
Amerika Serikat sebagai sebuah Negara tetap saja adalah pedagang yang menjual produk-produk korperasi mereka sendiri. Tidak meskipun kami adalah Negara kecil yang entah berantah tapi kami harus melawan kapitalisme mereka, dengan lembut tentunya.
MELAWAN KAPITALISME AMERIKA
Ketika uang (berbentuk logam emas) pertama sekali diciptakan, Iblis datang dan menghampiri. Ia mencium uang tersebut dan bersumpah: “Sesungguhnya aku telah ridha jika engkau disembah oleh manusia melebihi aku, mulai hari ini kita adalah sekutu sekufu seiring sejalan untuk melawan Tuhan yang sesungguhnya.” (Riwayat Israiliyat)
XXX
Duta besar Amerika Serikat di negara kecil
Pagi yang menyenangkan, burung-burung bernyanyi, cuaca sejuk, mungkin 27 pada derajat celcisus. Aku bersiul kecil menyambut hari memasuki kantor yang selama 35 tahun ini menjadi tempatku bekerja. Memasuki ruangan suasana hatiku masih ceria, sampai mendapati ternyata seseorang duduk di kursiku. Marshall Green, duta besar Amerika Serikat untuk negeri-negeri di Kepulauan Perca telah duduk disana sambil bersungut-sungut melihat jam.
“Bapak Menteri yang terhormat, ini sudah pukul Sembilan! Tak heran negeri kalian seperti ini, terbelakang! Jangankan rakyat, menterinya saja tak tepat waktu!” Kritik sang Duta Besar.
Aku tersenyum, duduk di kursi tamu di depan mejaku sendiri. Berhadapan dengan Duta Besar Amerika Serikat memang membuat tersiksa batin, goresan-goresannya akan menambah luka, selalu makan hati bagi para pejabat negeri-negeri kecil, tapi tentunya tidak bagi menteri senior berpengalaman telah menjabat selama 35 tahun. Oh tidak, mungkin kekhususan ini cuma aku yang miliki. Tersenyum nakal, Aku mengeluarkan notes dari saku, memakai kacamata dan pura-pura membaca coretan-coretan puisi yang aku buat kemarin. Seolah-olah jadwal kerja.
“Yang Mulia, saya melihat jadwal hari ini, disini tidak tertulis kita memiliki janji pertemuan.” Mimik muka ku setting nakal.
Semilir angin tiada, ibarat dua samurai yang sedang akan naik tanding. Kami berdua ibarat sedang memasang kuda-kuda bertempur. Duta besar pun membuka smartphone, satu firasat menusukku, ia sedang marah besar. Meskipun pandanganku tak selalu benar, faktanya selama 35 tahun menjabat menteri aku sudah berhadapan dengan belasan duta besar Amerika Serikat, dan mereka selalu merasa punya kuasa untuk mendamprat siapapun di negeri-negeri kecil. Entah pejabat, menteri sampai Sultan. Sebenarnya cemen, coba dengan para kamerad Rusia kalau memang pemberani.
“Apa yang membuat Yang Mulia marah di pagi yang indah ini?” Bagaimanapun dalam pergaulan sesama orang maupun Negara, yang lemah harus tetap mengalah.
Dia bangkit dari tempat duduk berpindah kesampingku, kemarahannya ditingkat apokaliptik. “Siapa yang berhak dimarahi?” ia berbisik pelan, menekan.
Aku menunjuk diri sendiri, sambil tersenyum paling manis yang bisa aku ciptakan dalam kepura-puraan.
“Siapa yang berhak memarahi?” Tanyanya lagi.
Dengan jempol, sangat sopan bagai hamba Majapahit, aku menunjuk dirinya.
