SEJARAH TAK BERPIHAK KEPADA KITA
Di suatu hari pada tahun 1345 Ibnu Batutah tiba di Guangzhou menggunakan kapal Kesultanan Samudera Pasai milik Sultan Malik az-Zahir. Bandar yang disebut “zaitun” oleh para pedagang muslim itu. Lebih mengejutkan ternyata banyak kapal berbendera Pasai berdagang disitu. Jung yang di miliki Pasai terlihat menonjol di perairan Yunan tersebut. Kemajuan dibidang teknik dan ekonomi wilayah pelosok Islam sebelah timur muslim ini sekejab membuat petualang merasa bangga. Hari ini adakah kapal Aceh yang berniaga ke Cina?
Tahun 1629. Kapal induk armada Kesultanan Aceh telah tiba di gerbang kota Malaka yang dikuasai Portugis. Kapal itu bernama Cakradonya dan orang-orang Portugis menyebutnya dengan nama “Espanto del Mundo” atau teror dunia. Seorang sejarawan Spanyol bernama Manuel Faria y Sousa (hidup rentang 1590-1649) menulis dalam sebuah buku berjudul “Asia Portuguesa” terbitan Lisbon dicetak tahun 1666 menceritakan setiap prajurit Portugis melihat kapal ini mereka berteriak dengan kekaguman. Dia mendeskripsikan bahwa Cakradonya memiliki panjang 200 hasta (sekitar 100 meter), memiliki tiga tiang layar dan dilengkapi 100 meriam baik sisi kiri maupun kanan. Ia menyebutkan betapa hebatnya, betapa kuatnya, betapa indahnya, betapa kayanya. Meski sering melihat benda-benda indah kami semua terpukau melihat yang satu ini (Kapal Cakradonya). Selain Cakradonya ada beberapa kapal nyaris sekelas sebagai pengiring yaitu Cakra Alam, Rijalul ‘Asyiqin, Nurul ‘Isyqi, Cari Lawan dan Naga Kentara. Sekarang semua itu telah musnah, kita tidak tahu jika bukan karena orang asing menulisnya, seperti Denys Lombard seorang sejarawan Perancis dalam buku berjudul “Kerajaan Aceh” diterbitkan oleh Gramedia dicetak pertama tahun 1986. Hari ini adakah budaya maritim masih kita miliki?
Bukan sejarah tak berpihak pada kita, tapi sesungguhnya sejarah pernah menjadi milik kita. Jika seolah-olah bukan maka sebenarnya pemikiran telah dimanipulasi dengan tiga langkah:
- Identitas dihancurkan. Nama-nama orang terdahulu dicemarkan, makam-makam mereka diterlantarkan, sehingga merasa indatu adalah orang-orang yang pandir, menolak kemajuan dan hanya terfokus pada masa lalu.
- Penawaran kemungkinan untuk menyelamatkan diri. Untuk menjadi maju pilihannya adalah melebur menjadi sama dengan lainnya, menjadi baik dalam pandangan budaya luar. Ketika kita kehilangan identitas, akibatnya kehilangan jati diri, dan menghilangkan rasa gentar orang lain kepada kita. Tidak masalah bergaul dan membaur, tapi ketika kau terserabut dari akar maka tinggal menunggu angin kau akan terlempar.
- Identitas yang dibangun ulang. Seorang peneliti Belanda terkenal pernah berkata kita-kira, orang-orang Aceh zaman ini (1891) sudah tidak dapat diselamatkan dari peradaban (artinya selalu melawan penjajahan) maka tugas kita untuk menciptakan orang Aceh baru yang dapat menerima kemajuan (penjajahan). Putuskan akarnya sehingga mereka merasa malu akan leluhurnya.
Mengulang-ulang sejarah bukan berarti menangisi masa lalu yang indah dan (sedang) tak terulang kembali. Bukan juga untuk menyesali, menggerutu saja lalu untuk kemudian tidak berbuat apa-apa. Membaca sejarah masa lalu adalah untuk berpikir, merenung kemudian memiliki pijakan filosofis ketika bertindak. Menjadi api yang menerangi jiwa dan raga, sehingga tak akan pernah lupa siapa kita adanya.
Beberapa opini terdahulu:
- Kejatuhan Sang (Mantan) Pejuang; 6 Juli 2018;
- Umat Islam Tak Lagi Memiliki Perimbangan Antara Ilmu Dan Iman; 30 Juli 2018;
- Menafsir Alam Membaca Masa Depan; 14 Maret 2019;
- Nilai Seorang Manusia; 8 Juli 2019;
- Membaca Angin Menghindari Badai; 28 September 2019;
- Kaya Tanpa Harta; 24 November 2019;
- Perjalanan Yang Luar Biasa; 4 Desember 2019;
- Merekonstruksikan Kembali Letak Istana Daroddonya; 3 Maret 2020;
- Abu Nawas Menasehati Raja; 2 Juni 2020;
- Bustanus Salatin Panduan Berkuasa Para Sultan Aceh; 27 September 2020;
- Kenapa Sejarah Tak Boleh Dilupakan; 4 Oktober 2020;
- Penjara Pikiran; 9 Oktober 2020;
- Mengapa Harus Mempelajari Bahasa Daerah; 17 Maret 2021;
- Ilmu Memahami Ilmu; 15 Juni 2021;
- Lembu Patah; 18 Desember 2021;
- Jangan (Mudah) Percaya Dengan Apa Yang Kau Baca; 12 Februari 2022;
- Aceh Yang Dilupakan; 29 Maret 2022;
Pingback: DI BAWAH NAUNGAN LENTERA | Tengkuputeh