ODA NOBUNAGA BANGSAWAN PANDIR

Seseorang yang tidak mempercayai siapapun, Oda Nobunaga. Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau? Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”

ODA NOBUNAGA BANGSAWAN PANDIR

Kenapa menurutnya ia perlu menyembunyikan diri dari semua orang yang mengenal dan menyayanginya? Apa yang ditakutkannya? Apa yang dilindunginya. Seseorang yang tidak mempercayai siapapun, Oda Nobunaga. Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau? Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”

X

Nobunaga kini berusia sembilan belas tahun. Tiga tahun setelah berlalu sejak ayahnya wafat. Pendapat umum mengatakan ia bodoh dan cepat naik darah. Selama tiga tahun, pewaris kekuasaan yang berusia muda, sembarangan, dan berkepala kosong ini, tanpa bakat maupun kecerdasan, bukan saja sanggup mempertahankan kedudukannya, tapi juga berhasil mengendalikan keadaan sampai ke pelosok-pelosok provinsi.

Bagaimana ia bisa melakukan ini? Beberapa orang mengatakan bahwa ini bukan berkat Nobunaga, melainkan karena jasa-jasa pengikutnya yang setia: Hirate Nakatsukasa, Hayashi Sado, Aoyama Yosaemon, dan Naito Kaysusuke. Selama para pembantu kepercayaan penguasa sebelumnya masih hidup, semuanya akan berjalan baik, namun jika satu atau dua dari mereka meninggal, dan tiang penopang runtuh, kehancuran marga Oda hanya soal waktu saja.

Di antara mereka yang menanti-nanti saat itu terdapat Saito Dosan dari Mino dan Imagawa Yoshimoto dari Suruga. Tak seorang pun yang tidak sependapat dengan pandangan ini. Dikelilingi oleh provinsi-provinsi besar dan kuat, wilayah kekuasaan marga Oda tampak kecil dan miskin, untuk itu diperlukan kekuatan yang penting bagi kelangsungan hidup. Pendapat umum ternyata keliru. Nobunaga dianggap berhati lemah, namun seandainya ada yang minta bukti, akan terungkap bahwa tak seorang pun pernah memastikan apakah anggapan itu benar atau salah.

Setiap orang melihat Nobunaga meninggalkan bentengnya pada musim semi dan gugur, dan semuanya langsung menyimpulkan bahwa ia hendak memancing atau berenang. Tapi jika melihatnya sendiri, mereka akan menyadari bahwa yang dilihat adalah latihan militer habis-habisan. Ketika berusia tiga belas tahun, Nobunaga pertama kali ambil bagian dalam sebuah pertempuran. Pada usia lima belas, ia telah kehilangan ayahnya. Dengan bertambahnya usia, sikapnya semakin congkak. Pada upacara perabuan ayahnya, Nobunaga mengenakan pakaian yang tak pantas untuk kesempatan begitu resmi. Di bawah tatapan para tamu yang seakan tak percaya pada penglihatan mereka, Nobunaga menghampiri altar, meraih segengam abu dupa, lalu melemparkannya ke wadah liat berisi abu mendiang ayahnya.

Kemudian ia mengejutkan semua orang dengan segera kembali ke benteng. “Memalukan sekali. Betulkah ia pewaris provinsi ini?” “Pemuda berkepala kosong yang tak dapat diharapkan.” “Siapa menyangka ia begitu lancang?” Itulah pandangan mereka yang menilai sesuatu berdasarkan kulitnya saja. Tetapi orang-orang yang merenungkan situasi itu secara lebih mendalam segera mencucurkan air mata kesedihan untuk marga Oda. “Adiknya, Kanjuro, teramat santun, dan bersikap penuh hormat dari awal sampai akhir,” salah satu pelayat mengemukakan. Mereka menyesalkan bahwa bukan dia yang diangkat sebagai pewaris.