“Tapi saya tak mengerti penyebab kemarahan Yang Mulia, Kerajaan Sungai Keadilan selalu tunduk pada hukum Internasional (yang sesuai dengan selera Amerika tentunya), kami membayar pajak ekspor sebagaimana mestinya, dan yang paling penting tidak ada dan belum pernah warga Negara Amerika Serikat celaka ketika bepergian di negeri kami. Atas nama rakyat kami, saya mohon diberitahu apa perangai kami yang mencederai hati Yang Mulia?” Tanyaku pelan.
“Motherfucker!!! Politisi, anggota Parlemen, para menteri sampai Sultan kalian selalu berbicara atas nama rakyat. Tahukah kalian? Kalau kalian berbicara atas nama rakyat kalian, maka aku berbicara atas nama rakyat Amerika Serikat yang dilecehkan oleh kalian!” Ia mengemeretakkan gigi, kembali marah.
Saatnya tarik ulur, diplomatik itu melelahkan, kita harus berbicara berputar-putar sebelum sampai tujuan. Tapi diplomatik juga menyenangkan, ketika seorang perwakilan Negara sekutu yang besar, maha besar malah, hanya dengan kekuatan 500 marinir saja mampu menginvasi negeri kami yang hanya memiliki 40.000 penduduk dengan mudah, harus patah-patah berbicara dengan seorang negeri entah berantah ini.
“Tentunya tidak ada orang yang cukup gila di negeri ini yang berani menganggu penduduk Amerika apalagi pemerintahnya, sekutu sekaligus mitra dagang kami yang terbesar.” Sebuah pujian, tapi aku menganggapnya hinaan terselubung. Bagaimanapun kami adalah satu-satunya Negara di dunia yang surplus neraca perdagangan dengan Amerika Serikat, selama 50 tahun berturut-turut. Negeri ini berhasil mengirimkan lada, kelapa, kopi ke Amerika dengan damai, sedangkan produk-produk Amerika yang masuk kemari kurang diminati. Siapa yang mau membeli kopi Starbuck seharga 50 ribu segelas, jika kopi pancung kami lebih enak, dan hanya berharga 3 ribu secangkirnya?
Dipuji seperti itu, anak kecil pun tersipu. Wajah Duta Besar berubah melembut, yang tadinya jahat menjadi setengah jahat, aku masih waspada. Kapitalisme Amerika memiliki satu kelemahan yaitu ketika bangsamu unik, tidak melawan dan tidak memiliki bahan tambang maka kalian hampir tidak mungkin dijajah.
Lihatlah bangsa Papua, mereka unik, tidak melawan tapi punya tambang emas. Maka dijajahlah mereka oleh Amerika untuk diambil emasnya. Jika ada Sultan yang paling kaya, tentu adalah Sultan Papua. Dalam setiap shalat aku berdoa agar Tuhan tidak memberikan emas di tanah negeri kami, cukuplah bangsa Papua yang menahan azab sengsara itu, kami jelas tidak mampu.
“Sebagai Menteri Informasi dan Komunikasi apakah kamu tidak tahu?” Pandangannya menyelidik.
Aku angkat bahu, “maaf tuan, eh maksud saya Yang Mulia. Saya bukan Menteri Informasi dan Komunikasi.”
Ini mulai ngeri, apa Amerika sudah mirip dengan Republik Rakyat Cina? Sedikit-sedikit sensor informasi, dan jika kau berbeda (taat agama) langsung masuk kamp seperti bangsa Uighur. Tentu Amerika tidak begitu, mereka lebih kalem daripada komunis China, dugaanku.
“Fuck Man!!! Sultan bilang kau Menteri Informasi dan Telekomunikasi, segala tentang urusan internet menjadi urusanmu katanya! Apa kamu tidak tahu tukang sunat?”
Menjadi menteri di negeri Sungai Keadilan bergaji dua karung beras sebulan, tentu kurang sekali. Untungnya aku memiliki pekerjaan sampingan, pekerjaan sampinganku adalah seorang mantri khitan alias tukang sunat. Sepanjang karir sebagai mantri telah ribuan kulup yang telah aku pangkas, reparasi, salah satunya adalah milik Sultan kami sekarang, Sultan Malik Saleh Perkasa Alam.
