MELALUI (KEMUDIAN) MENGALAMI

Panorama hamparan pegunungan di depan, terlihat di antara pepohonan kelapa di seberang persawahan serta hangatnya udara yang menandakan musim panas. Di sana juga ada sungai kecil yang mengalir, bentang alam yang tak akan melupakan dinginnya musim hujan. Dunia ini adalah tempat manusia menjadi tamu asing, seharusnya kita tahu diri dan tak gegabah.

MELALUI (KEMUDIAN) MENGALAMI

Seiring dengan bertambahnya umur semakin Abu menyadari bahwa telah banyak melalui dan mengalami banyak hal. Segala sesuatu hal yang telah terjadi sepuluh atau dua puluh tahun lalu adalah nostalgia. Pengalaman itu adalah hal yang telah Abu lalui sendiri, jika ditambah untuk ditarik ke generasi di atas yang telah mengalami kejadian lima puluh atau seratus tahun (lalu) maka itu itu sejarah. Zuriat diteruskan oleh para leluhur telah membentuk rantai DNA Abu hari ini. Waktu adalah sesuatu yang abstrak, sekaligus terukur. Dalam rentang itu, matahari terbit dan tenggelam untuk terbit lagi. Tapi repetisi itu tak terasa rutin, sebab setiap menit, tiap jam, dan tiap hari selalu berisi peristiwa yang berbeda.

Abu adalah manusia yang hidup di abad ke-21, dilahirkan pada abad ke-20. Meskipun begitu Abu merasa beruntung pernah bertemu dengan orang-orang dari abad ke-19. Sosok-sosok yang mungkin tak akan kita kenali (lagi) sekarang. Mereka memiliki pemikiran sekaligus cerita yang tak terbayangkan oleh kita sekarang, pertemuan dan percakapan itu kadang-kadang muncul seketika dalam samar-samar kenangan masa kecil Abu.

Nek Nyang (ibu dari nenek Abu) punya konsep yang waktu berbeda. Waktu kecil Abu pernah bertanya berapa usia beliau. Sambil tersenyum beliau mengatakan tidak tahu.

“Bukankah setiap orang perlu tahu kapan dia dilahirkan nek?” Tanya Abu kecil.

“Apa perlunya?” Beliau balik bertanya.

“Untuk merayakan ulang tahun misalnya?” Abu kecil mencari contoh yang paling sederhana.

“Ulang tahun itu penting hanya untuk orang Belanda.” Ia tertawa terkekeh, sedikit mengejek, dan Abu memilih diam saja meski tidak setuju sambil menatap Nek Nyang menanak nasi dengan kayu bakar.

Nek Nyang menurut taksiran Abu memiliki umur lebih seratus tahun, meski ia menyangkal dan tidak ingat. Beliau sendiri berpulang ke rahmatullah ketika bencana tsunami menghantam kampung kami Kabong, Aceh Jaya pada Desember 2004. Di hari itu ratusan keluarga Abu dari sebelah ibu musnah, menurut salah seorang keluarga yang selamat ketika gelombang hitam itu datang, beliau digendong oleh seorang sepupu ibu berlari ke timur. Jasad mereka tidak ditemukan dan ditelan oleh laut.

Di tahun 2000 beliau sudah tidak bisa melihat lagi, beberapa kali ketika Abu pulang kampung beliau menangis apabila tak bisa ke sawah. Dia pernah berkata kepada Abu, dia sangat ingin bekerja di sawah meski hanya mengusir burung-burung memakan padi. Beliau berkata, “bekerja itu adalah kebahagiaan kepada manusia, sebuah kehormatan (harkat) menjadi manusia yang berguna dan tidak berharap pemberian manusia lainnya.”

Awal 2000-an konflik Aceh sedang dipuncak, jangankan seorang buta berada di sawah, orang normal pun merasa was-was. Setiap saat nyawa bisa tumpas, mayat-mayat di lemparkan di jalan raya hitam adalah hal biasa. Apalagi kampung Abu masuk zona hitam.

“Abu, antarkan nenek ke sawah!” Sebagai remaja, anak kota Banda Aceh, Abu merasa gentar sekaligus gemetar. Jalan menuju sawah harus melalui pepohonan besar yang gelap karena terlalu rimbun, kemudian ladang-ladang pohon kelapa yang setiap saat bisa terjadi kontak senjata. Baru kemudian hamparan sawah yang luas sampai ke pegunungan nun jauh di sana.

