RISALAH SANG DURJANA
Sepuluh tahun sudah kaki ini tak menjejak daratan. Buih-buih lautan telah menawanku sejauh ini bukan karena keterpaksaan namun lebih pada rasa enggan. Racun yang menyelusup ditubuhku mengelanjut manja membunuh segala hasrat untuk berlabuh. Bukannya aku tak rindu dengan lembutnya dataran menghampar, tapi mereka pernah menolakku dengan sengaja. Dalam pelayaranku dua pelabuhan telah menarikku berlabuh.
Negeri pertama, tak jauh-jauh dari kampungku. Sebuah pelabuhan digugusan tropis tepat di pusat administrasi Hindia Belanda yang mereka namakan Batavia1). Namun syahbandar congkak mengusirku, ia berkata dermaga itu bukan untukku. Kapal dagang Maskapai Belanda telah memborong tempat tersisa dan memaksaku berlayar ke Timur.
Sekian tahun berlalu, lima tahun kemudian tepatnya hingga aku tergoda oleh lampu-lampu kota di negeri bersalju. Setelah menembus terusan Panama dan tiba di negeri yang berjuluk Skandinavia. Syahbandar yang telah mengundang Bahtera Bintang Kejora yang kunahkodai berbalik dengan senyum licik dari Galleonnya. Pelabuhan ini bukan untuk pedagang sepertiku. Hanya kapal-kapal perompak Vikinglah yang berhak! Mengangkat sauh hatiku hancur, kutahan amarahku. Satu hal yang pasti bahwa pengalaman ini telah mengubahku menjadi Lanun.
Menjadi Kapten Perompak bukan pilihanku. Sejatinya aku adalah keturunan petani. Sejak kecil almarhum ayah mengajarkan menanam. Kita memberi kehidupan anakku kata beliau, walau hasil dari tangannya yang kapalan akibat mencangkul itu menjadi santapan empuk para tengkulak. Beliau yang berulangkali dikhianati telah membuat hatiku meringgis. Para Ulee Balang2) tak lebih dari sekumpulan penjilat yang korup, kharaj3) yang mereka kenakan sangat tinggi bahkan jika Sultan mengetahui akan terkejut akan kezaliman mereka. Tapi tak pernah ada yang melaporkan hal ini pada Po Teumeuruhom4) karena mulut kami terkunci. Aku menahan air mata ketika tubuh rapuhnya menyerah pada kematian. Aku tak mau menjadi petani sumpahku ketika itu, aku ingin menjadi pedagang besar dengan Kapal lintas benua. Aku meninggalkan negeri itu, tempat aku dan nenek moyangku dilahirkan. Pelayaran setelah menelan kekecewaan tak terampunkan di negeri sendiri. Bertahun aku bertahan dalam mimpi yang sama hingga pengalamanku di Skandinavia telah merenggut cita-citaku. Bahkan kembali aku telah dikhianati seperti halnya ayahku dulu. Dunia membuka mataku sekali lagi bahwa tak ada tempat bagi orang jujur dan naif. Aku benci negeriku dan aku pergi tidak untuk kembali.
Kapten lanun haruslah kejam, Durjana itulah julukanku. Paling tidak harus menampakkan kebengisan. Senyum diwajahku ketika memancung kepala Kapten pelaut Belanda. Menghancurkan skuadron bermeriam berbendera Portugis. Bahkan Kapal perang kerajaan Inggris sekalipun tak membuatku gentar. Pelaut Viking kuperlakukan dengan sangat kejam yang tak pernah terbayangkan oleh mereka bahkan dalam mimpinya yang paling buruk. Kuhindari merompak kapal-kapal kaum muslimin. Bahkan aku yang sudah bejat ini tak mampu mengangkat pedang kepada sesama muslim. Kuhindari bentrokan dengan para Pasya Utsmaniyah dan tabikku untuk Phinisi para pendekar Bugis.
Kelewangku penuh darah, Bintang Kejora telah berubah menjadi Bintang Hitam yang berarti kematian. Perjalanan damai melintasi selat malaka, laut jawa, Laut Arafuru dan Samudera Pasific berubah menjadi pelayaran hitam di Samudera Atlantik, Laut Hitam, Laut Merah dan sekarang di Samudera Hindia. Ketika para awak kapal dengan sekoci menuju Gujarat menuju rumah bordir terbaik. Aku masih setia dengan Bintang Hitam dialah kekasihku dalam sunyi bersama bintang-bintang dilangit yang menjadi penghiburan hatiku selama ini. Aku masih tetap orang naif yang merasa dirinya suci walau bergelimang darah. Tubuhku terlalu agung untuk disentuh pelacur-pelacur dari belahan dunia manapun, termasuk tubuh molek Bengali yang termasyur diantara para Pelaut. Aku hanya boleh dimiliki oleh seseorang dan pastinya ia bukanlah perempuan biasa, karena ia adalah istriku kelak tempat sosok tanpa cinta sepertiku menyerahkan segenap cinta manusia hanya kepadanya.
