
Sepasukan patroli tentara Belanda dengan bantuan Panglima Laot yang menunjukkan jalan telah berhasil menangkap Cut Nyak Din. Foto bertahun 1905 itu tersimpan di KITLV, Leiden, Belanda. Foto itu diambil oleh komandan marsose, atau pasukan khusus Belanda, Letnan van Vuren.
RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN
“..Aceh hari ini, Tuanku, sudah terlalu beda rupanya sejak Tuanku meninggalkannya menghadap Rabbul Alamin. Andaikata Tuanku dapat bangkit kembali dan datang kemari, sungguh Tuanku tidak (akan) mengenalnya lagi. Kami, hari ini bukan lagi penguasa yang disebut-sebut dengan penuh penghormatan dan I’tiraf bil jamil (pengakuan atas keindahan budi). Kemi telah jatuh. Berkali jatuh, dan kini berada di dasar jurang yang dalam.
Terakhir kami bangkit untuk berdiri tegak namun kemudian kami jatuh pula lagi, dan kini tidak ada apa-apa lagi yang dapat kami banggakan dari kami. Kami telah mengubah negeri yang Tuanku pegang perintahnya di bawah petunjuk Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Kami telah melupakan Tuanku. Kami juga tidak mencari jejak-jejak yang Tuanku dan para pendahulu Tuanku tinggalkan. Bagi kami itu sudah tidak penting lagi. Itu sekedar masa lalu…”
Petikan surat dari Sultan Mansyur Syah kepada Khalifah di Instanbul, Sultan Abdul Majid Khan berisikan Permohonan Bantuan Kesultanan Aceh kepada Khalifah Turki Ustmani untuk menyerang pusat pemerintahan Hindia Belanda Batavia di tahun 1848 Masehi. Naskah surat dipublikasi dalam tulisan: “Islam, Trade and Politics Across The Indian Ocean”.
XXX
Rimba antara Sungai Woyla dan Sungai Meulaboh, Agustus 1905.
Setiap teguk air, setiap gigitan makanan mestinya memperpanjang kehidupan namun ia pula membawa racun ke dalam tubuh, sama selayaknya setiap helaan nafas pada satu sisi menambah durasi hidup sekaligus mengurangi jatah usia. Ibarat rasa sakit yang teramat awalnya, pada akhirnya menyatu ke dalam raga sehingga semakin lama menjadi hal biasa, lupa bahwa rasa sakit itu adalah anasir asing yang masuk ke dalam badan.
Terperanjatlah aku melihat segala perubahan yang terjadi kepadanya. Seorang tua yang kurus kering, keriput kulit di seluruh tubuhnya, buta dan tak berdaya. Benarkah di depan aku ini adalah puteri Tuanku Nanta Setia, isteri dari Ibrahim Lamga, sesudah itu isteri Teuku Umar yang termasyur akan kecantikannya? Apakah orang tua bungkuk itu adalah sungguh-sungguh pahlawan betina Aceh yang diakui dahulu adalah sekuntum bunga yang molek di dunia wanita Aceh.
Enam tahun lamanya setelah Teuku Umar gugur dia melakukan gerilya melawan tentara Belanda, dari persembunyiannya jauh di dalam rimba wolya memimpin perang sabil mengusir kumpeni dari tanah Aceh. Segala daya dan upaya telah dilakukannya untuk menyusun peperangan besar-besaran di seluruh Aceh. Ia mengirimkan utusan ke segala tempat, buat mengumpulkan sekalian rekan yang pantang tunduk dan menambahkan kawan-kawan berjuang buat melawan Belanda. Sampai ke tanah Minangkabau ia mengirimkan orang buat meminta bantuan di padang sabilullah! Segala barang-barang berharga yang masih ada padanya dikeluarkannya untuk mengisi kas peperangan dan menyusun barisan-barisan pengempur. Segala emas dan intan pusaka yang masih ada dikorbankannya. Pastinya kehidupan Din sangat sengsara. Padanya tiada lagi apa-apa selain tekad berpantang tunduk, tidak ada sesuatu lagi yang menjadi miliknya.
“Saleum teuka Durjana! Senang bertemu kawan lama.” Bola hitam di matanya telah berubah manjadi abu-abu, penyakit ayahnya telah turun pula kepadanya, dia telah buta. Dalam kehidupan yang serba sengsara, kesehatan tubuhnya telah menurun, penyakit encok telah melemahkan tubuhnya.
