
Meanwhile in Banda Aceh, sebuah spanduk berkibar : “Selamat Datang Generasi “Emas” Tugas Mahasiswa itu Kuliah KRITIS ITU HARAM! Lulus Cepat Lalu Kerja #SaveMahasiswa.”
KETIKA KRITIS ITU HARAM
Meanwhile in Banda Aceh, sebuah spanduk berkibar : “Selamat Datang Generasi “Emas” Tugas Mahasiswa itu Kuliah KRITIS ITU HARAM! Lulus Cepat Lalu Kerja #SaveMahasiswa.” Pertanyaan pertama membaca spanduk itu adalah memangnya mencari kerja di zaman sekarang gampang? Mencari kerja hubungannya dengan ekonomi, dan jika ekonomi menjadi pilihan utama maka kita semua membenarkan tesis Karl Marx bahwa Faktor Ekonomi merupakan substructure yang utama. Ekonomi segala-galanya, disini kita melihat cukup banyak persamaan antara Komunisme dan Kapitalisme. Sama-sama kejam.
Tapi tentu spanduk itu punya maksud baik, yang kita tidak tahu pasti. Bisa jadi sebuah satire perlawanan atau bisa jadi mengarahkan mahasiswa menjadi sebuah mesin yang efisien dan efektif. Agar tidak menjadi robot politik yang bisa dikendalikan oleh anasir-anasir di luar (atau dalam) kampus demi kepentingan ekonomi dan politik. Ekonomi adalah senjata, sedang politik adalah pelatuknya. Bangku kuliah adalah sarana mencari ijazah untuk kemudian dijadikan alat mencari kerja, untuk kemudian menikah dan berketurunan. Ilmu? Bisa didapat dimana saja, di meja kopi atau pergaulan. Mungkin, ada kekhawatiran ketika mahasiswa mengenal yang namanya “kopi politik”, “duduk politik” atau “uang politik” bukankah intinya juga ekonomi? Ada proyek yang dikejar, nanti dulu selesaikan kuliah baru kejar materi. Bukan begitu?
Tapi robot-robot yang bergerak efektif dan efisien sebenarnya tidak pantas disebut mahasiswa. Secara etimologis Maha berarti “sangat; amat; terangat” dan Siswa berarti “murid; pelajar” artinya jika mahasiswa berniat atau bisa diarahkan menjadi seperti spanduk itu yang terjadi adalah mereka hanya berlabel mahasiswa tetapi tidak berlaku seperti mahasiswa.
Ketika berpikir kritis menjadi “haram” maka sepanjang sejarah yang kita lalui selama ini kita menjadi orang yang tidak belajar apa-apa. Di setiap zaman, setiap ketidakseimbangan maka selalu muncul penyeimbang, yaitu Mahasiswa atau kaum pemuda. Sumpah Pemuda 1928, Peristiwa Renggasdengklok 1945, Kesatuan Aksi Mahasiswa 1966, Malari 1974 sampai Reformasi 1998. Menjadi saksi perjalanan sebuah bangsa bernama Republik Indonesia. Itu dulu tapi untuk apa berpikir kritis zaman ini?
Kampus mencari keuntungan ekonomi
Sejak awal tahun 2000 pemerintah mencanangkan Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTH BH) memang sampai dengan tahun 2016 baru terdapat 11 PTH BH. Tapi yang terjadi adalah hampir di semua Perguruan Tinggi ada kenaikan biaya SPP besar-besaran secara massif sejak itu. Sebagai contoh Jika ditahun 2002 uang SPP Unsyiah hanya Rp. 360.000,- maka ditahun 2016 bisa mencapai Rp. 5.000.000,- persemester dengan pertumbuhan 1378,89%. Maka siapa yang mau berlama-lama kuliah dengan biaya semahal itu? Bagaimana bisa berpikir kritis jika orang tua di kampung menaruh harapan besar kepada putra-putri mereka untuk segera menyelesaikan perkuliahan. Ini belum ditambah uang sewa kos, fotocopy dan segala tetek bengeknya yang tiap tahunnya terasa mencekik.
Kritis itu butuh mental, mungkin para senior mengatakan bahwa mahasiswa tidak cerdas, pesolek dan mental tempe. Tapi yang sebenarnya ada satu tambahan lagi biaya. Paling berbahaya jika ada kepentingan bisnis “mereka” terganggu akibat sikap kritis mahasiswa. Semua ada biayanya!
Mahasiswa menghadapi persaingan global
Indonesia harus menyaksikan bahwa Negara-negara lain (terutama Malaysia) semakin maju kualitas pendidikannya. Mereka semakin maju dalam persaingan global. Akhirnya merasa harus mengadopsi berbagai sistem dari beberapa Negara yang sudah mapan.
