RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS
“… kita hanya seorang miskin dan muda, dan kita sebagaimana juga Gubernemen Hindia Belanda, berada di bawah perlindungan Tuhan Yang Maha Kuasa…”
Surat penolakan pernyataan perang dari Sultan Alaidin Mahmud Syah bertanggal 1 April 1873. Sejak ia dimahkotai tahun 1870 hubungan Aceh Darussalam dengan Belanda semakin tegang, Belanda secara massive mengadakan tekanan agar Aceh tunduk. Kapal-kapal Belanda meneror perairan Selat Malaka, menaklukkan Riau dan mengancam langsung. Akan tetapi, Aceh membalas melakukan perampokan terhadap kapal dagang Belanda yang lalu lalang. Suasana kian meruncing sehingga Komisaris Pemerintah Belanda, Niewenhuijzen yang berlindung di atas kapal Citadel van Antwerpen pada tanggal 26 Maret 1873 memaklumatkan perang kepada Kesultanan Aceh Darussalam, surat yang dibuka;
“Dengan ini, atas dasar wewenang dan kekuasaan yang diberikan kepadanya oleh Pemerintah Hindia Belanda, ia atas nama pemerintah, menyatakan perang kepada Sultan Aceh…”
X
Bandar Aceh Darussalam, circa 1873
“Jangan ada suara ketika aku sedang berbicara, karena aku akan menguncang cakradonya!”
“Belanda kaphe biadab telah menyatakan perang kepada kita! Bangsa kudisan tak tahu diri itu menyatakan akan membawa peradaban dengan mengalahkan kita. Betapa sombongnya! Ketahuilah kaum muslimin sekalian, mereka datang untuk merampas hak-hak kita sebagai bangsa merdeka!”
“Mereka datang untuk membawa ajaran dan perilaku mereka!”
“Mereka datang untuk mengkristenkan kita. Menjadikan anak-anak kita kufur. Mereka datang untuk menjadikan anak-anak kita durhaka, menjadi anak-anak haram di Nusantara. Memasukkan kita seperti mereka, najis!”
“Apakah kalian bisa menerima? Aku ulangi, apakah kalian bisa menerima mereka membawa agama mereka dalam kehidupan kita?”
“Tidak” Teriak semua yang hadir.
“Kalau begitu angkat senjata kalian menghadapi mereka! Usir kaphe-kaphe yang ingin menginjak tanah leluhur kita! Hidup mulia atau mati syahid, Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar!” Seru yang hadir.
Orang tersebut tak pelak dikemudian hari, adalah orang yang paling dicari, dibenci oleh Belanda. Imuem Lueng Bata. Ia telah memimpin ikrar sumpah yang diserukan bersama secara mengguntur, sebuah pernyataan Wajib Sabil pada jalan Allah untuk mengusir kafir Belanda.
XX
“Tidakkah tuanku berkata terlalu keras?”
“Lalu?” Tanya Imuem Lueng Bata, memberi isyarat kepadaku untuk mendekat.
“Tuanku mengatakan bahwa Kaphe Belanda menyerang kita murni semata-mata karena semangat keagamaan, menurutku bisa jadi ini hanya didasarkan keserakahan semata, bisa jadi mereka yang akan menyerbu tidak bertuhan.”
Imuem Lueng Bata tersenyum, “kamu terlalu naif Ahmad. Tidak ada orang tak bertuhan, semua pasti memiliki tuhan. Entah,itu berwujud agama, materi atau bahkan diri mereka sendiri!”
“Aku dengar, tidak semua orang Kristen itu buruk.”
“Iya, mungkin. Tapi agama apa yang dibawa seluruh penjajah di Nusantara ini selain itu?”
Aku terdiam, di dunia terlalu banyak orang yang lebih cerdas dariku, termasuk Imuem Lueng Bata. Aku tidak bisa membahasakan dengan baik ketidaksetujuanku, ya akhirnya aku diam.
“Apakah kamu ragu mengangkat senjata Ahmad?” Tanya Imuem penuh selidik.
“Tidak tuanku. Namun jika aku harus mengangkat senjata melawan Belanda, aku hanya ingin dasarnya adalah cinta bukan kebencian.”
Imuem Lueng Bata menepuk pundakku. “Jadikan cinta agama sebagai dasar perjuanganmu.” Ia tersenyum.
Andai, orang ini adalah orang yang bisa disuap, atau memperturutkan syahwat seperti para pejabat Kesultanan lain, tentu aku akan membantah. Tapi beliau begitu lurus, begitu alim. Bahkan Belanda pernah mencoba menyogok ia, hasilnya tidak berhasil.
“Durjana Pulanglah! Asahlah kelewangmu! Kemulian atau syurga menanti kita.”
Imuem Lueng Bata menyeringai kecil, ia membasuk rencongnya dengan baju. Matahari terasa hangat dikepala dan bahunya. Dia begitu bergembira menyadari kemenangan ada di pihaknya kelak. Dia menyamankan diri dengan menghirup udara dalam-dalam.
Sedang aku tidak yakin dengan kemenangan akan perang yang didepan mata. Pemerintah Kolonial Hindia Belanda begitu kuat, kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam sebegitu terbatas. Sebagaimana disebut Sultan Alaidin Mahmud Syah, “kita hanya orang miskin.” Sebagai manusia, aku takut akan kekalahan, aku takut menyongsong kematian. Aku disebut kaumku durjana, hanyalah hamba yang lemah.
Aku pulang seraya menyeret baris-baris kalimat bersyair.
aku tak mampu rehat dari pertempuran
haruskah aku mereguk hidup hingga tandas
sampai ampas, bersama waktu yang berjalan
senikmat-nikmatnya perang, hanya akan melukai
lebih baik aku bersama yang ku cinta
atau saat aku menemani diri sendiri
di landai pantai, butir-butir timah berhamburan
menyalakan samar hampar lautan, aku menjelma menjadi sebaris nama
kecil, tak berarti, titik disemesta
XXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh