
Setiap jagoan perlu ironi. Tiap kali seorang tokoh ditampilkan demikian perkasa, penting untuk ambil jarak. Jarak untuk berpikir lagi, dengan sedikit lelucon. Jarak untuk lebih arif. Ironi membuka pintu ke kearifan itu. Ironi
LELAKI SUNGAI
Manusia ditakdirkan mendapat kehidupan, termasuk ujian untuk bertemu dengan diri sendiri di masa lalu. Mengingatkan, bahwa hidup, sebagai panggilan, sebenarnya sebuah panggilan yang muram, sedih. Dalam kesedihan itu kita seharusnya bertugas.
Di suatu hari yang terik di hutan pekat itu, empat dari lima Pandawa mati satu demi satu. Beberapa jam sebelumnya, Yudhistira, sang sulung, meminta adik-adiknya pergi menemukan air. Ia kehausan, demikian juga yang lain. Seorang demi seorang pun berangkat, tapi tak ada yang kembali.
Cemas, Yudhistira pun pergi menyusul sampai di tepi sungai yang jernih. Ia melihat tubuh dua saudara kandungnya seibu, Bhima dan Arjuna tergeletak. Tak bernyawa. Lalu ia menemukan juga mayat dua adiknya yang lain, Sadewa dan Nakula, Putra Pandhu dari ibu Madrim. Yudhistira terhenyak. Keempat saudaranya mati tanpa bekas pertempuran.
Di tengah pikiran yang gelap dan galau itu, Yudhistira mendengar sebuah berat yang tak tampak sumbernya. “Dengar, Yudhistira”, suara itu berkata. “Keempat Ksatria ini, keempat adikmu, satu demi satu mati karena melanggar. Mereka diberitahu untuk tak meminum air telaga itu. Tapi mereka, dengan penuh kepercayaan diri, bahkan angkuh melawan pantangan itu.”
Siapakah yang bicara? Yaksa yang tak berwujud? Hantu penghuni air yang mengenalnya? Yudhistira terdiam, ia mendengarkan kata-kata selanjutnya. Bukan dharma seorang Kesatrya untuk mendengar, mereka bertindak dan memutuskan berdasarkan apa yang mereka pelajari, ia memahami adik-adiknya menentang sang Yaksa.
Namun saat itu di bayangan Yudhistira, di balik airmukanya yang tenang, ia gentar. Ia melihat siang itu seperti bagian mimpi buruk. Tiba-tiba saja sebuah perjalanan, sebuah proses, sejak hari mereka berlima masuk hutan karena di buang, terpotong. Hanya sembilan hari lagi masa pembuangan 13 tahun itu akan berakhir. Tahta Kerajaan Indraprasta akan dikembalikan kepada keluarga Pandawa. Tapi kini apa yang terjadi? Hanya dia, Yudhistira, yang tinggal.
“Katakan saja, aku sukma air sungai ini. Aku tahu keempat adikmu kehausan, aku tahu engkau kehausan, tapi kau sebaiknya tak melakukan hal yang mereka lakukan.”
Dalam sengsara dan kesengsaraan, kebijakan hati bukanlah kesombongan. Saat itu Yudhistira menyadari, di dunia ini di luar tuhan, ada makhluk-makhluk yang jauh lebih kuat darinya. Dan ketika merasa lebih unggul daripada orang lain, disitulah kekalahan bermula. “Izinkan aku minum”, Yudhistira memohon, meminta sesuatu yang mungkin tidak diberikan, tanpa tahu harus berbuat apa jika tidak diizinkan.
“Akan aku izinkan. Tapi kau harus menjawab lebih dahulu beberapa pertanyaan sebelum boleh mereguk air ini.” Kerendahan hati bukankah selalu lebih baik daripada kesombongan, akan tetapi ketika merendah, pihak lawan hampir selalu mengajukan syarat. (Mungkin) itulah sebab kebanyakan orang enggan berlaku rendah hati.
Di saat itu ia bisa memilih. Ia membiarkan dirinya mati seperti keempat Pandawa lain, atau ia bersedia pertanyaan suara Gaib. Tapi ia tak tahu apa yang terjadi jika jawabannya salah. Akankah ia mati juga? Ataukah ia akan dibiarkan hidup tapi tetap tak bisa meminum air danau? Dalam Mahabharata dikisahkan, Yudhistira memutuskan untuk bersedia menjawab pertanyaan yang akan menghadangnya. Dengan itu sebenarnya bagaikan meloncat ke jurang yang gelap di depan.