Abu tidak tahan melihat beliau menangis, mata basah karena iba, tapi sebisa mungkin ditahan agar suara tidak menjadi sengau. Maka Abu menuntun beliau pergi ke sawah. Situasi saat itu sangat tidak menguntungkan sebenarnya, ibarat burung merak yang datang ke kawanan bebek sebagai anak kota tentu penampilan, postur serta gaya bahasa Abu berbeda dengan orang-orang kampung, sangat menarik perhatian kepada pihak bertikai untuk dihampiri, belum lagi nyamuknya sangat tidak bersahabat pada Abu ketika harus melewati daerah hutan rimba sebelum masuk kebun kelapa.

Segala risau luruh ketika sampai di sawah, dalam pondok kecil di tengah sawah beliau sangat bahagia. Sambil menarik kaleng-kaleng susu kental manis yang diikat pada tali untuk mengusir burung beliau bernyanyi dengan riang gembira. Lagu Aceh, mungkin kuno karena Abu tidak mengenal liriknya.

“Nek kenapa menyanyi?” Tanya Abu.

“Nenek menghibur padi kita Abu.” Ia menjawab seraya tersenyum.

“Memang padi bisa mendengar nek?” Alis Abu naik, merasa tidak masuk akal.

“Setiap makhluk apakah itu berupa manusia, hewan, tumbuhan bahkan batu pun peka terhadap kasih sayang. Ketika kita menyayangi dia, mengasihinya maka dia akan membalas dengan memberikan yang terbaik dari dirinya.” Nek Nyang menceramahi Abu si anak kota.

“Siapa yang bilang Nek? Sepertinya belum ada penelitian seperti ini.” Bantah Abu sambil tertawa.

“Inilah anak muda, baru membaca beberapa buku sudah merasa pintar melangit. Ini petuah dari mamak nenek yang di dapat mamaknya dan mamaknya dari mamaknya lagi.” Gaya Nek Nyang membantah Abu sungguh kocak sehingga Abu tertawa.

“Ini serius Abu, kamu harus menceritakan kepada anakmu. Sebenarnya tradisi ini menurut adat kita (Aceh) diturunkan dari perempuan ke perempuan. Bukan laki-laki, kebanyakan lelaki tidak terlalu senang mendengar. Tapi mungkin nenek merasa kamu berbeda sedikit, jadi nenek ceritakan saja.” Ia tertawa sampai terlihat gigi depan yang tinggal dua.

“Maksud nenek saya ini agak bencong gitu?” Abu menggoda beliau.

Nauzubillahiminzalik. Fushoh!” Nek Nyang meniup-meniup tangannya. “Ya bukan begitulah. Mungkin waktu nenek juga tinggal sedikit, ada banyak hal yang belum Nek Nyang ajarkan kepada nenekmu atau bahkan ibumu. Mereka terlalu cepat merantau dan meninggalkan kampung.” Nek Nyang menambahkan.

“Nek Nyang jangan cepat meninggal, jangan bicara seperti itu nek.”

“Nenek hanya mengatakan bahwa waktu tinggal sedikit. Masalah mati Abu, siapa tahu kita ini memang sudah mati?” Kata beliau.

“Maksud Nek Nyang?” Abu dan Nek Nyang sudah mati? Konsep pemikiran yang aneh, belum pernah Abu dengar dan baca dimanapun.

Kita (mungkin) sudah mati, di hari penghakiman, di sana, kita sedang menonton kembali segala perbuatan di dunia.

“Coba kamu lihat Surat Yasin, pada hari penghakiman nanti, mulut terkunci. Mata, kaki dan tangan bercerita. Bisa jadi kita memang sudah di sana saat ini, menonton kembali apa-apa yang pernah kita lakukan selama hidup sebagai pertanggungjawaban kepada Sang Khalik.” Mata beliau menerawang  meski tidak bisa melihat lagi.

Abu tersentak dan terkejut. “Nek kalau begitu sejarah atau bahkan waktu bisa berubah?”

Nek Nyang tertawa senang mendengar keterkejutan Abu. “Kamu menilai waktu terlalu tinggi Abu, kamu lupa bahwa waktu hanyalah makhluk. Kaidah setiap makhluk selalu akan turut kepada pencipta-Nya. Itulah kenapa hanya Iblis dan manusia akan di adili nanti, karena kita diberi kebebasan di dunia ini untuk tunduk atau tidak.”