XX

Beberapa waktu sebelum wafat pada usia empat puluh enam, Nobuhide telah mengatur pertunangan Nobunaga dengan anak perempuan Saito Dosan dari Mino, dengan perantaraan Nakatsukasa. Sudah bertahun-tahun Mino dan Owari saling bermusuhan, jadi pernikahan itu adalah bersifat politik. Taktik-taktik semacam itu hampir merupakan keharusan di sebuah negeri yang tengah dilanda perang. Dosan pun segera menyadari maksud terselubung di balik rencana itu. Meski demikian, ia memberikan putri kesayangannya, Nouhime kepada sang pewaris kepemimpinan marga Oda, yang dari provinsi-provinsi tetangga sampai ibu kota telah dikenal sebagai orang pandir. Dosan menyetujui pernikahan itu, namun diam-diam berniat menguasai Owari. Saito Dosan ingin berjumpa menantunya, ia mengusulkan mengadakan pertemuan pertama mereka di Kuil Shotokuji di Tonda, perbatasan kedua provinsi. Kuil itu merupakan kuil aliran Budha Ikko, dan terletak agak terpisah dari ketujuh ratus rumah di desa itu. Diringi rombongan besar, Nobunaga meninggalkan benteng Nagoya menyeberangi sungai Kiso dan Hida, lalu maju terus sampai ke Tonda.

Musim kemarau sudah di depan pintu. Gandum di ladang-ladang berwarna kuning pucat. Hembusan angin dari arah sungai Hida terasa menyegarkan. Rumah-rumah di Tonda tampak kokoh dan memiliki banyak lumbung.

“Itu mereka. Iring-iringan telah tiba. Tak lama lagi mereka akan lewat disini.” Dua samurai dari marga Saito ditempatkan dibatas desa memberikan laporan, kedua samurai tadi berlutut di muka sebuah pondok kecil. Pondok yang gelap, kotor dan berlantai tanah.

“Baik, Kalian berdua sembunyi dibalik semak-semak belakang.” Banyak cerita tentang Nobunaga beredar di masyarakat. Seperti apa dia sebenarnya? Dosan bertanya-tanya. Orang macam apa dia? Sebelum pertemuan resmi, aku ingin melihatnya dulu. Cara berpikir seperti ini memang khas Dosan, itu sebabnya ia berada di sini, mengintai dari pondok di tepi jalan.

Pasukan Owari terus mendekat. Dengan nafas tertahan Dosan mengamati gaya berjalan para prajurit serta susunan pangkat mereka. Suara langkah pasukan diikuti oleh derap langkah kuda. Dosan tak dapat melepaskan mata dari pandangan dihadapannya. Di tengah-tengah para penunggang kuda terdapat seekor kuda yang teramat gagah, dengan berangus berkilauan. Di pelana mewah yang dihiasi indung mutiara, duduk Nobunaga, tangannya mengengam tali kekang berwarna ungu dan putih. Ia sedang berbincang-bincang dengan para pengikutnya.

“Apa ini?” Adalah kata-kata yang keluar dari mulut Dosan. Ia tampak terheran-heran. Penampilan Nobunaga teramat tidak lazim. Dosan telah diberitahu bahwa sang penguasa Owari biasa berpakaian aneh, tapi ini melebihi segala cerita yang pernah didengarnya. Nobunaga terayun-ayun diatas pelana. Rambutnya di konde dan diikat dengan jalinan pita berwarna hijau pucat. Ia mengenakan mantel katun berpola cerah yang lengannya hanya satu. Baik pedang pendek maupun pedang panjangnya dihiasi kerang laut dan dibalut dengan jerami padi suci. Tujuh atau delapan benda bergantungan pada ikat pinggangnya: sebuah kantong rabuk, sebuah labu kecil, sebuah kotak obat, sebuah kipas, sebuah ukiran kuda, dan beberapa permata. Di bawah jubah pendek yang terbuat dari kulit harimau dan macan tutul, ia mengenakan baju brokat emas berkilauan.

Setelah Nobunaga berlalu, para pengikut Dosan harus memaksakan diri untuk tidak tertawa berderai-derai. Wajah-wajah mereka memperlihatkan betapa mereka berjuang untuk menahan tawa pada saat menyaksikan adegan menggelikan tadi. “Sudah habis?” Tanya Dosan.