Di negeri-negeri Melayu, kamu sangat hormat kepada tiga jenis orang: Pertama, Orangtuamu; Kedua, Guru Mengajimu; dan Ketiga; yang menjadi bagianku, yaitu orang menservis “perkakasmu” menjadi rudal patriot. Si Saleh (Paduka Yang Mulia Sultan Malik Saleh Perkasa Alam) pasti telah kelabakan berurusan dengan si Duta Besar dan mengirimnya untuk ditangani ahli yang dianggap lebih bijak (lebih pandai silat lidah) yaitu aku.
“Saya adalah Menteri Jaringan Kesultanan Sungai Keadilan Yang Mulia. Tapi ya, jaringan itu meliputi listrik, air dan mungkin masuk juga ke internet?” Aku memegang jangutku, seraya memutar-mutar mata pura-pura bodoh, semoga amarahnya reda.
Yang Mulia Duta Besar Amerika Serikat, Marshall Green menepuk jidat. “Kita hidup di abad ke-21, internet adalah hal yang penting! Bagaimana bisa kalian bangsa yang mengaku beradab menafikan hal itu dan berperilaku seperti jaman batu dengan mengabungkannya dengan listrik dan air?
“Maaf ralat Yang Mulia, bukankah di zaman batu. Kita semua belum mengenal listrik.” Mataku naik keatas dengan kocak.
“Yayaya, aku tahu itu. Betapa kalian orang-orang negeri ini pintar berbicara, pantas tidak ada bangsa putih yang berhasil menjajah kalian!” Hinaannya perih boy.
“Maaf ralat Yang Mulia, bukan tidak ada yang berhasil, tapi tidak ada yang mau. Jika Amerika Serikat mengirimkan pasukan untuk menjajah kami, tentu kami tak akan melawan. Malah saya pikir, kami bisa mengirimkan barang-barang kami kesana tanpa pajak ekspor. Atau akan menguras devisa Amerika dengan membuka warung kopi di depan pangkalan militer Amerika.” Seorang diplomat harus mampu merendahkan diri agar negerinya tidak diinvasi oleh Negara besar, tapi sialnya aku seorang menteri juga kadang-kadang harus menjadi diplomat. Kesalku ke ubun-ubun, sampai-sampai jika hari ini aku diberi kuasa oleh Allah kembali ke masa lalu, maka akan kupangkas habis rudal si Sultan.
“Baiklah, aku lelah berbicara dengan kau!” Ia membuka kancing diatas dan mengendorkan dasinya, menyelonjorkan badannya di kursi seperti orang kurang vitamin D, tulang rapuh.
Syukurlah pujiku dalam hati. Aku diam menunggu dia pergi, mungkin aku harus makan mie rebus untuk mengusir aura buruk si Duta Besar. Tapi dia masih diam, belum pergi.
“Kamu masih ingat 6 bulan lalu ketika aku berkunjung ke negeri ini dan mengatakan kunci kemajuan adalah keterbukaan.”
Duta Besar Amerika Serikat untuk negeri-negeri Pulau Perca tidak hanya berurusan dengan negeri kami saja, kurang lebih ada puluhan Negara. Dia adalah Duta Besar Keliling, Tukang obat keliling ejekanku untuknya, Sultan Malik Saleh Perkasa Alam ketika kubilang begitu tertawa senang sampai berguling-guling di lantai sangking bahagianya, hampir aku sepak Sultan karena ia terlihat kekanak-kanakan waktu itu. Bagaimana jika ada orang lain yang melihat?
“Enam bulan itu sudah lama, saya sudah tua dan melupakan remeh temeh. Belum lagi tugas-tugas saya cukup banyak.”