Syahdan, dalam karya besar tersebut, beberapa pertanyaan dimajukan. Yudhistira menjawab dengan pasrah. Sampai yang paling akhir, paling menentukan.
Kata suara gaib, “Salah satu dari adikmu akan segera kuhidupkan kembali. Siapa yang kau kehendaki, Yudhistira?”
Yudhistira terdiam. Ia pejamkan matanya, dan pilihan-pilihan yang sulit bertabrakan dalam gelap. Akhirnya sahutnya lirih, “Nakula.”
“Nakula?” Suara itu heran. “Bukan Bhima, saudara kandungmu yang kau sayangi, kekuatannya setara dengan puluhan gajah? Bukan Arjuna, sang pemanah piawai?”
“Bukan,” jawab Yudhistira, kata-katanya semakin mantap. “Sebab yang melindungi manusia bukan senjata, bukan kekuatan. Pelindung utama adakah dharma. Nakula aku pilih karena aku, yang selamat dan hidup, adalah putra Kunthi. Sudah sepatutnya putra Madrim juga harus ada yang hidup seperti diriku. Itu adil.”
Kata “adil” itu seperti bergetar di seluruh permukaan air. Mendengar itu, suara gaib seakan-akan membisu, dan tak lama kemudian muncullah Batara Yama di depan Yudhistira. Dewa maut itu dengan mesra memeluknya. Kahyangan terpesona akan kata-kata putra sulung Pandhu yang barusan diutarakan. Anugerah pun diturunkan. Keempat jenazah bersaudara itu, tak hanya Nakula dihidupkan kembali.
Yudhistira, 13 tahun yang lalu ia seorang penjudi yang gagal. Tapi dalam hidup, kapan perjudian berakhir? Tadi juga ketika ia memutuskan untuk bersedia menjawab suara gaib, ia merasa dirinya ibarat sebuah dadu yang terlontar dan tak bisa menentukan bagaimana ia akan jatuh. Tiap lemparan adalah pengakuan bahwa hidup adalah kecamuk kebetulan-kebetulan. Tak jelas arahnya. Absurd.
Juga di tepi sungai itu. Yudhistira sebenarnya tak tahu, muka mana dari dadu yang akan muncul dan apa yang menyebabkannya. Kupilih Nakula, tapi aku tak tahu apa yang akan terjadi nanti dengan sisa hidupku di hutan ini. Aku tak tahu dan aku gentar, tapi ada sesuatu yang serta merta memperkuat dirinya, perasaan telah memilih yang adil.
Mungkin itulah sebabnya 13 tahun yang lalu, ia menerima tantangan para Kurawa untuk bermain dadu, dengan sikap tawakal yang membingungkan. Ia mau menghadapi lawan judi yang tangguh dan curang, Sengkuni. Ia kalah, dipermalukan, diusir dan diasingkan selama 13 tahun.
Ia tak berhitung dengan kalkulasi kemungkinan. Tak ada strategi mendapatkan tampilan dadu yang pas dengan yang ditebaknya. Ia cuma memandang ke langit-langit gelap, merasa tiap lontaran tak pernah sama, biarpun berkali-kali. Tiap dadu yang jatuh adalah kebetulan yang niscaya tak dapat diperhitungkan. Teori probabilitas terlampau menyederhanakannya.
Yudhistira berani, tapi bukannya tak ada persoalan disini. Kesediaanya menghilangkan diri sebagai subjek, dan menyerah pada nasib, ternyata tak mampu membuatnya menyentuh dunia di luar dirinya. Maka lakunya jadi bagian dari kekejian, ia jadikan hartanya, kerajaannya, adik-adiknya, bahkan dirinya, dan akhirnya istrinya, jadi barang taruhan. Semua jatuh ke tangan lawan.
Saat itu ia tampil dengan askesis yang kukuh. Sanggup menerima absurditas hidup seraya menghilangkan diri sebagai subjek yang menguasai hal ihwal. Tapi dalam tawakal itu ia tak tergerak oleh liyan, tak terpanggil untuk memikirkan sesama yang lain. Ia memilih diam.
Akhirnya, 13 tahun kemudian ia berubah. Dari adegan di tepi telaga itu tampak, hari itu Yudhistira bukan lagi pelontar dadu yang lembek di depan Sengkuni. Nasib dan kelak tak dapat dikuasainya, tapi ia tak pasif. Ia bukan seonggok robot. Ia memilih dengan hati, Nakula. Ia korbankan cintanya kepada Bima dan harapannya kepada Arjuna.
