
Kita semua adalah budak sejarah. Ia adalah sungai yang tak bisa diganggu siapapun. Kita juga tak bisa berenang melawan kekuatannya. Bahkan kita akan tenggelam ke dalam arusnya.
JANGAN MELUPAKAN SEJARAH
“Now, The borders have moved in over the centuries, but this nostalgia, so in contradiction to reality, is all because of the history.”
Segala sesuatu memiliki asal mula, perjalanannya dinamakan sejarah dalam bahasa awam disebut masa lalu. Manusia sebagai individu pelaku sepatutnya belajar dari segala hal yang telah terjadi, karena sejarah dapat berulang, dengan berbagai pola. Namun kita, manusia tidak bisa kembali kemasa lalu.
Dulu sewaktu duduk di bangku SMU. Seorang teman pernah berkata kepada penulis, “bahwa Tidak ada yang lebih banyak di dalamnya kebohongan melebihi Sejarah”. Teman tadi yang duduk sebangku dengan penulis memang tak terlalu menyukai pelajaran Sejarah.
Sikap apatis seperti itu terhadap sejarah khususnya kepada pelajarannya tak pelak sudah penulis alami semenjak SMP, pernah suatu ketika dalam satu kelas hanya sekitar dua orang murid laki-laki yang mengikuti pelajaran sedang yang lain pada tertidur, dan bagaimana dengan murid yang perempuan? Mungkin sudah menjadi fitrah bahwa murid-murid perempuan tidak “se-Texas” murid-murid laki-laki, walaupun ogah-ogahan tapi paling tidak mereka mencoba memperlihatkan wajah ingin tahu walaupun saat itu penulis harus mengatakan bahwa akting mereka sangat sangat buruk.
Berbeda lagi disaat penulis duduk di bangku Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN), saat itu penulis dan teman-teman didasari rasa ingin tahu yang besar? Benar-benar bersemangat mengikuti pelajaran ini. Setiap kali belajar merupakan plesir ke masa lalu di mana kami menemui hal-hal baru tentang geografi, kebudayaan, agama yang membuka mata kami semua terhadap dunia.
Yang menjadi pertanyaan adalah mengapa ketika sudah mengetahui sedikit, orang-orang tersebut berbalik tidak menyukai sejarah? Orhan Parmuk seorang novelis Turki dalam novelnya Kar (dalam versi bahasa Inggrisnya Snow) sambil melihat potret kota Istanbul ia menulis, “Terpukau keindahan kota ini dan selat Bosphorus, orang akan diingatkan akan perbedaan hidupnya sendiri yang papa di hari ini dengan kejayaan yang membahagiakan di masa lampau,” dan masa itu tak bisa di ulangi.
Bingo! Itulah jawaban yang penulis temukan, kenapa banyak orang menjadi apatis mengikuti sejarah adalah takut tersilaukan oleh kejayaan masa lalu dan menjadi seorang pesakitan memandang dirinya sekarang. Disamping banyak faktor lain yang juga mempengaruhi, penulis menghipotesiskan analisa ini mendekati kebenaran.
“Jangan sekali-kali melupakan sejarah” atau Jasmerah!!! Begitu tutur bung Karno untuk meningkatkan semangat bangsa Indonesia yang telah sekian lama terjajah oleh Kolonialis di mana rasa percaya diri bangsa kita telah ditekan dengan dasyatnya sehingga pada masa itu ada pepatah yang dipopulerkan Belanda kepada rakyat Indonesia. “Bahwa gunung-gunung bisa yang tinggi bisa tercabut dari akarnya akan tetapi bangsa ini tidak akan bisa mengalahkan Belanda”. Begitulah dangan sangat culasnya Kolonialis memanipulasi bangsa kita. Dengan mencoba mengingatkan kembali kejayaan masa lampau bung Karno dan tokoh-tokoh pergerakan saat itu mendongkrak rasa kepercayaan bangsa ini yang tengah berada pada titik nadir.
Penulis percaya bahwa siapa diri kita hari ini adalah hasil dari masa lalu kita, dan jika ingin mengubah masa depan kita harus memulainya dari sekarang. Mungkin sangat pedih untuk membuka lembaran hidup kita ke belakang di mana kita terlalu banyak melakukan kesalahan tapi tanpa usaha untuk memperbaikinya maka diri kita tidak akan menjadi lebih baik. Pendeknya, jika kita masih saja sesuatu hal yang sama maka janganlah mengharapkan hasilnya akan berbeda.
Kembali kepada teman penulis tadi, mungkin benar apa yang dia katakan bahwa mungkin dalam sejarah terdapat banyak kebohongan, bahwa sejarah mungkin ditulis menurut selera dari penulisnya. Akan tetapi disitulah kita dapat memetik hikmah dari kesalahan dan kebaikan yang telah dilakukan oleh orang-orang terdahulu untuk mencoba memperbaiki diri kita untuk menjadi lebih baik.
Penulis sangat mengena akan tulisan yang ditulis oleh Ibn Khaldun berabad-abad lampau dalam kitab Mukaddimah, “Bahwa kebenaran itu akan terlihat jelas apabila peristiwa telah berlalu dan kita sudah tidak memiliki kepentinggan yang bersinggungan langsung dengan peristiwa tersebut.”