Lalu, “itukah akhir iring-iringannya?”Ya, hanya itu.” “Kalian sempat memperhatikannya?” “Dari jauh.” “Hmmm, penampilannya ternyata tidak bertentangan dengan kabar burung yang beredar. Wajahnya tampan dan fisiknya pun bolehlah, tapi di sini ada sesuatu yang kurang.” Kata Dosan. Sambil tersenyum puas, ia mengangkat jarinya ke kepala. Segera, mereka keluar lewat pintu belakang, lalu menyusuri jalan pintas yang tersembunyi menuju kuil. Tepat pada waktu barisan terdepan pasukan Owari tiba di gerbang depan kuil Shotokoji, Saito Dosan dan para pengikutnya menyelinap lewat gerbang belakang, bersikap seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Mereka berganti pakaian dan menuju jalan utama. Gerbang kuil telah dipenuhi orang, karena semua orang Mino dikumpulkan untuk penyambutan resmi, kuil utama, hall besar, serta ruang penyambutan tamu dibiarkan kosong

XXX

Saito Dosan menganggap remeh Nobunaga. “Tak ada alasan bagiku untuk pergi menyambutnya.” Ia menganggap Nobunaga semata-mata sebagai menantu. Takkan ada masalah jika itu satu-satunya pertimbangan. Namun Nobunaga merupakan penguasa sebuah provinsi, sama halnya dengan Dosan, dan para pengikutnya tentu berasumsi bahwa pertemuan itu akan diadakan antara dua orang sederajat. Meskipun Dosan juga mertua Nobunaga, bukankah lebih pantas jika pertemuan pertama mereka diselenggarakan sebagai pertemuan antara dua penguasa provinsi? Itulah yang terbayang dalam benak Kasuga Tango, salah seorang pengikut senior Dosan, dan ia menanyakannya secara hati-hati. Dosan menjawab bahwa itu tidak perlu. “Kau akan ikut dalam pertemuan nanti. Pastikan ketujuh ratus orang di koridor yang menuju ke sini berbaris dengan baik.”

“Hamba pikir mereka sudah siap disana.”

“Sembunyikan para prajurit berpengalaman, dan suruh mereka berdeham pada waktu menantuku lewat. Siapkan pasukan busur dan senapan di halaman. Dan perintahkan untuk memasang tampang berwibawa.” Tak akan ada kesempatan yang lebih baik untuk memamerkan kekuatan Mino dan mengertak penguasa Owari beserta anak buahnya, hari ini.

Lambang Marga Oda

Lambang Marga Oda

Nobunaga sedang menaiki tangga di pintu masuk utama. Disekelilingnya ada lebih dari seratus pengikut Saito, mulai dari sesepuh sampai samurai muda yang masih dalam masa percobaan. Mereka berlutut berdampingan, bersujud menghormati tamu agung yang baru tiba. Rambutnya telah ditata ulang, sebagai ganti baju kulit harimau dan macan tutul, ia mengenakan jubah sutra putih yang dihiasi sulaman benang emas berupa lambing marganya, di bawah baju resmi tak berlengan berwarna ungu tua. Pedang pendeknya diselipkan ke balik pinggang, sedang pedang panjang dibawanya di tangan kanan. Seluruh penampilannya menyerupai orang istana. Tanpa ragu-ragu Nobunaga menyusuri koridor, ia menatap kiri dan kanan, lalu berkata dengan lantang, “Aku merasa rikuh kalau dikawal seperti ini. Aku lebih senang menemui mertuaku seorang diri.”

Kasuga Tango menyambut, sementara ia sibuk berbasa-basi, Nobunaga bergegas menyusuri koridor, melewati orang-orang yang berbaris di sepanjang dinding. Ia memperlakukan para prajurit seakan-akan mereka hanya rerumputan di tepi jalan. Setelah sampai diruang penyambutan, ia bertanya kepada Tango, “Inikah tempatnya?”

