RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA
Bandar Aceh Darussalam, Oktober 1872. Aku bermain-main dengan pikiranku. Inikah yang disebut rumah? Jika engkau sudah mengembara melintasi Malaka, Batavia, Jepun, Liverpool, Venezia bahkan Istanbul selama dua puluh tahun pelayaran. Disusun dari kayu rumbia beratap daun kelapa, masih sama seperti dahulu hanya semakin rapuh. Tidak ini bukan rumah! Ini dinamakan surga, yang menjadi mimpi jiwa yang dahaga untuk berpulang. Tempatku dilahirkan dan dibesarkan.
Daun pintu terbuka mengangga. Siapakah didalam, Masihkah ibu hidup? Aku masuk melintasi waktu seolah hanya pulang setelah bermain sebentar. Diatas anyaman nipah, sesosok tergolek dengan mata terbuka. Ibu? Ibuku masih hidup. Ia terbangun. “Siapa itu?” Matanya sudah biru, termakan oleh usia mencari-cari sumber suara. Beliau buta. Air mataku menetes, tak mampuku menahan isak dan pecahlah ia dalam rasa yang tak kutahu entah bahagia atau sedih.
“Ibu! Ibu!” rintihku pelan seraya menjatuhkan diri dikakinya.
Cinta kadang dalam bentuk kata, kadang pula tanpa kata. Tapi bagi setiap anak manusia, cinta ibu adalah yang paling berarti. Mata beliau kosong ketika menjambak keras rambutku, menampar-nampar pipiku keras dan semakin pelan. “Anak durhaka! Kemana saja kau selama ini?” Kemudian beliau mendekapku mesra, seperti bayi. Bayi yang baru dilahirkan dan dibuai dalam kasih sayangnya. Begitu tulus sehingga kutaktahu harus berkata apa lagi.
Bagi kami yang dilahirkan di tanah ini, ketika berhadapan dengan musuh diajarkan untuk menyingkirkan nurani. Kami adalah kaum yang tega meludahi, mencincang, bahkan mengencingi lawan sambil tertawa. Belanda menyebut kami sebagai bangsa perompak tua yang harus diberantas. Tapi dihadapan ibu kami tak lebih dari seorang kanak-kanak, berapapun usia kami. Putroe Phang1) menyadari hal ini, dua ratus tahun lalu mendesak suaminya Sultan Iskandar Muda2) menerbitkan Qanun3) yang berisi bahwa setiap anak laki-laki Aceh yang menikah diharuskan tinggal dirumah pihak perempuan, atau membuat rumah sendiri. Sebagai Permaisuri beliau pun risih jika harus tinggal serumah dengan mertua, dengan suami yang manja, sangat manja dengan ibu mereka.
Aku tidur dipangkuan ibu, kapten perompak yang pernah menahkodai bintang hitam. Disegani Navy Inggris, ditakuti skuadron Portugis, diburu armada Perancis dan mimpi buruk Flying Duchman4) takluk tanpa syarat. Dan ketika beliau bercerita aku pun hanya bisa terdiam, atas usahanya bertahan hidup untuk menjaga warisan untukku, agar tak dibagi oleh Karong5). Padahal hanya sepetak tanah ditepi krueng Aceh6). Apalah artinya dibanding pundi emas jarahan yang kubawa. Sifatku ingin membantah, tapi mulutku terkunci diam tanpa kata.
Ibu semakin menua, lebih tua dariku yang sudah tua. Beliau tak pernah kemana-mana. Beliau yang percaya bahwa Aceh Darussalam masih perkasa. Membenci kaphe7) sangat disatu sisi, namun disisi lain meyakini tanah Gayo 8) adalah khayangan. Lucu penuh pertentangan. Tapi beliau adalah ibuku, seseorang yang paling kucintai dalam hidupku. Tiba-tibaku sadar kepulanganku ini bukanlah semuluk yang kusangka, bukan menyelamatkan Aceh Darussalam yang mewakili kedaulatan Nusantara terakhir dari masa-masa gelap sejarah. Bukan melindungi ibu pertiwi dari penjajahan. Hanya pulang dan mendapati ibuku masih hidup, ya sesederhana itu. Tak lebih, dan hari ini kenyataan melebihi anggapanku. Ternyata dunia tak seburuk dugaanku.
