POLITIK ABU NAWAS
Sebuah lelucon akan lebih terasa dekat, ia memanggil rasa haru, bangga dan bahagia secara akrab disaat waktu terlalu sempit untuk memaki atau menangisi nasib. Mungkin, karena itulah Abu Nawas terasa begitu akrab. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan dengan perkasa, tercipta jarak. Jarak untuk kagum dari jauh, berusaha paham dengan arif. Dan untuk itu Abu Nawas hadir menampilkan ironi, membuka pintu menuju arif. Tak heran ia menjangkau siapa saja.
Dalam kisahnya kita belajar kebijaksanaan dengan riang, bahwa hati dengan ringan kita mengetahui bahwa yang suci tak sebegitu menggetarkan, bahwa yang berkuasa perlu mendengarkan si pandir. Lelucon menemukan sesuatu yang luhur bukan sekedar kotoran yang terserak, setidaknya ia memberi arti.
Abu Nawas lahir dari sejarah bukan dari ketiadaan. Nama asli Abu Nawas adalah Abu Ali al-Hasan bin Hani al-Hakami. Dia dilahirkan pada 145 H (747 M ) di kota Ahvaz di negeri Persia (Iran sekarang). Ayahnya, Hani al-Hakam, merupakan anggota legiun militer Khalifah Marwan II. Sementara ibunya bernama Jalban, wanita Persia yang bekerja sebagai pencuci kain wol. Sejak kecil ia sudah yatim. Hidup dimasa gemilang pemerintahan Harun Al-Rasyid, dengan cara kacau balau mampu menolong atau sekaligus mengalahkan Khalifah dalam setiap masalah.
Saat itu zaman keemasan dimana emas diucapkan lebih banyak dibandingkan gandum, membongkar kebiasaan lama memandang kekayaan dan milik, melimpahnya emas juga merupakan sesuatu yang salah, ketika demand dan supply tidak berjalan dengan semestinya, pada akhirnya disebuah kota besar, dalam pasar yang ramai, tak banyak yang tahu. Di balik kekuasaan seorang Sultan itu ada apa? Dan ada siapa? Mengingatkan bahwa seorang Khalifah paling gemilang sekalipun membutuhkan masukan dari seorang pandir yang nakal.
Alangkah malang jika sebuah negeri dipimpin oleh mereka yang suka berpura-pura, lain dimulut lain dihati. Namun kemalangan yang melebihi hal itu adalah kesediaan masyarakatnya menerima penipuan itu dengan ikhlas. Maka kemalangan apa yang mampu melebihi hal ini.
Karena itu sosok Abu Nawas akan selalu kita kenang, ketika kita lelah dengan omong kosong politik. Ketika cerdik pandai duduk, diam, terhenyak, melihat masa kini bagai masa kini, melainkan masa silam yang cacat. Bersama Abu Nawas kita mengetahui bahwa pemegang kuasa tak lebih manusia biasa yang bisa salah, dan kekuasaan itu ternyata tidak terlalu membuat gentar asal kita menanggapi dengan humor, karena manusia siapapun ia sanggup menerima yang asyik, dengan bersahaja karena hampir tak ada satu pun menjauhi yang asyik, lucu, nakal dan tak terduga.
Politik Abu Nawas bukanlah hal yang luar biasa akbar, ia memberi nasehat bukanlah fatwa hukum, disitulah lahir kedalaman kearifan. Sebuah politik kehidupan berupa repetisi yang berulang tiap kali di seluruh hari, menunjukkan hidup ini bagai sebuah kebetulan yang tak jelas arahnya dan seolah absurd. Namun didalamnya tersimpan sesuatu yang arif, bahwa politik, sebagai panggilan, sebenarnya adalah panggilan yang muram, sedih dan dalam kesedihan itu seharusnya kita bertugas. Dalam lelucon dan senyuman, paradoks. Karena tertawa adalah hal yang paling terindah di dunia, jika kita paham akan estetika.
Mungkin, Ketika itu yang agung sebenarnya tak teramat menggetarkan dan tak teramat berarti lagi. Humor dan ironi lebih menyelamatkan dibanding impian akan kekuasaan dan kejayaan semata. Di mana manusia menemukan luhur dalam hidup, membebaskan akal praktis dari untung-rugi semata.
XXXXX
Berbagai Opini Lain Yang Terserak:
- Jangan Melupakan Sejarah; 26 Juli 2009;
- Apa Yang Machiavelli Lakukan; 1 Juni 2011;
- Sultan Abu Nawas; 1 November 2013;
- Jangan Golput; 22 Maret 2014;
- Misi Mencari Abu Nawas; 7 Maret 2016;
- Bajak Laut : Pemberontak Atau Perompak; 17 Maret 2016;
- Membakar Buku Membunuh Inteletual; 6 Juni 2016;
- Riwayat Sarung; 9 Januari 2017;
- Tragedi Barbastro; 3 April 2017;
- Menentang Tradisi Memang Tradisi; 5 April 2017;
- Pengulangan Sejarah; 23 Mei 2017;
- Bom Bunuh Diri Untuk Kemenangan Siapa; 25 Mei 2017;
- Mengapa Kita Merasa Senasib Dengan Palestina; 23 Juli 2017;
- Asal Muasal Budaya Kopi Di Aceh; 1 Agustus 2017;
- Ketika Kritis Itu Haram; 9 Oktober 2017;
abu nawas (bapak jambul). suatu ketika menjumpai anak2 bermain, ikut nimbrung dan rambutnya terkena angin. jadi jambul. abis itu terkenal dengan abu nawas.
kayaknya gitu ya?
Benar saudara zi. Sudah lama kita tak bersua. Selamat menunaikan ibadah puasa, mohon maaf lahir dan batin.
Pingback: THE POLITICS OF AN ABUNAWAS | Tengkuputeh
Pingback: SULTAN ABU NAWAS | Tengkuputeh
Pingback: MISI MENCARI ABU NAWAS | Tengkuputeh
Pingback: SULTAN ABU NAWAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: ABU NAWAS MENASEHATI RAJA | Tengkuputeh
Pingback: MASA-MASA KEMUNDURAN ISLAM | Tengkuputeh
Pingback: BUSUK | Tengkuputeh
Pingback: MENELUSURI SEJARAH PERANG SALIB | Tengkuputeh
Pingback: NGANGKANG STYLE | Tengkuputeh
Pingback: TRAGEDI BARBASTRO | Tengkuputeh
Pingback: ANDALUSIA SAYUP SAYUP SUARAMU SAMPAI | Tengkuputeh