“Ya, tuanku.” Ia masih tersengal-sengal karena terpaksa mengejar Nobunaga

Pertemuan Saito Dosan dan Nobunaga di Kuil Shotokuji

Pertemuan Saito Dosan dan Nobunaga di Kuil Shotokuji

Nobunaga mengangguk, lalu melangkah masuk. Dengan tenang ia duduk, menyandarkan punggung pada sebuah tiang dipinggir ruangan. Ia menatap ke atas, seakan-akan mengagumi lukisan-lukisan di langit-langit. Di salah satu sudut ruangan terdengar suara bunyi berdesir ketika seorang laki-laki berdiri . Dosan melangkah keluar. Ia lalu duduk pada posisi lebih tinggi dari Nobunaga. Nobunaga pura-pura tidak memperhatikannya, atau lebih tepat, ia berlagak tak peduli sambil mempermainkan kipasnya. Dosan melirik ke samping. Tak ada ketentuan mengenai tata cara mertua berbicara dengan menantunya. Ia menahan diri membisu. Suasana tegang. Alis Dosan serasa ditusuk-tusuk jarum. Tango yang tak sanggup menahan ketegangan itu lebih lama, medekatkan diri pada Nobunaga dan membungkuk terus sampai mencapai tatami. “Tuan yang duduk di sebelah sana adalah Tuan Saito Dosan. Berkenankah Tuanku menyapa beliau?”

Nobunaga berkata, “begitukah?” Lalu menjauhkan punggungnya dari pilar dan duduk tegak. Ia membungkuk satu kali dan berkata, “kami Oda Nobunaga. Kami merasa gembira karena bisa bertemu Tuan.”

Seiring dengan perubahan sikap serta sapaan Nobunaga, sikap Dosan pun melunak. “Sudah lama kami mengharapkan perjumpaan ini. Kami bahagia bahwa keinginan yang telah tertunda-tunda sekian lama dapat terwujud.”

“Kami bahagia memiliki ayah mertua yang dapat dijadikan tempat bersandar.”

“Bagaimanapun, hari ini hari yang diberkahi. Kami berharap pada pertemuan berikut Ananda bisa memperlihatkan wajah seorang cucu.”

“Dengan senang hati.”

Dosan tampak puas. Ia mendesah lega. Mertua dan menantu mengangkat gelas sambil saling memuji. Suasana kaku pada awal pertemuan, kini berubah menjadi ramah tamah.

XXXX

“Ah, aku ingat lagi!” Nobunaga tiba-tiba berkata, seakan-akan ada sesuatu yang baru terlintas di benaknya. “Tuanku Dosan, ayah mertua. Dalam perjalanan ke sini, aku bertemu seseorang yang sungguh aneh.”

“Aneh bagaimana?”

“Hmm, dia juga orang tua, dan dia mengintip iring-iringan dari jendela gubuk rakyat jelata. Meskipun baru kali ini aku bertemu dengan ayah mertuaku, waktu aku menatap ayah mertua, ehm.. Ayah mertua mirip sekali dengan orang itu. Bukankah ini aneh sekali?” Sambil tertawa, Nobunaga menyembunyikan mulut di balik kipas yang setengah terbuka.

Dosan terdiam, seolah-olah baru menelan minuman pahit. Para pengawal Dosan langsung bermandikan keringat.

Seusai acara makan, Nobunaga berkata, “Ah, sudah terlalu lama aku merepotkan ayah mertua. Aku ingin menyebrangi sungai Hida dan mencapai tempat menginap sebelum malam tiba. Aku mohon diri.”

“Kau berangkat sekarang?” Dosan ikut berdiri.

“Aku enggan melihatmu pergi, tapi aku pun tak dapat menahanmu.” Ia sendiri sudah harus kembali ke benteng sebelum gelap. Hutan tombak sepanjang enam meter membelakangi matahari sore, dan beranjak kearah timur. Dibandingkan mereka, pasukan tombak Mino tampak lesu dan kurang semangat.

“Ah, aku tidak ingin hidup lebih lama lagi. Suatu hari nanti anak-anakku akan mengemis-emis untuk menyelamatkan nyawa di depan si pandir itu! Tapi tak ada yang bisa dilakukan,” Dosan berkeluh kesah kepada para pengikut, sambil berayun-ayun di dalam tandu.

