
Tentara Belanda pada ekspedisi II di Dalam “Kraton” Sultan Aceh. Jenderal Van Swieten (kiri di atas meriam) dan Jenderal G.M. Verspijck (Kanan di atas meriam); arsip KITLV;
ACEH YANG DILUPAKAN
“Adalah duka sebuah kebudayaan ketika kegeniusan (telah) berhenti muncul, ambisi tiada, keingintahuan manusianya berkurang, maka cahaya sebuah negeri pudar, harapan-harapan sirna, dan mereka yang telah mati menangisi mereka yang hidup.”
Setiap akhir Maret orang-orang Aceh akan mengenang bahwa pada hari Rabu, 26 Maret 1873, dari geladak kapal Citadel Van Antwepen yang sedang mengintai perairan Aceh, Pemerintah Kerajaan Belanda secara resmi menyatakan perang dengan Kesultanan Aceh Darussalam, selang beberapa saat Pasukan Belanda dipimpin Mayor Jenderal Kohler mendarat di Pantai Ceureumen, Ulee Lheu (Banda Aceh sekarang). Maka terjadilah perang dahsyat yang pernah dialami Belanda di Nusantara, dan menjadi objek kajian sejarah, sosial dan bahkan budaya bagi Belanda.
Kemudian Perang Dunia kedua terjadi, negeri Belanda diduduki oleh Jerman. Bangsa Belanda yang terbiasa menjajah merasakan juga dijajah. Maklumat perang Aceh sendiri tidak pernah dicabut oleh pemerintah Belanda, suatu fakta yang dianggap penting oleh sebagian orang-orang di Aceh. Tapi sebenarnya (mungkin) Belanda sudah lupa, bahwa mereka pernah berperang di Aceh dengan sangat susah payah, dan berdarah-darah. Aceh sendiri setelah dikalahkan oleh Belanda mengalami kehancuran struktur sosial, budaya serta kekayaan berabad-abad telah dijarah oleh penjajah.
Salahkan marah kepada Belanda? Aceh yang diserang oleh mereka dulu tidak sama dengan yang ada sekarang. Sebuah arogansi kolonialisme imperialisme, atas dasar nafsu menyerang sebuah negeri, selanjutnya mereka lupa terhadap perbuatannya. Sebuah Kesultanan berdaulat yang diakui dunia dahulu menjadi provinsi (yang katanya) termiskin di pulau Sumatera. Bahwa ada banyak kerajaan yang menjadi bagian Kesultanan Aceh Darussalam ada yang menjadi kabupaten, kecamatan bahkan kampung. Atau mungkin kita juga yang salah, ketika tidak mampu beranjak dari masa lampau?
Masa lampau memang sering menakutkan, khususnya ketika dilihat dengan kacamata masa kini. Bahwa masa lampau itu tak mudah punah dari alam bawah sadar kita, meskipun semua kemegahan masa lampau itu kini (sebenarnya) sudah tidak ada lagi. Mereka-mereka yang memuji kita (sekarang) dapatlah dimaafkan selama mereka tidak tahu apa yang mereka omongkan. Orang-orang Aceh telah kehilangan keperkasaan, kecerdasan, (bahkan) kehormatan. Bendera, adat, bahkan sejarah! Semuanya (sudah) tidak ada.
Hari ini, Aceh menyiratkan kepedihan, menghadapi kekuasaan yang bertaut dengan pengetahuan, menghadapi senjata, harta dan kata-kata yang begitu kuat dan menaklukkan, ia berangkat untuk membebaskan, (pada) akhirnya ia (sekarang) terlupakan.
Katalog Opini:
- Umat Islam Tak Lagi Memiliki Perimbangan Antara Ilmu Dan Iman; 30 Juli 2018;
- Menafsir Alam Membaca Masa Depan; 14 Maret 2019;
- Nilai Seorang Manusia; 8 Juli 2019;
- Membaca Angin Menghindari Badai; 28 September 2019;
- Kaya Tanpa Harta; 24 November 2019;
- Perjalanan Yang Luar Biasa; 4 Desember 2019;
- Merekonstruksikan Kembali Letak Istana Daroddonya; 3 Maret 2020;
- Abu Nawas Menasehati Raja; 2 Juni 2020;
- Bustanus Salatin Panduan Berkuasa Para Sultan Aceh; 27 September 2020;
- Kenapa Sejarah Tak Boleh Dilupakan; 4 Oktober 2020;
- Penjara Pikiran; 9 Oktober 2020;
- Mengapa Harus Mempelajari Bahasa Daerah; 17 Maret 2021;
- Ilmu Memahami Ilmu; 15 Juni 2021;
- Lembu Patah; 18 Desember 2021;
- Jangan (Mudah) Percaya Dengan Apa Yang Kau Baca; 12 Februari 2022;
Pingback: MELUPAKAN ACEH - Welkom Koetaradja %
Pingback: PROSA ALAM GAYO LUES | Tengkuputeh
Pingback: SEJARAH TAK BERPIHAK KEPADA KITA | Tengkuputeh
Pingback: ADAT PELANTIKAN PEMAHKOTAAN PENABALAN SULTAN ACEH DARUSALAM | Tengkuputeh
Pingback: DI BAWAH NAUNGAN LENTERA | Tengkuputeh
Pingback: SUSUNAN PEMERINTAHAN ACEH SEMASA KESULTANAN | Tengkuputeh