MEMBACA BUKU MENGHIDU KENANGAN

Bau apak sejenis sangit yang dipahami oleh pembaca buku tua menyeruak diantara debu-debu halus terhidu oleh hidung yang bulu-bulunya butuh reboisasi.

Bau apak sejenis sangit yang dipahami oleh pembaca buku tua menyeruak diantara debu-debu halus terhidu oleh hidung yang bulu-bulunya butuh reboisasi.

MEMBACA BUKU MENGHIDU KENANGAN

Bau apak sejenis sangit yang dipahami oleh pembaca buku tua menyeruak diantara debu-debu halus terhidu oleh hidung yang bulu-bulunya butuh reboisasi. Yah, buku adalah benda yang lemah, rentan terhadap api, air bahkan pemerintah. Tapi musuh sesungguhnya sebuah buku adalah waktu. Naskah, manuskrip pelan-pelan lekang dihantam perjalanan zaman. Namun bukankan semua yang fana pasti digerus waktu?

Berbicara tentang waktu, manusia juga bertumbuh seiring jalan jarum jam. Pengetahuan, kebijaksanaan bertambah, setiap penambahan sesuatu mesti mengorbankan hal lain juga, kemudaan, semangat juga memudar dipenambahan usia. Itulah sebabnya orang tua cenderung tenang sedang yang muda lebih meledak-ledak.

Dulu, ketika berusia belasan Abu mampu melalap 3-12 buku sehari, sekarang? Satu buku membutuhkan waktu lebih dari 3-12 hari. Data berupa pengetahuan ternyata bisa memberatkan otak ketika membaca buku. Di usia belasan Abu hanya membaca buku tak perlu merenungkan isinya, istilah-istilah asing tak perlu dipahami defenisinya peduli setan arti rebound, aristokrasi, pantheisme dan sebagainya. Baca terus! Dan ternyata sekarang ketika mendapati sebuah informasi, memori Abu mengais-gais makna defenisinya. Maka sungguh bedebah kau defenisi! Pikir panjang ternyata tak terlalu baik ketika membaca buku.

Kata orang bijak waktu adalah musuh orang muda yang harus dibunuh! Disitulah buku hadir menjadi sahabat Abu dikala waktu senggang ketika waktu bermain sepakbola telah habis, pengajian usai, atau tiada lagi PR yang bisa dikerjakan, 24 jam terasa tumpah ruah. Orang bijak yang sama juga berkata, waktu adalah harta bagi orang tua. Betapa sulitnya menyisihkan waktu untuk membaca, apalagi menulis setelah rutinitas dalam seharinya.

Hidup membuat Abu sadar bahwa tidak ada tokoh dalam sebuah buku berwujud alam manusia asli, manusia terlalu kompleks untuk digambarkan secara keseluruhan di atas kertas, dan sebagian lainnya terlalu membosankan. Tidak epik, tiada drama, tanpa romantisme dan biasa-biasa saja, sebagaimana sebagian besar dari kita. Seorang teman pernah memprotes Abu ketika ia menceritakan masalahnya, Abu memberikan referensi sebuah buku untuk dibaca. Ia berkata, “Itulah penyakit seorang pembaca yang angkuh! Tidak semua teori berjalan sesuai dengan kenyataan, jikalah semua teori yang diajarkan di fakultas kedokteran berlaku umum dan sesuai maka tak perlu seorang dokter mengikuti co-ass?”

Abu rasa yang dia katakan benar. Membaca buku mungkin akan memberikan banyak referensi. Otak bergemerisik, seperti akan meledak atau paling tidak kepala berasap. Setiap pembaca buku yang budiman biasanya menyadari bahwa ia tak akan menang dari orang yang berjalan di bawah sinar mentari sambil tertawa bahagia.

Abu memiliki sebuah teori yang tidak diperoleh dari buku. Abu memikirkannya sendiri. Tapi memang Abu memikirkannya berdasarkan buku-buku yang telah dibaca dengan sangat hati-hati dan memikirkannya dengan cermat bahwa sebaiknya pembaca buku adalah mereka yang ceria. Mendapati arti defenisi yang pernah dia baca pada masa lampau tampak jelas sedikit demi sedikit dalam hidup. Dia akan bergumam dengan wajah antusias, mulutnya berbentuk huruf O dan berkata, “Oh, ternyata itu maksudnya.” Seraya tersenyum bahagia.

Jika kau masih menyimpan buku tulis dari kelas-kelasmu dari tahun-tahun sebelum sekarang, atau catatan-catatan lama lainnya. Kalau membolak-balik halamannya, kita sering merasa heran bagaimana kita berubah dalam waktu yang singkat sejak tulisan itu dibuat. Mungkin heran melihat apa-apa yang keliru dalam tulisan itu, tapi juga mungkin heran oleh hal-hal bagus yang pernah kau tuliskan. Kau telah berubah, begitupun sejarah dunia.

Itulah sebabnya Abu suka membaca buku-buku lama, bahkan tulisan-tulisan lama yang pernah Abu tulis dulunya. Memperbaharui persepsi dan menghidu kenangan masa lampau ketika dahulu pertama mengalaminya. Itu menyenangkan, mungkin butuh waktu yang lebih lama dari seharusnya. Tapi percayalah tertawa paling nikmat itu adalah menertawakan diri sendiri. Jika kau memiliki mental, sayangnya tidak setiap orang punya. Tidak setiap orang mampu menghadapi dirinya sendiri, terutama masa lalunya.

Masalah sebenarnya, yang tersimpan dalam ingatan bisa jadi hanya rasa jengkel menemukan betapa manusiawi dirimu, dan fakta bahwa yang kamu ingat itu sebenarnya bukanlah seorang manusia melainkan sesungguhnya itu adalah kenangan, yaitu persepsi atas apa yang telah dialami.

Silahkan membaca buku kemudian menghidu kenangan. Tapi ingatlah selalu bahwa kenangan memang tak sepenuhnya utuh dan bersih, sebuah kisah yang pribadi memang bukan sebuah buku sejarah.

Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Buku, Cerita, Kisah-Kisah, Kolom, Mari Berpikir, Opini, Pengembangan diri and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.