. PUSA sendiri tidak mempunyai kepentingan dengan restorasi Kesultanan yang menyinggung (akan) kekuasaan Uleebalang itu kecuali tuntutan agar pendidikan agama tidak lagi berada dalam kekuasaan Uleebalang.
Kondisi berubah ketika bulan September 1939 pengurus PUSA berkunjung ke Aceh Barat dalam rangka mencari dukungan agar pendidikan agama dilepaskan dari kekuasaan uleebalang. Dalam kunjungan itu pengurus PUSA bertemu Teuku Sabi yang merupakan satu-satunya uleebalang yang mendukung pendirian kembali Kesultanan Aceh. Karena pertemuan itu pendukung Kesultanan menggabungkan diri dengan PUSA sehingga pertama kalinya PUSA dan Uleebalang berhadapan langsung.
Uleebalang pada masa pendudukan Jepang.
Masa pendudukan Jepang membawa perubahan baru, baik ekonomi, politik, sumber daya alam maupun manusia. Jepang sebagaimana Belanda memanfaatkan uleebalang sebagai birokrat pemerintahannya, bahkan wedana pun dijabat uleebalang. Hal ini mengecewakan pihak ulama terutama golongan PUSA yang sejak awal membantu Jepang masuk ke Aceh dengan menjadi anggota Fujiwara Kikan. Jepang malah menangkapi pimpinan PUSA seperti Tengku Muhammad Daud Beureueh dan Amir Husin al Mujahid, mereka juga menyingkirkan barisan F yang awalnya merupakan kontak Jepang agar dapat masuk ke Aceh dan menggantikannya dengan uleebalang.
Uleebalang berhasil mendekati Jepang, namun Jepang tidak membubarkan PUSA karena membutuhkan organisasi yang memiliki basis masa besar di Aceh. Belajar dari Belanda, Jepang berusaha menyeimbangkan antara uleebalang dan ulama. Setelah berkuasa dan membentuk pemerintahan militer, Jepang mengangkat Uleebalang mengisi jabatan seperti sonco (camat), dan gunco (wedana) untuk mengantikan controleur (kepala distrik) dalam sistem pemerintahan Belanda. Tapi mencabut hak istimewa dalam bidang kehakiman dan kepolisian, justru memakai pemuda PUSA meski terdapat unsur uleebalang di sana.
Pada Januari 1943, Jepang merasa perlu membentuk sebuah lembaga yang khusus mengurus bidang keagamaan. Majelis Agama Islam Kebaktian Asia Timur Raya (MAIBKATRA) bermaksud merangkul ulama dan menarik simpati rakyat Aceh mengingat Jepang mulai mengalami kekalahan dalam perang Asia Timur Raya. Pada awal tahun 1944 Jepang membentuk peradilan khusus Islam untuk urusan perkawinan, perceraian, pewarisan, zakat fitrah, perwalian, dan status anak yatim.
Perubahan sikap Jepang disebabkan faktor ekternal yaitu menghadapi perang, di lain pihak adalah ketidakmampuan uleebalang menarik dukungan masyarakat Aceh kepada Jepang. Hal ini diperburuk oleh sikap sebagian uleebalang yang terang-terangan menyebarkan sentiment anti-Jepang.
Keadaan Perang Asia Timur Raya semakin memburuk bagi Jepang, keadaan memaksa mereka bertindak defensif. Membutuhkan tenaga dan jumlah orang yang besar untuk menyokong kepentingan militer maka puluhan ribu orang dipekerjakan sebagai Romusha. Usaha memperkuat pertahanan Jepang ini tidak menguntungkan uleebalang yang bertindak sebagai administrator atau penanggungjawab lapangan. Segala tindakan tidak manusiawi yang didapat rakyat melahirkan sentimen kebencian yang tertuju kepada uleebalang.
Perang Cumbok dan Revolusi Sosial mengakhiri kekuasaan Uleebalang selamanya.
Ketika proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 telah sampai beritanya ke Aceh melalui kawat yang dikirim A.K. Gani, Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera di Palembang, seluruh pemuda menyambut gembira sedangkan pihak uleebalang masih ragu-ragu serta dianggap menghambat usaha penegakkan kemerdekaan Indonesia.