“Sudah akan azan jumat, pergilah ke Masjid Baiturrahman9)!” Perintah ibu seraya membelai kepalaku. Keningku berkerut, sudah berapa lama aku tidak shalat dan aku sudah ragu bagaimana caranya. “Ayo cepat!” Perintah ibu lagi. “Jumat depan.” Jawabku ragu. Kembali memukul kepalaku, “Berapa lama kamu pergi? Kamu sudah menjadi.” Suara beliau hilang sesaat dan menyambungnya dengan, “Durjana!” Aku tersenyum, ya itulah julukanku. Sang Durjana, tapi biarlah ibu tak pernah tahu apa yang kulakukan sampai dengan kemarin. Aku memejamkan mata, tertidur dan tak tahu apa-apa lagi. Rasa damai ini sungguh menyejukkan.
XXX
1. Tengku Kamaliah, seorang Putri dari Kesultanan Pahang. Putri ini dikenal dengan nama Putroe Phang. Istri Sultan Iskandar Muda. Konon, karena terlalu cintanya sang Sultan dengan istrinya, Sultan memerintahkan pembangunan Gunongan di tengah Medan Khayali (Taman Istana) sebagai tanda cinta. Kabarnya, sang puteri selalu sedih karena memendam rindu yang amat sangat terhadap kampung halamannya yang berbukit-bukit. Oleh karena itu Sultan membangun Gunongan untuk mengobati rindu sang puteri. Hingga saat ini Gunongan masih dapat disaksikan dan dikunjungi.
2. Sultan Iskandar Muda (Aceh, 1593 atau 1590 – 27 Desember 1636) merupakan sultan yang paling besar dalam masa Kesultanan Aceh, yang berkuasa dari tahun 1607 sampai 1636. Aceh mencapai kejayaannya pada masa kepemimpinan Iskandar Muda, dimana daerah kekuasaannya yang semakin besar dan reputasi internasional sebagai pusat dari perdagangan dan pembelajaran tentang Islam.
3. Qanun = Perangkat Undang-undang.
4. Flying Duchman = Julukan pelaut Belanda.
5. Karong = Sistem perwalian secara adat di Aceh.
6. Krueng Aceh = Sungai Aceh yang membelah ibu kota Bandar Aceh Darussalam.
7. Kaphe = Julukan kaum putih, penjajah yang umumnya beragama Nasrani. Berasal dari kata Arab kafir.
8. Tanah Gayo = Tanah dataran tinggi pegunungan ditengah Aceh, didalam sistem administrasi Republik Indonesia sekarang pada Provinsi Aceh meliputi Kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah dan Gayo Lues.
9. Masjid Raya Baiturrahman adalah sebuah masjid yang berada di pusat Kota Bandar Aceh Darussalam. Sewaktu Belanda menyerang pada tahun 1873, masjid ini dibakar, kemudian pada tahun 1875 Belanda membangun kembali sebuah masjid sebagai penggantinya. Mesjid ini berkubah tunggal dan dapat diselesaikan pada tanggal 27 Desember 1883. Selanjutnya Mesjid ini diperluas menjadi 3 kubah pada tahun 1935. Terakhir diperluas lagi menjadi 5 kubah (1959-1968). Masjid ini merupakan salah satu masjid yang terindah di Indonesia yang memiliki bentuk yang manis, ukiran yang menarik, halaman yang luas.
XXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
cerita dahsyat. Mo dibikin novel ya bro?
hihihihihihihi… hanya menulis bro, mengalir saja… Tak tahu kemana…
ibarat sinetron, dari scane ke scane, dari serial ke serial, adegan2nya makin seru dan menegangkan, mas tengku. saya terus penasaran bagaimana ending dari sang durjana ini.
Hihihihihi, terima kasih atas apresiasinya Mas Sawali…
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA PULUH | Tengkuputeh