POLIFONI BERGERAK MEMENCAR

Teko kuno dari zaman Kesultanan Aceh Darussalam

POLIFONI BERGERAK MEMENCAR

Hidup ini adalah sebuah polifoni, bergerak, memencar, multi dimensi, lipatan yang tak henti-hentinya. Seiring jalannya waktu seharusnya kita semakin sadar bahwa satu saat kelak akan meninggalkannya, bahwa sesungguhnya yang terbaik dari dunia ini bukanlah keabadian, melainkan kefanaan, yang abadi tak akan ada disini. Pada akhirnya kita semua hanyalah menjadi kenangan bagi orang-orang yang kita tinggalkan, sungguhpun begitu memori itu pun rapuh. Kita bisa mengingat, tapi melupakan apa yang kita dengar. Ataupun kita bisa mengingat apa yang kita dengar tapi melupakan apa yang kita rasakan.

XXX

Pinggiran kota Banda Aceh, awal tahun 2000-an. Beberapa tahun sebelum tsunami Aceh (2004), beberapa tahun sebelum perdamaian antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia (2006). Waktu itu adalah sebuah zaman yang berbeda, suasana mencekam dan letupan-letupan senjata terkadang nyalang di malam hari. Sebegitu sering baku tembak terdengar kami bisa membedakan suara AK-47 milik GAM yang cempreng dan suara M-16 milik TNI yang lebih padat. Banda Aceh seharusnya merupakan zona aman dari wilayah perang disekitar tapi ibarat air di bak yang penuh, ia pun merembes. Waktu itu umur Abu sekitar 16-17 tahun.

Pada setiap kekacauan tentunya terdapat secercah cahaya, waktu-waktu itu masjid merupakan tempat yang paling aman untuk berkumpul bagi kami para remaja tanggung. Maka seringlah kami para remaja seumuran berkonsolidasi di sana untuk merencanakan bermain bersama. Hujan deras mengguyur kota Banda Aceh selepas Maghrib, Abu dan beberapa teman berencana membolos malam ini dari pelajaran membaca kitab, kami berencana menonton kualifikasi Piala Dunia 2002, Jerman vs Inggris. Apa dinyana kami terjebak di dalam masjid dan tidak bisa melarikan diri ketika ustad usup membuka kitab.

Abu memiliki banyak keahlian seperti sejarah, bahasa, sastra, pengetahuan sosial dan lain-lain. Tapi membaca kitab tidak masuk kategori. Ustad Usup membuka kitabnya yang paling tersohor bagi para santri di tanah Melayu, semua yang pernah mengaji pasti tahu kitab Masailal Muhtady. Kitab ringkas berisi perpaduan ilmu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf. Keunikan kitab ini berisi pertanyaan-pertanyaan sederhana yang disertai jawaban yang ringkas.

Ustad Usup membuka kitab dan menguji bacaan para muridnya satu persatu, apakah ada peningkatan dalam membaca huruf Arab Jawi (Tulisan Arab namun bacaannya Melayu). “Bagaimanakah seseorang dikatakan beriman?” Beliau membaca bagian pertanyaan. “Seseorang dikatakan beriman jika dia memahami tiga ilmu dasar yaitu Tauhid, Fiqih dan Tasawuf.” Beliau melanjutkan bacaannya, dan Abu sudah tidak ada disitu tertidur dalam duduk, meninggalkan teman-teman sekalian dan ustad.

“Grrrrrrrrrrr!” Suara gelak tawa membangunkan Abu dari tidur.

Almarhum Ustad Usup, semoga Allah S.W.T melapangkan kuburnya dan memberikan rahmat-Nya yang tak henti-henti kepada beliau. Saat itu Ustad Usup tersenyum kepada Abu, yang sebenarnya sudah pasrah kena hukuman.  “Kalian tahu bagaimana ciri-ciri ahli surga?” Beliau bertanya.

Kami semua menggeleng.