Pada pertengahan November 1945 situasi sudah memanas. Ketika penyerahan senjata oleh tentara Jepang di kota Sigli pada 4 Desember 1945 terjadi pertempuran antara ulama PUSA dan uleebalang. Pemerintah Daerah Aceh pada 6 Desember 1945 mendamaikan kedua belah pihak, akan tetapi itu merupakan permulaan pertempuran dahsyat di beberapa daerah di Pidie yang kemudian di kenal dengan Perang Cumbok.
Peristiwa Perang Cumbok dan revolusi sosial sangat menyedihkan dalam sejarah Aceh seharusnya dapat dihindari kalau saja para ulama PUSA menunggu upaya legal dari pemerintah pusat. Kaum ulama PUSA menegaskan harus cepat menghancurkan golongan Cumbok, jika tidak Belanda pasti mendarat di Aceh sehingga menyulitkan perjuangan Republik Indonesia karena posisi strategis Aceh yang merupakan pintu gerbang memasuki pulau-pulau di sebelah timur.
Perang Cumbok berlanjut menjadi revolusi sosial di Aceh. Pada tanggal 30 Januari 1946, Teuku Muhammad Daud Cumbok ditangkap di Padang Tiji, Pidie kemudian dieksekusi mati. Sejak tanggal 16 Maret 1946 kelompok PUSA dan Pesindo Aceh menangkapi para uleebalang yang dianggap mengkhianati kemerdekaan, hampir semuanya dieksekusi mati tanpa peradilan. Sebuah sejarah kelam di Aceh, pertama kalinya sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam berdiri, orang Aceh membunuhi orang Aceh.
Perang Cumbok yang dikuti revolusi sosial telah memberi ekses yang rumit dan panjang terutama pembagian harta para uleebalang yang menjadi korban oleh majelis pemimbang yang kemudian memicu meletusnya Peristiwa September 1953 atau yang kemudian dikenal dengan DI/TII Aceh.
XXX
DAFTAR PUSTAKA
- Alfian, T. Ibrahim; Wajah Aceh dalam Lintasan Sejarah; Banda Aceh; Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh; 1999.
- Fujiwara, Iwaichi; F.Kikan:Operasi Intilijen Tentara Jepang di Asia Tenggara Selama Perang Dunia II; Jakarta; Pustaka Sinar Harapan; 1996.
- Hurgronje, Snouck; Aceh Di Mata Kolonialis, (terjemahan); Jakarta; Yayasan Soko Guru; 1985.
- Langen, K.F.H; Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, (terjemahan); Banda Aceh; Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh; 2002.
- Morris, Eric; Aceh Revolusi Sosial dan Pandangan Islam dalam Pergolakan Daerah Paska Awal Kemerdekaan; Jakarta; Grafiti Pers; 1989.
- Reid, Anthony; Perjuangan Rakyat : Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatra, (terjemahan); Jakarta; Pustaka Sinar Harapan; 1987.
- Siegel, James; The Rope of God; California; University of California Press; 1969.
- Sjamsuddin, Nazaruddin; Revolusi di Serambi Mekkah:Perjuangan Kemerdekaan dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949; Jakarta; UI Press; 1998.