Dari mulut kelasi yang kembali, aku tahu. Inggris keparat dan Belanda Penjilat telah membatalkan Traktat London berangka 1824. Negeriku dalam bahaya! Aku harus pulang kepertautan Samudera Hindia dan Selat Malaka. Aceh Darussalam terancam oleh invasi Kumpeni Belanda. Traktat Sumatera telah memberi celah Belanda menguasai Sumatera paling Utara. Apakabar Meureuhom Daya? Apakabar Pedir? Apakabar Tanah Gayo? Apakabar Pasai? Apakabar Tamiang? Apakabar Meurebo Jaya? Apakabar Teunom? Apakabar Meureudu? Apakabar Peureulak? Apakabar Manggeng? Apakabar Peusangan? Apakabar Singkel? Apakabar Samalanga? Apakah masih menjadi bagian Federasi Aceh Darussalam? Sudah lama aku pergi. Masihkan Sultan Mansur Syah5) berkuasa? Masihkan Tuanku Nanta Setia6) hidup? Hampir seluruh dunia kuarungi ternyata masih ada cintaku untuk Nusantara.
Tahun ini 1872, usiaku empat puluh tahun. Puncak seorang laki-laki, tanpa cinta. Bintang Hitam harus segera berlayar kembali menuju Bandar Aceh Darussalam. Cepat atau lambat, Belanda bangsa tak tahu balas budi! Yang kemerdekaannya dari Spanyol pertama kali diakui oleh Kesultanan kami itu akan menyerang, air susu dibalas dengan tuba. Bahkan William Van Orange akan malu akan polah anak cucunya. Pusara Duta Besar pertama Nusantara untuk Belanda, Tuanku Abdul Hamid di Holland sana akan mengutuki polah bejat bangsa pedagang pelit ini.
Saat ini Aceh Darussalam tak setangguh dulu seperti masih memegang monopoli lada. Ia keropos dan tinggal nama besar saja. Sekarat menunggu kematian. Para Ulee Balang telah melarung kuasa Sultan sejak era Sultanah Safiatuddin7) Segenap negeri yang kukunjungi telah terinjak-injak oleh kulit putih dan aku tahu hampir tak ada kemungkinan bagi Aceh bersegi tiga untuk menang melawan Barat yang lebih modern. Lebih rapi, lebih licik dan lebih terpelajar. Kami akan kalah dan itu akurasinya sembilan puluh sembilan persen kemungkinannya. Hanya Allah S.W.T yang mampu menolong, dan sudah sekian lama aku tak berdoa. Tanganku menengadah ke langit air mataku menitik untuk pertama kali sejak almarhum ayah meninggal
Aku memimpikan pelabuhan Ulee Lheu8), karang-karangnya yang menggoda, hamparan pasir putih bersih. Tepat disana nanti para kelasi akan kubebastugaskan. Tak bisa sekarang kukatakan karena mereka pasti akan desersi. Aku merindukan menyemai bibit cabe ditepi Krueng Aceh9). Tanganku sudah terlalu lembut untuk mencangkul kembali. Rindu telah memaksa mengingkari sumpahku untuk tidak menjadi petani lagi.
James Loudon10) pasti akan menyatakan maklumat perang, cepat atau lambat. Darul Kamal11) terancam menggelegakkan darahku yang telah kotor dengan harta jarahan. Bahkan perompak, lanun, bajak laut yang dicari-cari oleh Navy inggris, tentara Spanyol, armada Belanda, pelaut-pelaut Viking dan begundal-begundal tenggik Portugis ini mendamba syahid. Aku yang telah meninggalkan syariat sekian lama merindukan tanah leluhur. Aku yang tak pernah lagi menyentuh daratan selama sepuluh tahun masih berkeinginan menjejak bumi. Mengharapkan cinta dari Sang Pengasih dan Sang Pengampun untuk menebus segala dosa-dosaku yang telah menggunung ini. Sang durjana kan pulang. Wahai negeriku sambutlah putramu yang durhaka untuk membelamu sampai titik darah penghabisan, ibu pertiwi.
Ditempat ini, dikapal ini tiada pula cintaku tersisa.
Tidak, cintaku akan selalu kubawa, kemana saja jiwaku berlayar
X
Batavia1) = Jakarta sekarang
Para Ulee Balang2) = Raja-raja kecil dilingkungan Kesultanan Aceh Darussalam, kelak ketika Belanda berkuasa kebanyakan dari mereka dan keturunannya diberi gelar Teuku dan Cut.
kharaj3)= Pajak Tanah
Po Teumeuruhom4) = Sebutan adat kepada Sultan Aceh Darussalam.