XXXXX

Orang bijak akan tenggelam dalam kebodohan jika menganggap tinggi kebijakannya, karena sejatinya kebijaksanaan tidak dihasilkan oleh keberhasilan semata, melainkan teruji oleh berbagai kegagalan. Sakit dan perih, di atas semua itu tidak ada yang mampu menandingi nilai pengorbanan. Tidak pengetahuan, tidak pula pengalaman.

XXXXXX

Katalog Cerita Pendek:

  1. Sebentuk Harta; 10 Agustus 2008;
  2. Elegi Pagi Hari, Sebuah Cerpen; 13 Agustus 2008;
  3. Keindahan Sang Rembulan; 5 September 2008;
  4. Ketidakagungan Cinta; 10 Oktober 2008;
  5. Tempat Tiada Kembali; 13 Oktober 2008;
  6. Pada Pandangan Pertama; 18 Oktober 2008;
  7. Aku Tak Mengerti Kamu; 24 Oktober 2008;
  8. Mengenang Sebuah Perjalanan Cinta; 3 November 2008;
  9. Selamanya; 14 Desember 2008;
  10. Ode Seorang Bujang; 17 Desember 2008;
  11. Sepucuk Surat Untuk Lisa; 1 Januari 2009;
  12. Wasiat Teruntuk Adinda Malin Kundang; 4 Februari 2009;
  13. Tidak Sedang Mencari Cinta; 23 Februari 2009;
  14. Hanyalah Lelaki Biasa; 6 April 2009;
  15. Wasiat Hang Tuah; 29 Mei 2009;
  16. Ode Seekor Elang; 8 Juni 2009;
  17. Tak Ada Apa Apa; 7 Oktober 2009;
  18. The Last Gentleman; 4 Desember 2009;
  19. Renungan Majnun Seorang Penarik Cukai; 31 Mei 2010
  20. Yang Tak Akan Kembali; 10 Juni 2010;
  21. Kisah Sebelum Sang Pengeran Selesai; 5 Juli 2010;
  22. Penyihir Terakhir; 15 Maret 2011;
  23. Santiago Sang Pelaut; 23 Maret 2012;
  24. Iblis Namec Vs Manusia Saiya; 6 April 2012;
  25. Ashura; 13 Februari 2013;
  26. Selamat Tinggal Andalusia; 10 Maret 2013;
  27. Narsis Yang Berbeda; 28 April 2013;
  28. Istana Kosong; 4 Juni 2013;
  29. Kematian Bhisma; 15 Juni 2013;
  30. Badai Sejarah; 29 Juli 2013;
  31. Cerita Cinta; 7 Agustus 2013;
  32. Perjalanan; 29 November 2013;
  33. Jaring Kamalanga; 29 Desember 2013;
  34. Lelaki Sungai; 19 Januari 2014;
  35. Dragon Dialog; 13 November 2014;
  36. Persahabatan Kambing Dan Serigala; 19 Desember 2014;
  37. Pesan Kepada Penguasa; 17 Januari 2015;
  38. Bagaimana Mengubah Timah Hitam Menjadi Emas; 11 April 2015;
  39. Setelah Revolusi Selesai; 6 Oktober 2016;
  40. Harlequin Dan Pohon Harapan; 30 Oktober 2016;
  41. Permufakatan Para Burung; 5 Januari 2017;
  42. Kepada Cinta Yang Berumur Seminggu; 13 April 2017;
  43. Senja Di Malaka; 14 Juni 2017;
  44. Mengecoh Sang Raja; 17 Oktober 2017;
  45. Wawancara Dengan Sang Iblis; 1 Januari 2018;
  46. Legenda Gajah Putih; 12 Januari 2018;
  47. Genderang Pulang Sang Rajawali; 22 Februari 2018;
  48. Kisah Menteri Jaringan Melawan Kapitalisme Amerika; 17 Desember 2018;
  49. Legenda Naga Sabang; 29 Mei 2020;
  50. Legenda Gunung Geurutee; 1 Juni 2020;

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cerita, Cuplikan Sejarah, Kisah-Kisah and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