XXX
Artikel-artikel tentang Aceh:
- 59 TAHUN ACEH MERDEKA DI BAWAH PEMERINTAHAN RATU 12 SEPTEMBER 2017;
- KERAJAAN ACEH PADA JAMAN SULTAN ISKANDAR MUDA (1609-1636) 13 SEPTEMBER 2017;
- PERISTIWA KEMERDEKAAN DI ACEH 14 SEPTEMBER 2017;
- PASAI DALAM PERJALANAN SEJARAH 17 SEPTEMBER 2017;
- MATA UANG EMAS KERAJAAN-KERAJAAN DI ACEH 19 SEPTEMBER 2017;
- ATJEH MENDAKWA,SEBUAH BUKU YANG MENJADI SAKSI SEPAK TERJANG PARTAI KOMUNIS INDONESIA DI ACEH 21 SEPTEMBER 2017;
- SEJARAH PARTAI KOMUNIS INDONESIA DI ACEH 21 SEPTEMBER 2017;
- MISI MENCARI MAKAM PARA SULTANAH ACEH 6 OKTOBER 2017;
- BERZIARAH KE MAKAM SULTANAH MALIKAH NAHRASYIYAH 8 OKTOBER 2017;
- EKSPLOITASI SUMBER DAYA ALAM APAKAH BAGUS UNTUK ACEH 15 OKTOBER 2017;
- AROMA MEMIKAT DARI DAPUR ACEH 16 OKTOBER 2017;
- TARIKH ACEH DAN NUSANTARA 29 OKTOBER 2017;
- PEKUBURAN SERDADU BELANDA PEUCUT KHERKHOF DI BANDA ACEH SEBAGAI SAKSI KEDAHSYATAN PERANG ACEH 11 NOVEMBER 2017;
- PEMBERONTAKAN KAUM REPUBLIK KASUS DARUL ISLAM ACEH 17 NOVEMBER 2017;
- TUANKU HASYIM WALI NANGGROE YANG DILUPAKAN SEJARAH 19 NOVEMBER 2017;
- KOPRS MARSOSE SERDADU PRIBUMI PELAYAN RATU BELANDA 8 DESEMBER 2017;
- HIKAYAT-HIKAYAT DARI NEGERI ACEH 16 DESEMBER 2017;
- LEGENDA GAJAH PUTIH SEBAGAI ASAL NAMA KABUPATEN BENER MERIAH; 12 JANUARI 2018;
- SECANGKIR KOPI DARI ACEH; 22 JANUARI 2018;
- ACEH PUNGO (ACEH GILA); 8 FEBRUARI 2018;
- SIAPAKAH ORANG ACEH SEBENARNYA; 6 APRIL 2018;
- ORANG ACEH DALAM SEJARAH SUMATERA; 15 APRIL 2018;
- KETIKA IBNU BATTUTA MELAWAT SAMUDERA PASAI; 16 APRIL 2018;
- KISAH HIDUP LAKSAMANA MALAHAYATI; 18 APRIL 2018;
- PERANAN LEMBAGA TUHA PEUET DALAM MASYARAKAT ACEH PADA MASA LAMPAU; 5 MEI 2018;
- MENYINGKAP MAKNA SYAIR KUTINDHIENG SELAKU MANTRA SIHIR ACEH KUNO; 15 MEI 2018;
- SEJARAH KERAJAAN LAMURI; 24 JUNI 2018;
- KEBIJAKAN POLITIK ISLAM OLEH SNOUCK HURGRONJE SEBAGAI SARAN KEPADA PEMERINTAH HINDIA BELANDA UNTUK MENGHANCURKAN KEKUATAN ISLAM DI INDONESIA; 25 JUNI 2018;
- MASA DEPAN POLITIK DUNIA MELAYU; 28 JULI 2018;
- EDISI KHUSUS SERI PAHLAWAN NASIONAL PRANGKO 100 TAHUN CUT NYAK DHIEN; 8 AGUSTUS 2018;
- MEMOAR PANGLIMA POLEM SEORANG PEJUANG PERINTIS KEMERDEKAAN; 19 SEPTEMBER 2018;
- PUTROE PHANG JULUKAN DARI TENGKU KAMALIAH SEORANG PUTRI KESULTANAN PAHANG; 28 SEPTEMBER 2018;
- TEUKU NYAK ARIEF SEORANG YANG TULEN BERANI DAN LURUS SEBAGAI RENCONG ACEH DI VOLKSRAAD; 17 OKTOBER 2018;
- RINCIAN ISI KANUN MEUKUTA ALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN KESULTANAN ACEH DARUSSALAM YANG DISUSUN PADA MASA PEMERINTAHAN SULTAN ISKANDAR MUDA; 26 OKTOBER 2018;