Duta Besar Amerika Serikat tahu, disamping Menteri aku adalah mantri khitan, satu-satunya orang di dunia yang merangkap jabatan Menteri sekaligus mantri, tatapannya sering meremehkan dan menganggap sepele aku. Jika kau adalah Menteri Negeri Korea Utara pasti akan marah besar sambil memamerkan remote nuklir. Tapi bagi menteri Kesultanan Sungai keadilan dianggap sepele oleh Duta Besar Amerika adalah prestasi besar, tetap merunduk dan jangan sampai menjadi ancaman bagi mereka.
“Untuk mengetahui peradaban kalian harus menonton filem terutama produksi Hollywood, masih ingat kau waktu aku bicara itu pada pertemuan di Balai Penghadapan?”
Balai Penghadapan adalah tempat Sultan menerima tamu-tamu asing, biasanya si Saleh ketika berhadapan dengan kuasa-kuasa besar selalu mengajak aku. Waktu itu adalah perkenalan si Marshall Green sebagai duta besar baru mengantikan si Herbert Faith yang dipromosikan jadi Duta Besar dan berkuasa penuh untuk Republik Federasi Russia. Promosi? Ya iya lah, dari Duta Besar negeri-negeri entah berantah langsung menjadi Duta Besar untuk salah satu saingan Amerika Serikat.
“Bioskop? Itu tidak mungkin Yang Mulia. Para Ulama di negeri Sungai Keadilan tidak akan mengizinkan hal itu. Para kaum muda Negeri ini punya birahi berlebihan menurut mereka, jadi tidak bisa dibiarkan berlama-lama dengan lawan jenis dalam kegelapan.”
“Benarkah begitu?” Ia menaikkan alis.
“Belum tentu Yang Mulia, akan tetapi jika pemerintah tidak mendengar kata-kata ulama akan dikudeta oleh komunis. Apakah yang mulia senang jika kami menjadi Negara komunis? Bayangkan sebuah negeri sekutu terpercaya Amerika Serikat menjadi sebuah Kuba baru hanya gara-gara bioskop?” Tanyaku menghiba.
“Wawasan sejarah, ideologi negeri ini agak pandir. Ulama itu kanan, konservatif! Kiri baru komunis. Mana bisa bertemu? Belajarlah pak menteri, jangan hanya buku tahun 1920-an saja! Ini zaman 2020, HOS Cokroaminoto dan Tan Malaka sudah lama mati, ideologi dan orangnya.”
“Bukan begitu Yang Mulia, bukanlah jika tidak ada jalan ke kanan berarti harus belok kiri yakan?” Tanyaku.
“Kadang-kadang aku heran, bagaimana Sultan Saleh Perkasa Alam bisa mempercayai orang sebodoh kamu untuk terus menjadi menteri.” Ia mengejekku.
Dasar kapitalis biadab! Tentu kami tidak mengizinkan bioskop di negeri kami bukan karena mesum. Aku yang mengusulkannya, memberi pengertian kepada si Saleh bahwa ada dua produk Amerika yang harus kita hindari agar kami tidak defisit neraca perdagangan dengan Amerika: Pertama, senjata dan kedua, royalti pilem Hollywood.
“Aku mendapatkan laporan, di negeri ini ada sebuah situs yang dengan jahat mengandakan filem Hollywood dan membagikan secara cuma-cuma melalui streaming. Tindakan itu secara politik dan ekonomi menganggu kepentingan Amerika Serikat.” Katanya geram.
Menganggu ekonomi Amerika? Lebay sekali bapak duta besar ini, hanya mengurangi sedikit saja pendapatan Warner Bros, Paramount atau Marvel pun. Tapi aku tetap harus berakting.
“Oh, jahat sekali. Kalau ulama-ulama kami tahu tentu mereka mengecamnya. Saya akan memberangus situs tersebut, tidak hanya untuk kepentingan Amerika Serikat tapi lebih untuk moral bangsa kami.” Aku memukul meja karena kesal.