Sultan Mansur Syah5) = Sultan Aceh Darussalam (1857-1870), Ketika Belanda menyerbu Sultan yang berkuasa adalah Sultan Mahmud Syah yang kemudian wafat 19 Januari 1874, tiga belas hari setelah Masjid Raya Baiturrahman jatuh kedalam kekuasaan pasukan Belanda.
Tuanku Nanta Setia6) = Uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah Sagi XXV. adalah keturunan Sultan Aceh yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Kelak tewas dalam pertempuran menahan pendaratan pasukan Belanda di Kuala Alue pada pertempuran Kuala Gigieng tahun 9 Desember 1873. Ayah dari Cut Nyak Dien.
Sultanah Safiatuddin7)=RatuPerempuan pertama dari tiga Sultanah Aceh memerintah (1641-1675).
Ulee Lheu8) =Pelabuhan Kesultanan Aceh Darussalam.
Krueng Aceh9) = Sungai Aceh yang membelah Bandar Aceh Darussalam, ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam.
James Loudon10)=Gubernur Jenderal Hindia Belandake-54, memerintah 1872-1875. Loudon adalah putra seorang Inggris yang datang ke Hindia-Belanda semasa diperintah oleh Raffles.
Darul Kamal11) = Istana Kesultanan Aceh Darussalam, menjadi Rumah Residen Aceh, sekarang pendopo Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam
Ditulis mengenang Tanggal 6 Januari 1874, 135 Tahun lalu. Ketika Masjid Raya Baiturrahman direbut Belanda dari Pejuang Aceh.
X
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
wow risalah yang fenomental
aku rindu tulisan yang begini darimu sahabat hari ini aku terpuaskan
tidak terasa 20 menit aku terbius dan harus memelototi berulang serasa enggan beralih
salut untuk postingan anda yang benyak merefleksi saya
salam hormat salam kangen
kalau tak dicermati berulang orang akan menyangka ini tulisan dari jaman lampau semasa buya hamka.
Siapakah Aku…jadi penasaran dengan Tokoh Aku? indah sekali risalah ini
“Dari mulut kelasi yang kembali, aku tahu. Inggris keparat dan Belanda Penjilat telah membatalkan Traktat London berangka 1824. Negeriku dalam bahaya! Aku harus pulang kepertautan Samudera Hindia dan Selat Malaka. Aceh Darussalam terancam oleh invasi Kumpeni Belanda. Traktat Sumatera telah memberi celah Belanda menguasai Sumatera paling Utara. Apakabar Meureuhom Daya? Apakabar Pedir? Apakabar Tanah Gayo? Apakabar Pasai? Apakabar Tamiang? Apakabar Meurebo Jaya? Apakabar Teunom? Apakabar Meureudu? Apakabar Peureulak? Apakabar Manggeng? Apakabar Peusangan? Apakabar Singkel? Apakabar Samalanga? Apakah masih menjadi bagian Federasi Aceh Darussalam? Sudah lama aku pergi. Masihkan Sultan Mansur Syah5) berkuasa? Masihkan Tuanku Nanta Setia6) hidup? Hampir seluruh dunia kuarungi ternyata masih ada cintaku untuk Nusantara.”
Saya suka paragraf ini …sangat indah
wow…Tgk punya bakat yang luar biasa untuk jadi seorang penulis yang romantis dan novelis
Pingback: Tuliskan Saja
sungguh, sebuah risalah yang bener2 mencerahkan. ada backgrund historisnya dan juga sentuhan kemanusiaannya.
Jawab
@Mas Tok ==> Salam hangat dan terima kasih atas dukungan dari mas tok, membuat Abu “membara” untuk menulis… Hehehe…
@Mas Icanx ==> Abu memang pengagum berat Buya Hamla. “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk” pernah membuai Abu dalam indahnya lantunan sastra beliau…
@Rakan Baka ==> Aku adalah sang Durjana…
@Syedara Kelana ==> Amin… Mudah2an doa syedara diaminkan oleh malaikat dan dikabulkan oleh ALLAH… Ini doa kan?
@Pak Guru Sawaly ==> Saya banyak belajar dari anda koq… Sejarah itu seperti novelkan? Terus bercerita…
ceritanya mantap, kapten perompak alias kapten bajak laut. kaya Monkey D. Luffy
terpana bacanya..
Jawab
@ Kishandono ==> Cerita2 bajak laut memang selalu menginispirasi…
@lala ==> 🙂 Lebih terpana lagi klw mengalaminya… hihihihi…
Pingback: TERIMA KASIH PADA SASTRA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA PULUH | Tengkuputeh