48 Responses to ODA NOBUNAGA BANGSAWAN PANDIR

  1. Pingback: THE NOBLE VEIL, ODA NOBUNAGA | Tengkuputeh

  2. Pingback: SEBENTUK HARTA | Tengkuputeh

  3. Pingback: ELEGI PAGI HARI, SEBUAH CERPEN | Tengkuputeh

  4. Pingback: KEINDAHAN SANG REMBULAN | Tengkuputeh

  5. Pingback: KETIDAKAGUNGAN CINTA | Tengkuputeh

  6. Pingback: TEMPAT TIADA KEMBALI | Tengkuputeh

  7. Pingback: SEPUCUK SURAT UNTUK LISA | Tengkuputeh

  8. Pingback: RENUNGAN MAJNUN SEORANG PENARIK CUKAI | Tengkuputeh

  9. Pingback: SELAMAT TINGGAL ANDALUSIA | Tengkuputeh

  10. Pingback: ISTANA KOSONG | Tengkuputeh

  11. Pingback: PERJALANAN | Tengkuputeh

  12. Pingback: JARING KAMALANGA | Tengkuputeh

  13. Pingback: MENGECOH SANG RAJA | Tengkuputeh

  14. Pingback: PADA PANDANGAN PERTAMA | Tengkuputeh

  15. Pingback: THE LAST GENTLEMAN | Tengkuputeh

  16. Pingback: YANG TAK AKAN KEMBALI | Tengkuputeh

  17. Pingback: TAK ADA APA APA | Tengkuputeh

  18. Pingback: SELAMANYA | Tengkuputeh

  19. Pingback: HANYALAH LELAKI BIASA | Tengkuputeh

  20. Pingback: WASIAT HANG TUAH | Tengkuputeh

  21. Pingback: ODE SEORANG BUJANG | Tengkuputeh

  22. Pingback: WASIAT TERUNTUK ADINDA MALIN KUNDANG | Tengkuputeh

  23. Pingback: KISAH SEBELUM SANG PANGERAN SELESAI | Tengkuputeh

  24. Pingback: KEPADA CINTA YANG BERUMUR SEMINGGU | Tengkuputeh

  25. Pingback: BADAI SEJARAH | Tengkuputeh

  26. Pingback: SENJA DI MALAKA | Tengkuputeh

  27. Pingback: SANG KATALIS | Tengkuputeh

  28. Pingback: CERITA CINTA | Tengkuputeh

  29. Pingback: LEGENDA GAJAH PUTIH SEBAGAI ASAL NAMA KABUPATEN BENER MERIAH | Tengkuputeh

  30. Pingback: MENGENANG SEBUAH PERJALANAN CINTA | Tengkuputeh

  31. Pingback: WAWANCARA DENGAN SANG IBLIS | Tengkuputeh

  32. Pingback: SETELAH REVOLUSI SELESAI | Tengkuputeh

  33. Pingback: SANTIAGO SANG PELAUT | Tengkuputeh

  34. Pingback: KOPI, LEGENDA DAN MITOS | Tengkuputeh

  35. Pingback: GENDERANG PULANG SANG RAJAWALI | Tengkuputeh

  36. Pingback: SEBENTUK HARTA - TengkuputehTengkuputeh

  37. Pingback: PERSAHABATAN KAMBING DAN SERIGALA - TengkuputehTengkuputeh

  38. Pingback: PERJALANAN - TengkuputehTengkuputeh

  39. Pingback: CERITA CINTA - TengkuputehTengkuputeh

  40. Pingback: KISAH MENTERI JARINGAN MELAWAN KAPITALISME AMERIKA | TengkuputehTengkuputeh

  41. Pingback: KISAH MENTERI JARINGAN MELAWAN KAPITALISME AMERIKA | Tengkuputeh

  42. Pingback: PERMUFAKATAN PARA BURUNG | Tengkuputeh

  43. Pingback: ADA BANYAK CINTA | Tengkuputeh

  44. Pingback: WABAH MANUSIA | Tengkuputeh

  45. Pingback: LEGENDA GAJAH PUTIH BENER MERIAH | Tengkuputeh

  46. Pingback: TIDAK SEDANG MENCARI CINTA | Tengkuputeh

  47. Pingback: ODE SEEKOR ELANG | Tengkuputeh

  48. Pingback: PERSAHABATAN KAMBING DAN SERIGALA | Tengkuputeh

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.