Artinya, ia hadir dalam subyektifitas yang kuat. Saat itu dharma bukan aktualisasi “aku yang teguh”, melainkan kesetiaan kepada kata “adil”, sesuatu yang menjadikan dirinya kukuh dimomen yang menentukan itu, sesuatu yang membuat rasa hidup tak terhingga. Ada yang ajaib di kejadian itu, ia merasa harapan, cinta, dan kesediaan, walau dalam cemas dan ketidaklengkapan.
Sejak itu, dalam Mahabharata. Yudhistira adalah ksatria yang ganjil. Ia berbeda, naik tahta dan menganggap diri pendosa, begitu banyak manusia dibunuh agar Kerajaan Indraprasta kembali ke tangan keluarga Pandhu. Baginya, perilaku para ksatrya, kasta pendekar perang, mirip tingkah anjing yang memperebutkan sisa makanan. Ia tahu posisi kekuasaan dan dharma selalu akan bertentangan. Dan ia harus memilih, setiap pilihan akan membuka pilihan berikut, dan ia tak akan berlari dari pilihan tersebut, lagi.
Dengan demikian ia memang tak sepenuhnya mematuhi aturan kitab suci tentang manusia, kasta dan peranta. Tapi seperti yang diajarkan oleh suara gaib di tepi sungai itu, orang tidak menjadi bijaksana hanya dengan mempelajari kitab suci semata. Ia harus hidup dan membuat pilihan.
Kadang dalam hidup kita berbuat kesalahan, kita hanya mampu berusaha memastikan bahwa kita tak akan mengulanginya lagi, tanpa tahu bagaimana hasilnya.
Katalog Cerita Pendek:
- Sebentuk Harta; 10 Agustus 2008;
- Elegi Pagi Hari, Sebuah Cerpen; 13 Agustus 2008;
- Keindahan Sang Rembulan; 5 September 2008;
- Ketidakagungan Cinta; 10 Oktober 2008;
- Tempat Tiada Kembali; 13 Oktober 2008;
- Pada Pandangan Pertama; 18 Oktober 2008;
- Aku Tak Mengerti Kamu; 24 Oktober 2008;
- Mengenang Sebuah Perjalanan Cinta; 3 November 2008;
- Selamanya; 14 Desember 2008;
- Ode Seorang Bujang; 17 Desember 2008;
- Sepucuk Surat Untuk Lisa; 1 Januari 2009;
- Wasiat Teruntuk Adinda Malin Kundang; 4 Februari 2009;
- Tidak Sedang Mencari Cinta; 23 Februari 2009;
- Hanyalah Lelaki Biasa; 6 April 2009;
- Wasiat Hang Tuah; 29 Mei 2009;
- Ode Seekor Elang; 8 Juni 2009;
- Tak Ada Apa Apa; 7 Oktober 2009;
- The Last Gentleman; 4 Desember 2009;
- Renungan Majnun Seorang Penarik Cukai; 31 Mei 2010
- Yang Tak Akan Kembali; 10 Juni 2010;
- Kisah Sebelum Sang Pengeran Selesai; 5 Juli 2010;
- Penyihir Terakhir; 15 Maret 2011;
- Santiago Sang Pelaut; 23 Maret 2012;
- Iblis Namec Vs Manusia Saiya; 6 April 2012;
- Ashura; 13 Februari 2013;
- Selamat Tinggal Andalusia; 10 Maret 2013;
- Narsis Yang Berbeda; 28 April 2013;
- Istana Kosong; 4 Juni 2013;
- Bangsawan Pandir; 10 Juni 2013;
- Kematian Bhisma; 15 Juni 2013;
- Badai Sejarah; 29 Juli 2013;
- Cerita Cinta; 7 Agustus 2013;
- Perjalanan; 29 November 2013;
- Jaring Kamalanga; 29 Desember 2013;
- Dragon Dialog; 13 November 2014;
- Persahabatan Kambing Dan Serigala; 19 Desember 2014;
- Pesan Kepada Penguasa; 17 Januari 2015;
- Bagaimana Mengubah Timah Hitam Menjadi Emas; 11 April 2015;
- Setelah Revolusi Selesai; 6 Oktober 2016;
- Harlequin Dan Pohon Harapan; 30 Oktober 2016;
- Permufakatan Para Burung; 5 Januari 2017;
- Kepada Cinta Yang Berumur Seminggu; 13 April 2017;
- Senja Di Malaka; 14 Juni 2017;
- Mengecoh Sang Raja; 17 Oktober 2017;
- Wawancara Dengan Sang Iblis; 1 Januari 2018;