Kampus sekarang membuka kesempatan yang sebesar-besarnya kepada mahasiswa untuk mengembangkan diri, hal-hal seperti kelas internasional dan berbagai bea siswa tersajikan. Tapi itu hanya tersedia kepada orang-orang terpilih dan mampu. Tes TOEFL, kursus, paper, jurnal diberikan untuk menguji kualitas IQ mahasiswa. Tentunya para mahasiswa harus siap mengikuti perkembangan zaman. Maka tidak ada waktu untuk mengikuti contoh-contoh mahasiswa zaman lampau, pergerakan, seni, pecinta alam buat apa?
Ada tiga hal yang membentuk kepribadian; genetika, belajar dan asupan. Ketiga hal itu dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan perkuliahan. Terserah mau dikatakan banci dan tidak pro-perjuangan. Terserah dikatakan tidak progessif karena tidak mendapati proses yang benar. Menghadapi persaingan global (terutama tes CPNS) yang paling penting adalah bisa menjawab CAT bukan dididik dan mengalami proses. Sistem di kampus sudah berubah dari zaman dahulu dan mahasiswanya juga beda dan yang paling penting dihadapi mahasiswa zaman sekarang adalah lowongan pekerjaan yang semakin sedikit. Jadi untuk apa kritis?
Tapi berpikir kritis itu perlu
Ketika pengekangan itu sudah terjadi, ketika hak untuk berpendapat sudah mulai coba-coba dihilangkan, atau ketika mahasiswa mulai dianggap “menganggu” bisnis mereka. Maka sebenarnya jangan menyerah.
Ketika segalanya semakin rumit dan sampai kepada tahap tidak sanggup dipikirkan lagi maka disitulah seharusnya kalian berpikir bahwa fungsi setiap persekolahan adalah menghasilkan manusia dengan kemampuan berpikir bukan sebatas robot yang hanya mampu menyelesaikan tugas.
Ketika idealisme kolektif mati dan hanya segelintir individu yang masih bertahan apa yang mesti kita lakukan? Setiap manusia harus mengajarkan diri mereka sendiri berpikir dan kritis dengan apa yang sedang mereka pelajari, untuk menjadi manusia yang berbahagia dengan mengormati orang lain dan diri sendiri. Kita tumbuh sebagai manusia dengan segala persoalan dalam hidup, karena ada banyak kemungkinan kedepan yang harus dijalani setelah kuliah selesai, dan itu sulit terpecahkan jika tidak mampu berpikir kritis. Manusia bukan mesin yang hanya bisa menerima instruksi semata. Dan jika kamu berpikir kritis itu haram adalah sebuah kebenaran maka kamu sudah berhenti menjadi manusia.
KATALOG OPINI
- Bersatulah Bangsaku; 1 Agustus 2008
- Berpikir dan Bertindak; 3 Agustus 2008
- Melanjutkan Perjuangan; 4 Agustus 2008
- Perempuan Aceh Full Power; 4 Agustus 2008
- Jomblo Bukan Berarti Homo; 12 Agustus 2008
- Lebih Menggetarkan Dibanding Asmara; 22 Agustus 2008
- Manajemen Kritik; 18 September 2008
- Temukan Mentor Rahasiamu; 23 September 2008
- Sang Tiran; 15 Oktober 2008
- Yang Muda Yang Berguna; 22 Oktober 2008
- Lughat; 28 November 2008;
- Udik Invation; 15 Desember 2008;
- Membangun Tradisi Baru; 18 Desember 2008;
- Tragedi Andalusia Mungkinkah Berulang; 30 Desember 2008;
- Lautan Yang Tersia-siakan; 23 Januari 2009;
Pingback: WHEN CRITICISM IS FORBIDDEN | Tengkuputeh
Pingback: MEMUTUS LINGKARAN KEBENCIAN | Tengkuputeh
Pingback: POLITIK ABU NAWAS | Tengkuputeh
Pingback: KEKUATAN SYAIR | Tengkuputeh
Pingback: MAGHRIBI DAN EAST - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: KEJATUHAN SANG (MANTAN) PEJUANG | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: MENAFSIR ALAM MEMBACA MASA DEPAN | Tengkuputeh
Pingback: NILAI SEORANG MANUSIA | Tengkuputeh
Pingback: KEJATUHAN SANG (MANTAN) PEJUANG | Tengkuputeh
Pingback: KAYA TANPA HARTA | Tengkuputeh
Pingback: ABU NAWAS MENASEHATI RAJA | Tengkuputeh
Pingback: PENYEBAB KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM | Tengkuputeh
Pingback: KENAPA SEJARAH TAK BOLEH DILUPAKAN | Tengkuputeh
Pingback: MENGAPA HARUS MEMPELAJARI BAHASA DAERAH | Tengkuputeh
Pingback: BACALAH INI DISAAT ENGKAU MERASA KALAH | Tengkuputeh