
They have a smell about them, like nothing else. Old paper and leather, an aromatic scent only a book lover can enjoy.
Benarkah orang Indonesia tidak memiliki tradisi menulis? Kalau dipikir ada benarnya juga. Sewaktu duduk dibangku sekolah adakah pelajaran untuk menulis? Saya tidak tahu didaerah lainnya akan tetapi didaerah saya sewaktu sekolah hampir-hampir tidak ada pelajaran menulis dan kalaupun ada hanya segelintir guru yang memberi tugas tersebut dan efeknya guru tersebut otomatis dibenci oleh murid-muridnya dan akibatnya pelajaran menjadi tidak efektif.
Akibatnya didalam perjalanan hidup saya ini saya banyak menjumpai orang-orang yang bisa dikatakan memiliki otak yang cemerlang dan brilyan akan tetapi tidak mampu menuangkan pikirannya dalam bentuk tulisan, akibatnya pikiran dan pengetahuan mereka tidak mampu ditranfer kepada orang lain dengan optimal sehingga hanya dapat dimiliki oleh mereka sendiri atau paling baik hanya dapat diketahui dari perkataan mereka semata.
Mengapa membangun sebuah tradisi menulis itu penting? Jelas penting karena tulisan lebih bisa bertahan lama daripada orang-orang itu sendiri, kita dapat melihat orang-orang seperti Aristoteles, Sun Tzu, Al-Ghazaly, Ibn Khaldun, Snouk Hugronyoe, bahkan Karl Marx tetap abadi walaupun mereka telah meninggal puluhan, ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu.
Dan apa pula kendala untuk bisa menulis itu sendiri? Di level pemula menulis itu merupakan hal yang menakutkan. Kenapa menulis bisa menjadi suatu yang menakutkan? Belajar dari pengalaman pribadi ada banyak hal yang bisa membuat hal itu terjadi, mulai dari ketiadaan fasilitas seperti komputer atau bahkan ketidak mampuan untuk mengoperasikannya, mahalnya biaya rental dan printernya sekalian, malu dan takut salah dalam menulis serta keterbatasan lainnya. Hal-hal tersebut mau tak mau memberatkan walaupun kalau dipandang sekilas terlihat sangat sepele.
Para guru dan dosen sudah sangat mengerti hal-hal tersebut dan itu pula sebabnya mereka tidak terlalu banyak memberikan tugas untuk menulis atau semacamnya ditambah lagi keterbatasan pengetahuan, referensi serta para murid belum lagi keterbatasan waktu dan kemampuan mereka sendiri untuk menilai tulisan itu sendiri membuat semuanya menjadi klop.
Menulis juga memiliki resiko bagi kita seperti dari kurangnya apresiasi masyarakat kepada tulisan, coba kita lihat berapa banyak orang pergi ke perpustakaan dan toko buku dan coba bandingkan dengan pengunjung bioskop, jauh. Ditambah lagi kita tidak mempunyai tradisi menulis yang kuat, coba lihat legenda atau cerita daerah di Indonesia hampir semuanya merupakan tradisi lisan dari mulut ke mulut. Bandingkan dengan sesama negara Asia, China misalnya mereka sudah memiliki tradisi menulis yang sudah lama, legenda-legenda mereka banyak yang sudah dibukukan dalam waktu berabad-abad yang lampau seperti Kisah Tiga Kerajaan, Batas Air dan sebagainya.
Jadi apa solusinya? Ya, terpulang kepada diri kita apakah punya semangat untuk menulis dan mengaktualisasikan diri kita. Berani mengungkapkan pikiran melalui tulisan, tak usah yang terlalu rumit cukup mulai dari hal yang sepele dan kecil saja seperti catatan kecil yang ringan. Cuma, masalahnya adakah kemauan kita untuk mencoba??
ketika sebuah peradaban berakhir maka yang tertinggal hanya dua yaitu bangunan fisik dan tulisan/manuskrip..tulisan/manuskrip memiliki peranan sangat penting karena dialah segala rahasia yang terkubur dapat diketahui kembali oleh peradaban setelahnya..didalam islam tradisi menulis telah dijalankan sejak al-Qur’an sedang turun..menulis adalah bersuara dalam keabadian…
menulis hanya dapat dimungkinkan ketika memiliki semangat membaca yang banyak. Tanpa membaca yang banyak, mustahil kemampuan menulis ada….
bener, cukup hal sepele dan ide kecil dari kehidupan sehari-hari yang kita lewati semua tertuang dalam lingkup kehidupan bisa menjadi makna tersendiri.
jak ta teumuleh!
Jawab
@Ferza ==> Yups Abu setuju banget
@Sucitoardi ==> membaca dan menulis saling melengkapi.
@Aulia ==> Menulis itu bermakna
Bangsa jawa juga mengakaminya, manuskrip yg ada adalah hasil tulisan orang yg dekat dg istana shingga isi sejarahnya pun terlalu berbumbu demi image sang raja. Banyak tambahan kisah fiktifnya. Dan bahkan hal ini dilakukan sampai jaman sultan suharto…
Akan sangat lucu kalo dimasa depan sumber sejarahnya berupa blog. Iya kalo blognya serius dan otentik.. Kalo enggak??
Bila akses menulis hanya dimiliki segelintir orang itu namanya oligarki….
Hehe… Boleh juga bang Blog jadi referensi Sejarah. Sejarah hidup sang penulis, sang legenda. Tak perlu serius atau otentik. Dicampur sedikit mitos dan imaji. Klop dah…
ya betul sekali. Banyak baca dan nulis akan tambaj wawasan tentunya
Setuju bung sehat…
Pingback: PENGULANGAN SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: MEMUTUS LINGKARAN KEBENCIAN | Tengkuputeh
Pingback: MISI MENCARI ABU NAWAS | Tengkuputeh
Pingback: MENGAPA KITA MERASA SENASIB DENGAN PALESTINA | Tengkuputeh
Pingback: ELAN PERTUMBUHAN | Tengkuputeh
Pingback: UMAT ISLAM TAK LAGI MEMILIKI PERIMBANGAN ANTARA ILMU DAN IMAN | Tengkuputeh
Pingback: PENYEBAB KEMUNDURAN PERADABAN ISLAM | Tengkuputeh
Pingback: JANGAN GOLPUT | Tengkuputeh
Pingback: TOPENG | Tengkuputeh
Pingback: KENAIKKAN BBM SIKAPI DENGAN HARGA DIRI | Tengkuputeh
Pingback: BERPIKIR DAN BERTINDAK | Tengkuputeh
Pingback: MANAJEMEN KRITIK | Tengkuputeh
Pingback: JOMBLO BUKAN BERARTI HOMO | Tengkuputeh
Pingback: TEMUKAN MENTOR RAHASIAMU | Tengkuputeh
Pingback: BUKAN ROMAN PICISAN | Tengkuputeh
Pingback: BERSATULAH BANGSAKU | Tengkuputeh
Pingback: YANG MUDA YANG BERGUNA | Tengkuputeh
Pingback: LUGHAT | Tengkuputeh
Pingback: MENULIS HARUSKAH PINTAR | Tengkuputeh
Pingback: MENEGAKKAN KEADILAN | Tengkuputeh
Pingback: BATAS | Tengkuputeh