- Legenda Gajah Putih; 12 Januari 2018;
- Genderang Pulang Sang Rajawali; 22 Februari 2018;
- Kisah Menteri Jaringan Melawan Kapitalisme Amerika; 17 Desember 2018;
- Legenda Naga Sabang; 29 Mei 2020;
- Legenda Gunung Geurutee; 1 Juni 2020
Pingback: THE RIVER MAN | Tengkuputeh
Pingback: SEBENTUK HARTA | Tengkuputeh
Pingback: ELEGI PAGI HARI, SEBUAH CERPEN | Tengkuputeh
Pingback: KEINDAHAN SANG REMBULAN | Tengkuputeh
Pingback: KETIDAKAGUNGAN CINTA | Tengkuputeh
Pingback: SEPUCUK SURAT UNTUK LISA | Tengkuputeh
Pingback: RENUNGAN MAJNUN SEORANG PENARIK CUKAI | Tengkuputeh
Pingback: SELAMAT TINGGAL ANDALUSIA | Tengkuputeh
Pingback: ISTANA KOSONG | Tengkuputeh
Pingback: SENJA DI MALAKA | Tengkuputeh
Pingback: TEMPAT TIADA KEMBALI | Tengkuputeh
Pingback: PERJALANAN | Tengkuputeh
Pingback: MENGECOH SANG RAJA | Tengkuputeh
Pingback: THE LAST GENTLEMAN | Tengkuputeh
Pingback: YANG TAK AKAN KEMBALI | Tengkuputeh
Pingback: TAK ADA APA APA | Tengkuputeh
Pingback: SELAMANYA | Tengkuputeh
Pingback: HANYALAH LELAKI BIASA | Tengkuputeh
Pingback: WASIAT HANG TUAH | Tengkuputeh
Pingback: ODE SEORANG BUJANG | Tengkuputeh
Pingback: WASIAT TERUNTUK ADINDA MALIN KUNDANG | Tengkuputeh
Pingback: PADA PANDANGAN PERTAMA | Tengkuputeh
Pingback: TIDAK SEDANG MENCARI CINTA | Tengkuputeh
Pingback: KISAH SEBELUM SANG PANGERAN SELESAI | Tengkuputeh
Pingback: KEPADA CINTA YANG BERUMUR SEMINGGU | Tengkuputeh
Pingback: BADAI SEJARAH | Tengkuputeh
Pingback: SANG KATALIS | Tengkuputeh
Pingback: CERITA CINTA | Tengkuputeh
Pingback: WAWANCARA DENGAN SANG IBLIS | Tengkuputeh
Pingback: MENGENANG SEBUAH PERJALANAN CINTA | Tengkuputeh
Pingback: SETELAH REVOLUSI SELESAI | Tengkuputeh
Pingback: LEGENDA GAJAH PUTIH SEBAGAI ASAL NAMA KABUPATEN BENER MERIAH | Tengkuputeh
Pingback: SANTIAGO SANG PELAUT | Tengkuputeh
Pingback: GENDERANG PULANG SANG RAJAWALI | Tengkuputeh
Pingback: PERSAHABATAN KAMBING DAN SERIGALA - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: CERITA CINTA - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: NARSIS YANG BERBEDA | Tengkuputeh
Pingback: SEBENTUK HARTA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: PERMUFAKATAN PARA BURUNG | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: KEMATIAN BHISMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: KISAH MENTERI JARINGAN MELAWAN KAPITALISME AMERIKA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: KISAH MENTERI JARINGAN MELAWAN KAPITALISME AMERIKA | Tengkuputeh
Pingback: ADA BANYAK CINTA | Tengkuputeh
Pingback: LEGENDA GAJAH PUTIH BENER MERIAH | Tengkuputeh
Pingback: ODE SEEKOR ELANG | Tengkuputeh
Pingback: PERSAHABATAN KAMBING DAN SERIGALA | Tengkuputeh
Pingback: JARING KAMALANGA | Tengkuputeh
Pingback: ODA NOBUNAGA BANGSAWAN PANDIR | Tengkuputeh
Pingback: IEYASU TOKUGAWA SANG ASHURA | Tengkuputeh
Pingback: PESAN KEPADA PENGUASA | Tengkuputeh
Pingback: DRAGON DIALOG | Tengkuputeh
Pingback: SATU DUNIA BERBAGAI DIMENSI | Tengkuputeh
Pingback: AKHIR RIWAYAT SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: HIKAYAT MEURAH SILU | Tengkuputeh
Pingback: RAJA DEKAT TUHAN JAUH | Tengkuputeh
Pingback: IBLIS NAMEC VS MANUSIA SAIYA | Tengkuputeh