“Maksudmu pilem Amerika memberi pengaruh moral yang buruk?”
“Oh bukan, bukan itu maksud saya Paduka Yang Mulia. Itu bukan pendapat saya, tapi ulama-ulama kami yang terkenal konservatif.”
“Negeri ini seharusnya tidak tunduk pada mereka para idiot yang hidup di abad ke-15, untuk kemajuan negeri Ulama-ulama harus dikerasi sedikit. Sudah saatnya Kesultanan kalian menjadi progresif.” Wajahnya serius, tapi santai.
Aku tersenyum pengertian, “itu tidak mungkin Yang Mulia, pemimpin kami tidak mungkin keras pada ulama, bukan karena takut ya. Kami tidak mungkin menindas mereka yang dalam setiap shalat dan khutbahnya mendoakan kebaikan bagi pemimpin dan negeri ini.”
“Logikamu bengkok! Stupid!” Ia menunjukku geram.
“Setidaknya bengkok lebih baik daripada patah Yang Mulia.” Aku tersenyum manis, caci maki terus aku dalam bahasa Inggris, emang aku mengerti, tapi tidak sesakit kalau dimaki dalam bahasa daerah.
Hahaha, dalam hati aku tertawa. Karena kami, kenegerian Sungai Keadilan tidak akan pernah mengikuti kebudayaan Barat dengan serta merta, lebih baik dibilang pandir oleh si kafir ini, daripada nanti di akhirat tidak masuk golongan Nabi Muhammad. Aku balas menghina, cuma dalam hati saja.
“Kalian kekurangan teknologi, kami bisa membantu melacak situs itu dengan peralatan dan konsultan-konsultan yang ahli.”
Aku diam, selain senjata dan royalti pilem Hollywood sebagai pendapatan Amerika Serikat. Ada satu lagi yang berbahaya, jasa konsultasi. Negara-negara kecil akan dipaksa meminjam dana, untuk kemudian membeli peratalan-peralatan mereka dan menggaji tinggi konsultan mereka. Tapi tenang, kata mereka biayanya bisa dicicil, akan ringan meski bunganya mencekik. Hanya pejabat yang tolol yang besedia, ditambah pejabat yang disuap fee oleh Amerika. Itulah sebab aku membenci kapitalisme, itulah sebab aku melawan kapitalisme mereka.
“Dengan biaya terjangkau tentunya.” Ia tersenyum, bagaimanapun Amerika Serikat hebatnya sebagai sebuah Negara adidaya, tetap saja mereka adalah pedagang yang menjual produk-produk korperasi mereka sendiri. Meskipun kami adalah Negara kecil yang entah berantah tapi kami harus melawan kapitalisme mereka, dengan lembut tentunya.
“Saya pikir kami mampu menangani masalah ini sendiri Yang Mulia, Insya Allah, kami bisa!” Kali ini aku tegas.
Ia mengangguk, kesal dan marah. “Aku beri waktu tiga bulan! Kalian tentu tahu apa akibatnya jika Amerika marah tentunya. Jika kalian lupa, ingatlah Irak, ingatlah Afganistan dan ingatlah Libia.” Matanya berkilat mengancam.
Aku membungkuk pada anjing buduk kudisan ini, dan mengantarkannya ke depan kantor dengan basa-basi kecil. Selepas mobil Duta Besar Amerika Serikat itu pergi aku memanggil Syamaun dan menyuruh mempersiapkan mobil untuk melaporkan ini kepada Sultan.
XXX
“Jadi dia berkata begitu?” Sultan merebahkan diri dikursi, begitu aku selesai melaporkan secara pribadi di ruang tertutup, rupanya sedari tadi dia cemas dan mengharapkan aku segera datang dan menceritakan duduk perkaranya.
