Mereka yang terbiasa dengan kekuasaan dan aturan memang umumnya sulit memahami puisi, benda ajaib yang lahir dengan tak terduga dari hati. Puisi adalah ungkapan perasaan yang sendu, sakit atau terluka. Puisi biasa dekat kepada mereka yang tertekan perasaaan, disingkirkan dan memendam hasrat yang tak tersampaikan.
kita tak akan bisa melupakan bahwa dalam sejarah Indonesia terdapat seorang Chairil Anwar yang mampu mengharubirukan kita akan perasaannya ditahun 1945. Jejak rekam sang maestro tak lekang oleh waktu.
Chairil Anwar menulis sajak “doa” pernah menulis sajak sufistik yang amat menggetarkan: “Tuhanku/dalam termangu/Aku masih menyebut NamaMU”. Tapi Chairil Anwar dalam kumpulan sajak yang sama juga mencemooh harapan orang-orang yang menginginkan surga yang biasanya, “yang kata Masyumi + Muhammadiyah bersungai susu/dan bertabur bidari seribu”. Sebab, mungkin Chairil Anwar “menginginkan” surga yang berbeda.

Chairil Anwar (26 July 1922 – 28 April 1949) was an Indonesian poet. His poems have been translated into English, French, and Dutch. The anniversary of his death is celebrated as National Literature Day.
Chairil Anwar, pada masa itu (Tahun 1940-an) di Indonesia memang berbicara dengan gaya angkuh, cerdas, cekatan dan kocak. Indonesia saat itu juga masih sebuah bangsa yang harap cemas akan dirinya, masih berjuang meraih kemerdekaan. Indonesia masih sebuah cita-cita yang belum tentu terwujud.
Maka oleh karena itu baik Masyumi maupun Muhammadiyah tidak melakukan protes atas puisi tersebut, atau mengerahkan massa yang “tersinggung” oleh puisi tersebut. Atau mereka tidak merasa “perlu” untuk menyanggah puisi kurang ajar tersebut.
Indonesia di masa kini tentu berbeda saat Chairil Anwar masih hidup, setelah sekian tahun merdeka, kita menjadi sebuah negeri yang diperebutkan oleh bermacam kepentingan. Betapa sumpeknya, betapa panasnya kita. Bahwa bisa terjadi bentrokan kemarahan dan ketersinggungan dengan cepat menyebar, juga represi, siapa yang bisa menyalahkan? Dan siapa yang bisa disalahkan?
Maka seandainya Chairil Anwar masih hidup hari ini, mungkin lebih baik dia tak menulis puisi. Ditengah dua masa yang sedang bentrok, bergulat, sebuah negeri. Para pemikir sibuk, salah tentu jika penyair asyik sendiri.
Apakah ada kemampuan seorang penyair terhadap kemajalan dunia?
Puisi adalah seni tertulis dimana bahasa digunakan untuk kualitas estetiknya sebagai tambahan, atau selain sisi semantiknya. Puisi tidak sebagai jenis literature tapi perwujudan imajinasi manusia yang menjadi sumber segala kreativitas. Puisi juga merupakan curahan isi hati seseorang yang akan membawa orang lain ke dalam hatinya. Puisi juga terkadang disebut syair berasal dari bahasa Arab Syu’ur yang bermakna perasaan.
Puisi hanya bertumpu akan kata tanpa alat bantu, disinilah kesulitan seorang penulis atau pembawa puisi untuk menyampaikan perasaan yang terdalam kepada penikmat. Berbeda dengan syair yang diringi oleh musik dan berkompilasi dalam bentuk lagu, menjadikan lagu sangat dinamis.
Puisi cenderung statis. Disiplin ilmu pasti telah membuai kita, tak salah memang. Namun apa indahnya Matematika bila sebuah puisi tak melengkapinya. Tapi puisi, bahkan dengan suara yang keras, seperti halnya sastra, tidak pernah cukup padu untuk mengubah dunia.
Dapatkah kita menyalahkan puisi?
Tentu dapat, sebuah puisi bisa dirasa sangat sumbang, menyentil perasaan. Adakalanya kita merasa perlu memprotes sebuah puisi dengan turun ke jalan-jalan. Tapi untuk apa? Puisi sama dengan kata, ibarat panah, meluncur bebas kepada para penafsir. Setiap orang bisa menginterprentasinya berbeda-beda.
Pembacalah yang menentukan. Puisi memiliki makna berlapis-lapis, sehingga akan menjadi pergulatan yang tak pernah selesai. Tafsir ini selalu berkembang bersama ruang dan waktu, itulah mengapa tidak ada tafsir baku atasnya. Kita tahu setiap tulisan dan tafsir dikemukakan dalam bahasa, dan bahasa dalam keniscayaannya membentuk persepsi, jika ada sebuah puisi yang buruk, janganlah kita menciptakan sebuah puisi yang lebih buruk lagi untuk menyerangnya.
Jika hidup adalah puisi
Semua orang tahu, Chairil Anwar menuliskan puisi bukan untuk meneguhkan kekuasaan, apalagi menyebarkan kebencian. Ia menulis, kurang lebih perasaan pribadinya, yang mirip-mirip sufi gila. Karena itu puisinya, tidak lain tidak bukan, sangat berkelas. Tak lekang oleh pergantian zaman.
Siapa yang menyalahkan Chairil Anwar ketika dipenghujung hayat lelah, dan terjerembab menulis, “ada yang tetap tidak diucapkan/sebelum akhirnya kita menyerah”, sebuah penghujung sajak yang mengharukan sebelum dia akhirnya meninggal. Adalah itu putus asa, kearifan atau bahkan sufisme? Itu tergantung persepsi kita kepada apa yang dituliskannya.
Maka laku, tindakan sang penggubah adalah lebih penting. Karena seorang penyair bahkan penafsir tidak lahir dari ruang hampa, ia adalah makhluk sejarah. Jadilah berarti, karena hidup untuk memberi, mempesona, seperti mengubah kata menjadi puisi.
XXX
Pingback: KEJATUHAN SANG (MANTAN) PEJUANG | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: MENAFSIR ALAM MEMBACA MASA DEPAN | Tengkuputeh
Pingback: NILAI SEORANG MANUSIA | Tengkuputeh
Pingback: KEJATUHAN SANG (MANTAN) PEJUANG | Tengkuputeh
Pingback: KAYA TANPA HARTA | Tengkuputeh
Pingback: PENYEBAB KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM | Tengkuputeh
Pingback: KENAPA SEJARAH TAK BOLEH DILUPAKAN | Tengkuputeh
Pingback: MENGAPA HARUS MEMPELAJARI BAHASA DAERAH | Tengkuputeh
Pingback: ILMU MEMAHAMI ILMU | Tengkuputeh