“Pertama tiap-tiap orang yang menghadiri majelis ilmu seperti kita sekarang, karena dalam setiap majelis ilmu Allah S.W.T menurunkan segenap keberkahan-Nya. Dan ketika seseorang tertidur Allah S.W.T menurunkan juga sakinah-Nya yaitu ketenangan. Barusan Abu tertidur dalam majelis ilmu, jika ada dua hal dalam satu keadaan terjadi pada seseorang tentunya ridha Allah S.W.T turun kepadanya dan dia kita duga menjadi ahli surga.” Teman-teman Abu tertawa lepas, dan Abu tersipu malu. Betapa baiknya guru Abu, betapa halus budinya.

Ustad Usup kemudian bercerita, “sebagaimana pernah kita pelajari dalam surat al-kahfi ada 7 pemuda yang akan dibunuh raja, diberikan ketenangan oleh Allah S.W.T, mereka tertidur. Menurut perasaan mereka setengah hari, padahal 300 tahun. Mereka melupakan rasa takut dan lapar oleh karena rahmat Allah S.W.T untuk dibangunkan kembali ketika raja adil memerintah.”

Kata-kata beliau menyejukkan batin kami, bagaimana pun meski pun kami masih remaja dan tidak terlibat dalam konflik antara GAM dan RI, kami paling sedikit pernah mengalami satu dua kali pemukulan oleh oknum aparat tanpa alasan. Muncul pertanyaan bagi kami waktu itu apakah karena kami adalah orang Aceh? menguatkan sebuah teori sosial yang kelak Abu baca bertahun-tahun belakangan. Manusia yang bengis memiliki kecenderungan untuk menilai ras, bangsa, atau sekelompok manapun yang tampak lain, berdasarkan contoh dari mereka yang paling tidak bermutu.

“Jadikan sabar dan shalat sebagai penolong kalian!” Ustad Usup selalu mengingatkan. Abu berpikir mungkin itulah fungsi agama mengenalkan kita kepada Tuhan, yang menjadi tempat bersandar ketika tidak ada satu tempatpun di dunia ini dijadikan sandaran.

Waktu pun terus berjalan, kami bertambah dewasa, ada juga yang sudah tiada.

XXX

Langsa, menjelang akhir 2023. Disudut warung kopi Abu melihat sebuah piala, tak tersentuh lama dan sudah berjaring laba-laba seolah menceritakan bahwa ia sudah tak tersentuh lama, dan terlupakan keberadaannya di sudut warung. Abu menghirup kopi pahit dan mendengarkan pembicaraan dua remaja tanggung di meja sebelah tentang banyak hal, termasuk sejarah, bidang kesukaan Abu.

Piala berjaring laba laba di Teras Kopi Langsa circa Desember 2023

Ketika mendengar kalimat-kalimat mereka Abu berusaha tidak menyalahkan pengetahuan yang mereka miliki, dapat diasumsikan mereka hidup di zaman yang berbeda dengan apa yang pernah Abu alami, bahkan dalam menyusun prioritas berbeda pula.

Beberapa hal yang terlihat elementer bagi orang-orang yang Abu kenal terlihat begitu rumit bagi mereka, ketika mereka mengatakan New York sebagai ibu kota Amerika Serikat, sementara semua teman-teman Abu sewaktu Madrasah Ibtidaiyah tahu bahwa itu adalah Washington D.C. Mungkin saat ini para remaja tak perlu tahu bahwa sungai Musi itu di Palembang, atau ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang. Banjir infomasi di saat ini di era smartphone ternyata memberikan bias bagi generasi muda. Satu sisi Abu menyadari mereka sedang berproses. Tiap generasi muda memang ada masa hura-huranya, bodoh-bodohnya. Kelak mereka akan dewasa dan berkemungkinan menjadi julid kepada generasi berikutnya.

Begitulah hidup, ada yang datang dan ada yang pergi, generasi berganti dan orang-orang hulu lalang. Di usia yang mendekati umur 40-an, Abu menyadari mungkin dalam pementasan ini bukanlah pemeran utama, melainkan seorang figuran yang biasa-biasa saja, tak terhiraukan di sudut warung kopi sebagaimana piala yang telah berjaring laba-laba tadi. Tapi bukankan setiap lakon memerlukan cerita? Maka sesungguhnya tidak ada peran yang kecil, yang ada hanyalah aktor yang kerdil dalam menjalankan perannya.

XXX

Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Kisah-Kisah, Mari Berpikir and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.