“Paman, rakyat kita butuh hiburan, sedang ancaman Amerika Serikat terasa sangat nyata. Apa yang harus kita lakukan?” Ia bimbang karena kecintaannya kepada rakyat yang membutuhkan hiburan gratis, dan aku tahu juga dia juga adalah salah satu penikmat domain illegal itu. Tapi disisi lain, Amerika Serikat adalah Negara terkuat di dunia sekaligus mitra dagang yang paling menguntungkan bagi kami. Sentilan embargo, atau bahkan invasi bisa terjadi.
“Ada solusi paman?” Dalam ruang tertutup Sultan lebih suka dipanggil ananda olehku, mungkin karena aku satu-satunya sahabat ayahnya yang masih hidup.
“Selalu ada solusi ananda, saya punya jalan keluar.” Aku tersenyum nakal, sangat nakal untuk orang yang sudah berumur enam puluhan.
Ia tersenyum, “kenapa paman tidak bilang dari tadi? Apa solusinya?”
Aku mendekat berbisik, ia tertawa terbahak-bahak sampai lemas. Selesai tertawa ia bertanya, “paman kenapa harus berbisik di ruang tertutup?”
“Ada pepatah kuno yang berkata dalam istana dinding pun punya telinga.”
Ekspresi Sultan Malik Saleh Perkasa Alam terkejut, ia menatapku dengan penuh kekaguman. Sama persis ketika waktu dia kecil, waktu selesai dikhitan dengan rasa sakit yang minimal.
XXX
Dalam perjalanan pulang kembali dari istana, Syamaun menyetir dengan tenang. Aku memandangi negeri yang aku cintai ini, jalan-jalannya, sungai-sungainya yang keruh, masyarakatnya yang keras tapi tulus. Aku mencintai negeri ini, semuanya dan aku bersyukur dilahirkan di negeri ini.
“Syamaun dalam waktu tiga bulan bisakah kau membangun sebuah domain baru dan telah memindahkan data-datanya?” Tanyaku.
“Jangankan tiga bulan, seminggu pun bisa.” Ia tersenyum.
“Baik tolong siapkan segera, dalam dua bulan matikan domain lama, tunggu dua hari dan hidupkan yang baru.”
“Baik dan Terima kasih pak menteri.”
“Justru aku yang berterima kasih karena kamu mengerjakan domain itu untukku.” Aku tertawa merasa tersindir.
“Terima kasih telah memberikan hiburan pada rakyat maksud saya” Katanya.
“Kalian melihat pemimpin seharusnya sama seperti manusia lain, mereka ingin bahagia, ingin rakyatnya bahagia juga tentunya, tapi kita tidak bisa dengan begitu saja mengalirkan uang dengan mudah pada negeri asing.”
Syamaun diam, dia melihat kebelakang melalui kaca dengan penuh hormat, segera detik itu aku mengambil pelajaran moral bahwa kadang Menteri Jaringan bisa lebih tinggi dari Sultan sendiri. Untuk memahami lawan, engkau harus hidup dan berpikir dengan cara mereka. Salah satu cara memahami kebudayaan mereka yang besar adalah dengan menonton filem mereka, seperti Starwars, Avengers, dan sebagainya. Tapi kami melakukan itu dengan tanpa membayar. Disitulah aku tersenyum puas dan betapa hari ini sangat indah.