Nek Nyang bicara seperti sufi atau aulia, dalam sekali menohok dada Abu.

“Setiap butir nasi, atau air yang diminum. Perkataan, pendengaran, perbuatan serta peristiwa di dunia ini masuk ke dalam jiwa setiap anak manusia. Jadi di Yaumil Masyar nanti, Allah S.W.T tidak perlu bertanya satu-satu kepada kita. Tubuh kita sendiri yang bercerita, siapa diri kita.” Sebuah pembicaraan dan pengajaran yang dalam, sepanjang hidup Abu di kemudian hari, sangat sulit Abu menemukan teman bicara selevel Nek Nyang.

Kelak Abu baru mengetahui bahwa ada penelitan bahwa setiap manusia memiliki DNA yang berbeda. Terbentuk dari apa yang dibawa oleh orang tua, makanan dan minuman yang disantap, seluruh pengetahuan, pengalaman, kejadian, pikiran, perasaan membuat kerumitan tubuh manusia menyamai alam semesta ini sendiri. Sungguh luar biasa kekuasaan Tuhan. Kesimpulan bodoh Abu, di akhirat nanti yang dihitung baik buruk adalah DNA kita. Ketika mengetahui itu Abu teringat Nek Nyang, mungkin di alam sana jika ia melihat Abu saat ini ia tersenyum, seraya berkata sudah nenek bilang dahulu.

“Betul kita sudah mati nek?” Tanya Abu sekali lagi.

“Belum tentu betul, seperti nenek bilang kita makhluk tetap harus tunduk kepada kaidah Sang Pencipta. Tapi merasa telah mati itu baik, agar kita menjalankan hidup dengan sebaik-baiknya. Terutama ketika menjalani masa-masa sulit kehidupan atau sebaliknya sedang merasa sangat senang-senangnya. Sebagai pedoman hidup mulia.” Kata-kata bijak beliau bagi Abu lebih berharga dari pada batu zamrud paling besar di dunia sekalipun.

Abu memandangi hamparan pegunungan di depan, terlihat di antara pepohonan kelapa di seberang persawahan serta hangatnya udara yang menandakan musim panas. Di sana juga ada sungai kecil yang mengalir, bentang alam yang tak akan melupakan dinginnya musim hujan. Abu merasa, dunia ini adalah tempat manusia menjadi tamu asing, seharusnya kita tahu diri dan tak gegabah.

Hari menjelang siang, kami kembali ke rumah. Ada perasaan hangat menjalari dada Abu, dalam perjalanan pulang Abu berseloroh. “Nek Nyang, Abu merasa bersyukur bisa mengantar nenek ke sawah hari ini.”

“Bagus, sangat bagus.” Ia menepuk-nepuk bahu Abu seraya menambahkan. “Mereka yang paling tidak bersyukur adalah yang paling mudah dikendalikan oleh hawa nafsunya.”

Hari disusul bulan melintasi tahun berjalan. Bahwa ingatan Abu memiliki batas dan melupakan kisah ini. Sampai pada suatu hari COVID-19 ditahun 2020 menyerang dan menjangkiti Abu. Diantara bayang-bayang kesepian yang membuat putus asa, pada suatu malam Abu merasa beliau datang (dalam mimpi) seraya berbisik mesra,”Berusahalah untuk antusias kepada setiap hal baru, serta tidak memilih kecewa pada kemungkinan pada setiap hal yang baru.”

Sesuatu yang membangkitkan kenangan. Kenapa bisa melupakan hal yang sebegitu penting? Tidak boleh menyerah. Pada hal-hal yang telah dipelajari, cara dan semangat. Kita tidak akan menang kalau berpikir tidak akan menang. Hidup dan mati bukan kita yang menentukan, tapi jika seseorang memiliki keinginan hidup yang kuat, maka harapan hidupnya akan tinggi.

Nah, jadi sekarang kalian tahu dari mana (dasar) sifat keras kepala Abu, tapi ya sudahlah.

Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cerita, Kisah-Kisah, Kolom, Mari Berpikir, Pengembangan diri and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

2 Responses to MELALUI (KEMUDIAN) MENGALAMI

  1. Firdaus says:

    Luar biasa apalagi kisah org terdahulu mempunyai makna dan nilai ..vukan seperti sekarang. Tanpa makna dan nilai hanya kulit luar nya saja …isi dan hikmah tdk dipahami

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.