Terakhir mengutip Dr. Ali Muhammad Ash Shalabi dalam bukunya Bangkitnya dan Runtuhnya Khalifah Ustmaniyah yang penulis sangat tersentuh membacanya, sebuah pepatah Arab yang berbunyi, “Pelajari Sejarah! Karena suatu kaum yang melupakan sejarahnya seperti anak pungut yang tidak mengetahui nasabnya. Atau seperti orang yang hilang ingatan sehingga ia tidak ingat masa lalunya.”
Apapun yang terjadi, jangan melupakan sejarah!!!
“Kita memerlukan pijakan kukuh dari masa lalu untuk dapat melompat maju ke depan.”
Lhokseumawe; pagi dini hari, Milvan Murtadha.
saya sangat suka sejarah, buku yang saya paling suka buku sejarah, kisah nyata, biografi, novel berdasar sejarah, film berdasar kisah nyata. membaca atau menontonnya serasa bertualang mengarungi waktu…
Sejarah terkadang dibuat sesuai versi dan kepentingan kelompok dominan…akhirnya seperti kutipan diatas…kebenaran akan terungkap ketika tidak lagi ditunggangi kepentingan….tp mungkin itu perlu waktu lama dan melewati banyak generasi
kata2 bung karno itu hingga sekarang masih menjadi rujukan banyak orang bagaimana seharusnya dinamika kehidupan itu didesain. dan sepertinya ini sdh menjadi keyakinan scr universal, mas tengku, sampai peraih nobel sastra, orhan pamuk pun menuliskannya dg rangkaian kata2 yang indah.
tapi sejarah dibuat oleh mereka : para pemenang. maka, kebenaran dari satu sisi selalu berbicara…
@ Kang Karang ==> Iya, berselancar dalam imajinasi membuat kita berkelana dalam petualangan yang sangat mendebarkan dan mengasyikkan 🙂
@ Mas Esha ==> Itulah kekuatan waktu, bahkan tuhan bersumpah dengan menggunakan namanya 🙂
@ Mas Sawaly ==> Kebenaran itu bisa datang dari siapa saja, bahkan kata-kata itu sangat mengagumkan 😀
@ Mas Ucup ==> Sejarah adalah karya sang pemenang, yang tak selamanya juga berlaku. Mengapa? Karena sebuah kebusukan kelak pasti akan tercium juga 😀
mengungkapkan kebusukan yang tercium tentunya butuh legitimasi para pemenang juga mas..
sejarah itu kendaraan…. 🙂
JAS MERAH itulah yang senantiasa membuat kita selalu mawas diri ( eLING mULO BUKANE )ingat asal muasalnya
dan senantiasa membuat kita semakin bersemangat untuk kearah kebaikan
Kemarin juga sejarah…
mengungkapkan kebusukan yang tercium tentunya butuh legitimasi para pemenang juga mas..; mengungkapkan kebusukan yang tercium tentunya butuh legitimasi para pemenang juga mas..;;
Bocah cilik ==> Tidak ada yang selamanya mas ucup, begitu juga sebuah legitimasi…
Sabrang a.k.a bangpay ==> benar bang, sejarah hanyalah tools, manusia lah usernya…
Mas Tok ==> Semoga ya mas, kita dapat belajar dari sana…
Zulham ==> hehehe, sejarah adalah segala yang telah berlalu…
Nooka ==> idem Nooka 😀
Setuju sekali, jgn krn masa lalu.. Maka diabaikan begitu saja..
Menengok ke belakang, bisa jd pelajaran hebat u/ kita..
salam kenal,
classically
Classically => Kita jgn mengingat lukanya tapi pelajaran yg dapat dipetik dari itu semua…
Pingback: PENGULANGAN SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: MEMUTUS LINGKARAN KEBENCIAN | Tengkuputeh
Pingback: POLITIK ABU NAWAS | Tengkuputeh
Pingback: MENGAPA KITA MERASA SENASIB DENGAN PALESTINA | Tengkuputeh
Pingback: KOPI, LEGENDA DAN MITOS | Tengkuputeh
Pingback: WABAH MANUSIA | Tengkuputeh
Pingback: ABU NAWAS MENASEHATI RAJA | Tengkuputeh
Pingback: BAJAK LAUT PEMBERONTAK ATAU PEROMPAK | Tengkuputeh
Pingback: MELANJUTKAN PERJUANGAN | Tengkuputeh
Pingback: JANGAN GOLPUT | Tengkuputeh
Pingback: TOPENG | Tengkuputeh
Pingback: JOMBLO BUKAN BERARTI HOMO | Tengkuputeh
Pingback: TEMUKAN MENTOR RAHASIAMU | Tengkuputeh
Pingback: ANAK-ANAK | Tengkuputeh
Pingback: GULA DAN SEJARAH PENINDASAN | Tengkuputeh
Pingback: TRAGEDI JULIUS CEASAR | Tengkuputeh
Pingback: YANG MUDA YANG BERGUNA | Tengkuputeh
Pingback: LUGHAT | Tengkuputeh
Pingback: MENULIS HARUSKAH PINTAR | Tengkuputeh
Pingback: MENEGAKKAN KEADILAN | Tengkuputeh
Pingback: BATAS | Tengkuputeh