Aku menangis.
Dia tertawa, “cengeng seperti perempuan. Aku dengar-dengar kau sudah menyerah bersama Polim menyusul Sultan sebagaimana para pemimpin dari daerah timur karena tak kuat lagi dikejar-kejar dan di kepung oleh pasukan Van Heutsz.” Dialah Din, sifatnya tidak perlu dijelaskan dengan narasi panjang, cukup hanya menyebut namanya saja Cut Nyak Din itu sudah menjelaskan segalanya.
“Din! Lihatlah beta ini! Apa lagi yang beta miliki di dunia yang fana ini? Semua telah dirampas oleh Belanda. Satu-satunya keinginanku saat ini hanyalah syahid.”
Din tertawa, “aku sudah buta jadi aku tidak akan bisa memandang wajahmu. Suaramu masih sama dengan dahulu, banyak kawan kita yang telah syahid pada akhirnya tinggal kita yang masih hidup. Andai kau piawai memimpin pasukan, maka akan kuserahkan pimpinan perang padamu. Dan lagi percaya penuh kepada manusia aku belum dapat! Aku hanya percaya penuh kepada Allah Subhana Wataala!”
Sedikitpun tidak ada tersinggung mendengarkan kata Din yang terakhir tadi. Aku cukup tahu diri bahwa dalam hal kepemimpinan Din adalah Jenderal terbaik yang dimiliki Aceh semasa perang dengan Belanda melebihi Panglima Polem, bahkan suaminya Teuku Umar sekalipun. Aku bergurau, berharap dia tertawa. “Sudah tentu aku tidak punya niatan menjadi saingan Allah Subhana Wataala.”
Tetapi persangkaan itu ternyata salah. Din tenang saja, “Kata-kata itu tidak pernah keluar dari seorang ulama, melainkan seorang satria. Aku harap kau bisa dipercaya, sekarang sangat sedikit orang yang mau berjuang.”
Di dalam rimba ini aku perhatikan hanya diperbuat beberapa buah dangau-dangau yang sederhana, hanya menahan hujan dan panas matahari saja. Pasukan Aceh yang menyertai Cut Nyak Din, pakaian mereka sudah sangat buruk, persenjataannya pun amat sederhana.
“Ketika aku kecil, ayah bercerita kita (Aceh) meminta bantuan Turki menyerang Batavia (1848 M), waktu itu aku merasa Aceh telah sebegitu lemahnya sampai harus minta bantuan. Tak pernah di sangka di kemudian hari Ketika aku muda belia perang belum terjadi kita mengirim lagi surat ke Turki (1873M) untuk memohon bantuan mempertahankan kemerdekaan, lagi-lagi aku merasa kita telah sangat lemah waktu itu. Turki pada akhirnya tidak menolong, malah kita membeli senjata dari musuh lama kita Portugis. Hari ini (1905) bisa kau lihat betapa lemahnya kita? Jikalah kafir itu berkuasa lama, dan aku telah mati nanti bisa kau bayangkan betapa lemah orang Aceh di masa depan? Seratus atau dua ratus tahun lagi masihkah ada orang mengaku orang Aceh?”
Di bawah pukulan palu godam Van Heutsz yang bertubi-tubi, Aceh tak dapat bergerak lagi, lemas, remuk tapi perempuan ini dalam hal mempertahankan pendirian tak kalah bahkan lebih unggul dari kaum laki-laki.
“Apa yang bisa beta bantu?”
“Di Tungkop, di daerah Woyla Hulu yang merupakan bagian federasi Kawai XVI, terletak di pusat pegunungan ada seorang perempuan yang namanya masyur di kalangan rakyat menjadi lawan bagi Belanda, namanya Pocut Baren. Kau jumpai dia antarkan sebuah surat kepadanya.”
Seorang perempuan muda keluar dari balik pohon, ia berseluar dan berbaju hitam. Ia menampakkan wajah gagah berani menatapku tajam seraya menyerahkan surat kepadaku.