- CATATAN SEJARAH RANTAI BABI ATAU RANTE BUI DALAM TULISAN YANG DISUSUN KOLONIAL BELANDA; 26 OKTOBER 2018;
- PASUKAN MERIAM NUKUM SANANY SEBUAH PASAK DARI RUMAH GADANG INDONESIA MERDEKA; 4 NOVEMBER 2018;
- PENEMUAN ARCA KEPALA ALALOKITESWARA SEBAGAI JEJAK KEBERADAAN PERADABAN AGAMA BUDHA DI ACEH; 18 NOVEMBER 2018;
- REVOLUSI DESEMBER ’45 DI ACEH ATAU PEMBASMIAN PENGKHIANAT TANAH AIR; 6 FEBRUARI 2019;
- LEBURNJA KERATON ATJEH; 11 MARET 2019;
- HADIH MAJA PENGAJARAN SERTA HIBURAN WARISAN LELUHUR; 27 MARET 2019;
- HAME ATAU PANTANGAN ORANG ACEH DARI MASA LAMPAU; 19 JUNI 2019;
- SINGA ATJEH BIOGRAPHI SERI SULTAN ISKANDAR MUDA; 6 AGUSTUS 2019;
- APA SEBAB RAKYAT ACEH SANGGUP BERPERANG PULUHAN TAHUN MELAWAN AGRESSI BELANDA; 17 OKTOBER 2019;
- PERBANDINGAN PENGUCAPAN BAHASA ACEH DENGAN BAHASA INDONESIA; 30 DESEMBER 2019;
- BERBAGAI BAHASA DAERAH DI ACEH; 30 JANUARI 2020;
- LOKASI ISTANA KERAJAAN ACEH DULU DAN SEKARANG; 27 FEBRUARI 2020;
- MEREKONSTRUKSIKAN KEMBALI LETAK ISTANA DARODDONYA; 3 MARET 2020;
- LEGENDA DAN MITOS ASAL USUL PENAMAAN PULAU SABANG, GUNUNG SEULAWAH, PANTAI ALUE NAGA DAN KAWASAN ULEE LHEU; 29 MEI 2020;
- LEGENDA ASAL USUL GUNUNG GEURUTEE; 1 JUNI 2020;
- HAMZAH FANSURI PERINTIS SASTRA MELAYU; 4 JULI 2020;
- GEREJA PERTAMA DI ACEH; 12 JULI 2020;
- PERISTIWA TERBUNUHNYA TEUKU UMAR; 1 AGUSTUS 2020;
- SISTEM PERPAJAKAN KERAJAAN ACEH; 14 AGUSTUS 2020;
- SEJARAH KERAJAAN PEDIR (POLI) ATAU NEGERI PIDIE; 18 AGUSTUS 2020;
- SEJARAH KERAJAAN DAYA (LAMNO); 21 AGUSTUS 2020;
- KETIKA ACEH MINTA MENJADI VASAL TURKI USTMANI; 21 SEPTEMBER 2020;
- HENRICUS CHRISTIAN VERBRAAK MISIONARIS KATOLIK PERTAMA DI ACEH; 23 SEPTEMBER 2020;
- BUSTANUS SALATIN PANDUAN BERKUASA PARA SULTAN ACEH; 27 SEPTEMBER 2020;
- SEJARAH PENDIRIAN PUSA (PERSATUAN ULAMA SELURUH ACEH); 16 OKTOBER 2020;
Pingback: KENAPA SULTAN ACEH MENYERAH PADA BELANDA | Tengkuputeh
Pingback: SULTAN ALAIDDIN MAHMUDSYAH II, SULTAN ACEH MERDEKA TERAKHIR | Tengkuputeh
Pingback: BERZIARAH KE MASJID ASAL PENAMPAAN DI BLANGKEJEREN GAYO LUES | Tengkuputeh
Pingback: KISAH-KISAH DI BLANG | Tengkuputeh
Pingback: ORIDA (OEANG REPUBLIK INDONESIA) ACEH 1947-1949 | Tengkuputeh
Pingback: PROSA ALAM GAYO LUES | Tengkuputeh
DARI MANA DASAR ANDA MENGATAKAN TEUKU BELANDA YG BUAT, MOYANG SAYA TEUNGKU PAKEH SEUNDRI ( mukim pidie 12) BUKTIKAN FAKTA NYA
Baca dengan kepala dingin.
Pingback: ADAT PELANTIKAN PEMAHKOTAAN PENABALAN SULTAN ACEH DARUSALAM | Tengkuputeh