- Sebentuk Harta; 10 Agustus 2008;
- Elegi Pagi Hari, Sebuah Cerpen; 13 Agustus 2008;
- Keindahan Sang Rembulan; 5 September 2008;
- Ketidakagungan Cinta; 10 Oktober 2008;
- Tempat Tiada Kembali; 13 Oktober 2008;
- Pada Pandangan Pertama; 18 Oktober 2008;
- Aku Tak Mengerti Kamu; 24 Oktober 2008;
- Mengenang Sebuah Perjalanan Cinta; 3 November 2008;
- Selamanya; 14 Desember 2008;
- Ode Seorang Bujang; 17 Desember 2008;
- Sepucuk Surat Untuk Lisa; 1 Januari 2009;
- Wasiat Teruntuk Adinda Malin Kundang; 4 Februari 2009;
- Tidak Sedang Mencari Cinta; 23 Februari 2009;
- Hanyalah Lelaki Biasa; 6 April 2009;
- Wasiat Hang Tuah; 29 Mei 2009;
- Ode Seekor Elang; 8 Juni 2009;
- Tak Ada Apa Apa; 7 Oktober 2009;
- The Last Gentleman; 4 Desember 2009;
- Renungan Majnun Seorang Penarik Cukai; 31 Mei 2010
- Yang Tak Akan Kembali; 10 Juni 2010;
- Kisah Sebelum Sang Pengeran Selesai; 5 Juli 2010;
- Penyihir Terakhir; 15 Maret 2011;
- Santiago Sang Pelaut; 23 Maret 2012;
- Iblis Namec Vs Manusia Saiya; 6 April 2012;
- Ashura; 13 Februari 2013;
- Selamat Tinggal Andalusia; 10 Maret 2013;
- Narsis Yang Berbeda; 28 April 2013;
- Istana Kosong; 4 Juni 2013;
- Bangsawan Pandir; 10 Juni 2013;
- Kematian Bhisma; 15 Juni 2013;
- Badai Sejarah; 29 Juli 2013;
- Cerita Cinta; 7 Agustus 2013;
- Perjalanan; 29 November 2013;
- Jaring Kamalanga; 29 Desember 2013;
- Lelaki Sungai; 19 Januari 2014;
- Dragon Dialog; 13 November 2014;
- Persahabatan Kambing Dan Serigala; 19 Desember 2014;
- Pesan Kepada Penguasa; 17 Januari 2015;
- Bagaimana Mengubah Timah Hitam Menjadi Emas; 11 April 2015;
- Setelah Revolusi Selesai; 6 Oktober 2016;
- Harlequin Dan Pohon Harapan; 30 Oktober 2016;
- Permufakatan Para Burung; 5 Januari 2017;
- Kepada Cinta Yang Berumur Seminggu; 13 April 2017;
- Senja Di Malaka; 14 Juni 2017;
- Mengecoh Sang Raja; 17 Oktober 2017;
- Wawancara Dengan Sang Iblis; 1 Januari 2018;
- Legenda Gajah Putih; 12 Januari 2018;
- Genderang Pulang Sang Rajawali; 22 Februari 2018;
- Legenda Naga Sabang; 29 Mei 2020;
- Legenda Gunung Geurutee; 1 Juni 2020;
Pingback: ADA BANYAK CINTA | Tengkuputeh
Pingback: SENJA DI MALAKA | Tengkuputeh
Pingback: SEBENTUK HARTA | Tengkuputeh
Pingback: ELEGI PAGI HARI, SEBUAH CERPEN | Tengkuputeh
Pingback: TIDAK SEDANG MENCARI CINTA | Tengkuputeh
Pingback: HANYALAH LELAKI BIASA | Tengkuputeh
Pingback: WASIAT HANG TUAH | Tengkuputeh
Pingback: MENGECOH SANG RAJA | Tengkuputeh
Pingback: PERSAHABATAN KAMBING DAN SERIGALA | Tengkuputeh
Pingback: SETELAH REVOLUSI SELESAI | Tengkuputeh
Pingback: JARING KAMALANGA | Tengkuputeh
Pingback: KEPADA CINTA YANG BERUMUR SEMINGGU | Tengkuputeh
Pingback: BAGAIMANA MENGUBAH TIMAH HITAM MENJADI EMAS | Tengkuputeh
Pingback: ODA NOBUNAGA BANGSAWAN PANDIR | Tengkuputeh
Pingback: TAKTIK ISTANA KOSONG IEYASU TOKUGAWA | Tengkuputeh
Pingback: TAK ADA APA APA | Tengkuputeh