“Gambang, andaikata terjadi apa-apa padaku paman ini adalah seseorang yang dapat kau percayai, ingatlah wajahnya. Dia adalah sahabat ayahmu, juga kawan baik dari kakekmu.” Perempuan itu ternyata Cut Gambang, puteri dari Teuku Umar, sikapnya yang gagah berani menjelaskan darah keturunannya.

Pocut Baren seorang Uleebalang (Raja Kecil) Tungkop. Merupakan bagian dari federasi Kawai XVI terletak di pedalaman Woyla hulu. Memimpin perjuangan melawan pemerintah Kolonial Belanda periode 1903-1910.
Sumber : Aceh; H.C Zentgraff; Penerbit Beuna Jakarta; Cetakan ke-1; 1983.
Baca: Mengenal Pocut Baren
Telah muncul seorang pejuang perempuan lagi yaitu Pocut Baren, aku merasa Belanda telah di depan gerbang kemenangan pada perang panjang yang melelahkan ini. Ketika para lelaki telah meletakkan senjata dan perempuan yang memimpin perjuangan padahal mereka kaum perempuan adalah yang paling banyak menanggung penderitaan akibat perang ini.
Itulah para perempuan Aceh sejati! Ia menuju ke ranjang pengantin dengan api berahi yang panas melebihi bangsa-bangsa lain, dan dengan nafsu yang sedemikian hebat pula ia menuju medan perang. Ia tak gentar mengikuti suami dan pasukannya dalam pertempuran dan perjalanan mengarungi rimba raya dengan segala kekurangan dan bahaya intaian pasukan marsose Belanda. Ia menerima kandungannya dalam peperangan dan di situ melahirkannya, semua itu penuh ketengangan. Mereka berjuang bersama suaminya, di tangannya senjata mungil berupa kelewang atau rencong menjadi sangat dahsyat. Perempuan Aceh berjuang atas dasar “Sabilullah” menampik segala kompromi. Ia tidak akan mengkhianati wataknya sebagai wanita dan hanya mengenal alternatif membunuh atau dibunuh!
Baca juga : PEREMPUAN ACEH FULL POWER
Ada perasaan tidak enak ketika harus meninggalkan tempat ini. Cut Nyak Din sudah sangat tua, buta dan timpang pula, hampir-hampir tak dapat melangkah. Kehidupannya sangat sengsara, tapi tidak ada sama sekali keinginan untuk tunduk.
XXX
Rimba antara Sungai Woyla dan Sungai Meulaboh, 6 November 1905.
Sepasukan patroli tentara Belanda dengan bantuan Panglima Laot yang menunjukkan jalan telah berhasil menangkap Cut Nyak Din. Khawatir dengan pengaruh Cut Nyak Din kepada masyarakat Aceh, Belanda memutuskan untuk membuang ke Pulau Jawa. Hukuman buang itu berarti menceraikan orang dari tanah airnya, bagi orang Aceh adalah sebuah hukuman yang seberat-beratnya.
XXX
Wahai orang-orang Aceh! Seandainya kita dapat sejenak memindahkan sukma kita ke dalam kalbu perempuan itu (Cut Nyak Din), di tempat pembuangannya di Sumedang. Betapapun indah tanah priangan yang permai dengan segala keindahannya, sungguhpun serupa. Tapi tanah yang dipijak bukanlah tanah Aceh! Bukan pegunungan Aceh! Udara sejuk yang dihirup sehari-hari bukan pula udara Aceh!

Nisan Cut Nyak Dien. “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak boleh menumpahkan air mata pada orang yang sudah syahid.
Betapa sakit membayangkan sawah-sawah Lampadang, jalan setapak Lampisang yang bertaut di hatinya tapi tak didekatnya. Jauh melintasi puncak-puncak gunung sampai ke tepi langit. Bayangkan ketika kita menghidu sukmanya. Rumah dan halamannya telah hancur, Ibrahim Lamnga yang gugur di glee tarom, makam Teuku Umar di rimba raya. Tak ada harapan untuk berziarah kesana. Ia telah kehilangan segala-galanya yang dicintainya. Ia seorang pejuang yang tak pernah menyerah sampai detak jantungnya yang terakhir. Hanya ada satu orang yang mampu menahan derita seperti itu, dialah Cut Nyak Din. Karena itulah kita menghormatinya, kita mengenangnya.
|Bersambung|
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN;
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh