DI BAWAH NAUNGAN LENTERA
Ketika aku belia betapa terkesima membaca kitab Rihlah karya Ibnu Bathutah bahwa dia berlayar ke Quanzhou menumpang kapal dagang milik Sultan Malik Az-Zahir dari Kesultanan Samudera Pasai. Membaca uraian Ibnu Bathutah bahwa di sana bendera Kesultanan Samudera Pasai berkibar pada Kapal-kapal dagang dari Pasai memenuhi Bandar yang dijuluki “Zaitun” oleh pedagang Arab itu membuat aku semakin terkesima. Sehebat itukah kemampuan leluhur kita melaut, sampai-sampai Ibnu Bathutah kembali dari negeri Cina setelah bertualang di kota-kota Peking, Hangzhou, Fuzhou pun pulang dari Quanzhou menggunakan jung dagang Pasai.
Jauh sebelum itu, ayah dari Malik Az-Zahir yaitu Malik As-Saleh pernah menjamu seorang petualang dari Venezia selama lima bulan di Samudera Pasai yang menjadi utusan Kaisar Tiongkok ke Persia bersama dua ribu pengikut. Imago Mundi buku yang ditulis kelak menjadi saksi mengambarkan pujian pelancong Eropa itu yang mengagumi kemajuan yang dicapai Kesultanan Samudera Pasai saat itu. Lentera Samudera Pasai kemudian menyebarkan cahaya Islam ke seluruh Asia Tenggara seolah menjadi legenda dan mitos di hari ini. Padahal kitab-kitab secara nyata bercerita apa adanya.
Bukan kita bangsa yang tak mencatat, ketika Belanda mendarat pada ekspedisi kedua di Peunayong yang mereka pertama kali lakukan adalah membakar perpustakaan dan arsip Kesultanan Aceh yang telah berusia 800 tahun, darahku mendidih ketika memahami tujuan kolonial untuk menghapus sejarah kita, tujuannya adalah memutus kita dengan para leluhur yang agung.
Ketika Ali Mughayatsyah mendirikan kesultanan Aceh dengan tujuan membawa cahaya peradaban, bahwa keturunannya Iskandar Muda pernah mengepung Malaka yang dikuasai Portugis untuk membebaskan bangsa Melayu dari penjajahan. Kisah hidup disebut oleh Belanda via Snouck Hurgronje sebagai dongeng belaka membuat amarahku memuncak. Ketika aku membaca dokumen bahwa mereka (Belanda) meratakan makamnya dan membangun kantor gaji tentara Belanda diatasnya, sehingga seolah-olah makam Sultan Iskandar Muda tak pernah ada, emosi dan darahku mendidih.
Mungkin aku tak seberani Laksamana Malahayati yang tanpa banyak bicara menikamkan rencong ke dada Cornelis de Houtman pada pertarungan satu lawan satu di atas geladak kapal. Atau akupun tak cukup cerdik sebagaimana Teuku Umar yang menjadi satu-satunya pejuang selama kiprah Belanda di Nusantara mampu mengelabui mereka sampai dibenci dengan sebenci-bencinya.
Aku melihat dan mencari sekelilingku adakah orang yang setabah Tengku Chik Ditiro yang mengorbankan dirinya untuk orang-orang di negeri ini. Aku menangis mengetahui ia tak dikalahkan oleh musuh melainkan di racun oleh bangsa sendiri. Hikayat Prang Sabi seharusnya menjadi bacaan wajib disini, tapi apakah kalian pernah membaca setidaknya satu bait dari maha karya Tengku Chik Pante Kulu itu?
Di babah pinto syeureuga lapan
Saboh krueng sinan indah han sakri
Bate di pante pudoe ngon intan
Ji dong meu kawan budiadari
Budiadari nyang seudang-seudang
Ji teubit u blang ji dong meuriti
Ji mat ngon kipaih maseng di jaroe
Ji preh woe lakoe dalam prang sabi
Ija puteh ngon sampoh darah
Ija mirah ngon sampoh daki
Semakin bertambah usia aku mendapati diriku tak sehebat mereka, aku adalah manusia zaman ini dengan segala kelemahan yang ada. Namun ketika mencari teladan aku membuka kisah-kisah mereka, cukup menjadi pegangan menghadapi zaman ini.
Aku takut, anak-anak yang baru dilahirkan nanti akan melupakan mereka. Orang-orang hebat yang semakin pudar kisah-kisahnya. Aku tak berharap pemerintah akan mengurusi hal-hal seperti ini, mereka sudah sibuk dengan urusan mereka. Di bawah naungan lentera cahaya mereka aku mencoba bercerita tentang mereka dengan segala kekurangan yang ada padaku, aku mohon maaf atas keterbatasan kemampuanku.
Yang aku inginkan kalian semua mengingat mereka. Carilah dan bacalah dari sumber lebih terpercaya tentang mereka-mereka yang berjasa dan rela menumpahkan darah mereka untuk kalian yang kelak akan mewarisi negeri Aceh ini.
Langsa, 26 Januari 2023
Beberapa opini terdahulu:
- Nilai Seorang Manusia; 8 Juli 2019;
- Membaca Angin Menghindari Badai; 28 September 2019;
- Kaya Tanpa Harta; 24 November 2019;
- Perjalanan Yang Luar Biasa; 4 Desember 2019;
- Merekonstruksikan Kembali Letak Istana Daroddonya; 3 Maret 2020;
- Abu Nawas Menasehati Raja; 2 Juni 2020;
- Bustanus Salatin Panduan Berkuasa Para Sultan Aceh; 27 September 2020;
- Kenapa Sejarah Tak Boleh Dilupakan; 4 Oktober 2020;
- Penjara Pikiran; 9 Oktober 2020;
- Mengapa Harus Mempelajari Bahasa Daerah; 17 Maret 2021;
- Ilmu Memahami Ilmu; 15 Juni 2021;
- Lembu Patah; 18 Desember 2021;
- Jangan (Mudah) Percaya Dengan Apa Yang Kau Baca; 12 Februari 2022;
- Aceh Yang Dilupakan; 29 Maret 2022;
- Sejarah Tak Bepihak Kepada Kita; 8 September 2022;