
Berjuang setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun terlihat mustahil, adalah sebuah kegilaan yang memberi nilai seorang manusia. Hidup untuk memberi, mempesona, seperti mengubah kata menjadi puisi.
NILAI SEORANG MANUSIA
Bagaimana cara menilai seorang manusia.
Sepanjang sejarah peradaban manusia belum pernah ada alat ukur tentang nilai seseorang. Manusia telah menemukan ilmu hitung (Matematika) sebelum zaman modern dan penyebaran ilmu pengetahuan ke seluruh dunia. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pengembangan matematika mengalami kemilau dibeberapa tempat. Matematika sendiri berasal dari bahasa Yunani kuno, mathema yang berarti mata pelajaran. Dimulai dari para matematikawan Yunani memurnikan motode-metode (khususnya melalui pengenalan penalaran deduktif dan kekakuan matematika di dalam pembuktian matematika), kemudian para matematikawan Cina memberikan sumbangan notasi posisional, dan sistem bilangan Hindu-Arab dengan sistem angka dengan kedudukan persepuluh yang dirancang pada abad ke-9 oleh seorang ahli matematika India (belum diketahui), yang kemudian diadaptasi oleh ahli matematika Muslim, dari Persia Al-Khawarizwi dan dari Arab Al-Kindi diteruskan ke Barat melalui matematika Islam, yang membuat matematika Barat menjadi lebih berkembang lebih maju pada zaman abad pertengahan. Selanjutnya yang terjadi adalah ledakan kreativitas matematika yang berinterakasi dengan penemuan ilmiah baru yang berlanjut sampai sekarang. Perkembangan matematika yang begitu pesat membuat manusia mampu menghitung nyaris segalanya. Harta kekayaan, kekuatan, kecepatan. Tapi bagaimana dengan jiwa manusia sendiri?
Sebagai jiwa, manusia memiliki kesadaran, mampu membedakan antara baik dan buruk. Manusia memiliki kemampuan untuk memilih secara etis, pilihan-pilihannya, baik atau buruk, menghasilkan sebuah pembukuan debit-kredit moral. Sebagaimana kita manusia beragama percaya bahwa kelak akan dipertanggungjawabkan setelah manusia itu mati. Akan tetapi dalam kehidupan sehari-hari bagaimana mengukurnya? Dalam hal ini matematika tidak bisa memberikan jawaban.
Manusia yang bernilai tentu adalah yang memiliki etika dan moral yang baik. Tapi bagaimana mengukurnya ketika etika dan moral tak bisa diukur secara pasti? Secara etimologi, etika berasal dari bahasa Yunani kuno, yakni ethos yang berarti adat-istiadat atau kebiasaan hidup yang dianggap baik oleh kalangan atau masyarakat tertentu. Etika biasanya berkaitan erat dengan moral, yang berasal dari bahasa Latin, mos dan bentuk jamaknya mores yang artinya juga adat kebiasaan atau tata cara hidup seseorang dengan melakukan perbuatan yang baik (kesusilaan) dan menghindari hal-hal yang buruk. Etika dan moral kurang lebih memiliki pengertian yang sama, ciri keduanya sama baik etika dan moral tidak bersifat mutlak, tergantung tempat dan waktu, keduanya bisa bergeser.
Manusia sebagai individu yang tak berulang sama persis.
Manusia berkembang seiring dengan jalannya waktu, azas berjalan pada tapak pertama, sebagaimana telur ditetaskan, kemudian kepak sayap direntangkan, semua bersahaja. Masing-masing kita memiliki kisah kehidupannya masing-masing. Ada yang tumbuh, ada cara membumbuinya. Detil-detil yang tidak tepat, atau salah ingat. Terlepas dari apakah rinciannya itu tepat atau tidak, namun selalu ada suatu inti kebenaran untuk kaidah seperti itu sama dengan pertama kali dahulu.
Hidup untuk memberi, mempesona, seperti mengubah kata menjadi puisi.
Rasulullah S.A.W bersabda, “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.” (HR. Ahmad). Inilah manusia yang kehadirannya ditunggu dan kepergiannya ditangisi. Berjuang setia bagi mimpi, untuk memberikan yang baik bagi dunia meskipun terlihat mustahil, adalah sebuah kegilaan yang memberi nilai seorang manusia. Hidup untuk memberi, mempesona, seperti mengubah kata menjadi puisi.
Manusia akan bisa menemukan yang luhur dalam hidup, terbebas dari jepitan akal praktis zaman yang hanya mau menghitung laba-rugi. Kita semua bisa tahu, manusia bukanlah belatung di atas onggokan tahi.
KATALOG OPINI
- Memutus Lingkaran Kebencian; 8 Juli 2017;
- Mengapa Kita Merasa Senasib Dengan Palestina; 23 Juli 2017;
- Asal Muasal Budaya Kopi Di Aceh; 1 Agustus 2017;
- Melukis Sejarah; 10 Agustus 2017;
- Sepak Terjang Partai Komunis Indonesia Di Aceh; 21 September 2017;
- Komunisme Dalam Perspektif Muslim; 30 September 2017;
- Dimanakah Makam Para Ratu Yang Pernah Memerintah Aceh Selama 59 Tahun; 6 Oktober 2017;
- Ketika Kritis Itu Haram; 9 Oktober 2017;
- Eksploitasi Sumber Daya Alam Apakah Bagus Untuk Aceh; 15 Oktober 2017;
- Perlukah Kita Menjaga Makam-Makam Warisan Penjajah Kolonial Belanda di Kherkoff Peucut Banda Aceh; 11 November 2017;
- Mampukah Puisi Mengubah Dunia: 4 April 2018;
- Menyingkap Makna Syair Kutindhieng Selaku Mantra Sihir Aceh Kuno; 15 Mei 2018;
- Kejatuhan Sang (Mantan) Pejuang; 6 Juli 2018;
- Umat Islam Tak Lagi Memiliki Perimbangan Antara Ilmu Dan Iman; 30 Juli 2018;
- Menafsir Alam Membaca Masa Depan; 14 Maret 2019;
Pingback: KAYA TANPA HARTA | Tengkuputeh
Pingback: KENAPA SEJARAH TAK BOLEH DILUPAKAN | Tengkuputeh
Pingback: ILMU MEMAHAMI ILMU | Tengkuputeh
Pingback: JANGAN (MUDAH) PERCAYA DENGAN APA YANG KAU BACA | Tengkuputeh
Pingback: ACEH YANG DILUPAKAN | Tengkuputeh
Pingback: SEJARAH TAK BERPIHAK KEPADA KITA | Tengkuputeh
Pingback: DI BAWAH NAUNGAN LENTERA | Tengkuputeh