RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS
… seluruh suku Aceh menunggu kedatangan kita dengan kebencian dan permusuhan sengit. Hanya beberapa penghuni pantai, terutama para kepala Meuraksa, yang mengerti bahwa merekalah yang dalam tiap serangan harus menerima pukulan-pukulan yang pertama. Mereka mengerti juga bahwa menurut kebiasaan di Aceh mereka selalu baru akan diberi bantuan dari luar daerahnya bila sudah terlambat. Kepala-kepala ini cenderung takluk, asal mereka dapat betul-betul memperoleh bantuan menghadapi pembalasan-pembalasan yang pasti dapat diduga. (Nasihat-Nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya Kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936)
Ia tumbuh layaknya bangsawan muda pada zaman itu. Pada usia tiga belas, untuk pertama kalinya ia turut berburu rusa sebagai penunggang kuda. Ayahnya, memberikan seekor kuda yang jinak, selalu di dekatnya. Segera menjadi nyata bahwa T. Nek tidak banyak memerlukan pengawasan, dan dalam waktu setahun ia menonjol di antara anak-anak sebayanya karena sifatnya yang nekat dan sanggup cepat mengambil keputusan dalam hal-hal kejantanan.
Ia adalah seorang uleebalang di wilayah Meuraksa yang penguasai pantai Ceureuman, Ulee Lheu. Namun, belakangan ini ia merasa sakit hati, ketika Sultan memberikan wilayah kehulubalangan kepada Tuanku Nanta di Lampadang atas jasanya terhadap jasanya terdahulu kepada Sultan. Padahal awalnya, wilayah tersebut adalah miliknya. Akibatnya, wilayahnya semakin mengecil dan hanya kebagian wilayah di Ulee Lheue, Pekan Bada, Blang Oi dan sekitarnya. Ia merasa marah.
Layaknya cinta yang merupakan energi dasar. Tunggal. Kebencian pun berasal dari energi yang sama, hanya ia mengalami proses saturisasi, dan semua pemilihan katagori cinta sesungguhnya adalah satu zat sama dengan kadar polusi berbeda-beda. Dan pemerintah Kolonial Belanda mengatahui itu.
Perairan Selat Malaka. Circa, 1872
Setelah dua setengah hari, mereka menatap perairan Malaka, lempengan hijau air yang lebih luas dari Krueng Aceh. Di tepi baratnya berdiri Kesultanan Deli, yang belum pernah dikunjungi T. Nek, ia menganguk-anguk di air di atas kapal nelayan panjang bertiang tunggal.
Kapal Belanda merapat, kapal hitam. Ia tidak pernah melihatnya, bahkan jika ia mengenali mimpi-mimpi terdalamnya, di satu sisi perasaan tidak mampu menolak takdir membebaninya, haruskah? Ketika ia menatap kapal tersebut. Kapten Roura melambai, mereka sudah sangat dekat.
Ini memang sudah seharusnya terjadi, pikirnya.
“Lihatlah T. Nek,” Kapten Roura berkata, “Tanganmu disini, nasib semua orang Aceh ditentukan.”
Sesaat jantung T. Nek berhenti, kemudian ia mendengarkan kembali suara Kapten Roura. “Aku menyaksikan, T. Nek betapa besar kekuatan orang Eropa, segelintir orang Belanda dengan beberapa ribu serdadu, dan apa yang mereka kehendaki terwujudlah. Aku sudah berkeliling Jawa dan orang Belanda menguasai semua, mereka memerintah. Ada raja berkuasa di Jawa tetapi kekuasaan sebenarnya berada di tangan Tuan Besar di Bogor dan kalau para raja itu tidak patuh, mereka tahu harus menyingkir untuk yang lain, yang mau patuh. Karena akhirnya akan ada serdadu kompeni. Mereka selalu ada. Mereka yang lama tidak melihat serdadu kompeni kadang-kadang mengira serdadu itu tidak ada lagi. Tapi kalau diperlukan mereka selalu ada.”
T.Nek diam, hujan turun. Sewaktu-waktu hembusan angin menerpa lambung kapal dan kemudian nyala lampu pelita bergetaran.
“Sekarang dengarkan baik-baik,” Kapten Roura melanjutkan. “Aku berbicara tentang para raja, tentang kaum bangsawan di negerimu. Mereka itu tidak punya otak untuk digunakan, mereka pikir mampu menghadang ini semua.”
“Ketahuilah bahwa Pemerintah Hindia Belanda pasti akan memenangkan perang di depan mata, terserah kalian mau berperang atau tidak. Kami pasti menang! Kami hanya mencari sekutu untuk kelak membimbing kami untuk membangun negeri kalian. Untuk itu kami memilih kau, T. Nek. Pertanyaannya adalah, apakah kau bersedia?”
T.Nek mendengarkan, kepalanya tertunduk. Untuk apa utusan Pemerintah Hindia Belanda menemuinya? Apa yang inginkan? Haruskah ia memimpin pasukan Hindia Belanda memerangi bangsanya sendiri.
“Bayangkan jika kau bekerja sama, pemerintah Hindia Belanda sangat senang. Mereka akan mengadiahimu berbagai hadiah, anak keturunanmu akan mendapatkan kemuliaan yang tidak didapatkan oleh orang-orang Aceh lain. Kami menjanjikan kepada kau, T. Nek, akan memperoleh kembali daerah VI Mukim yang direbut oleh T. Nanta.”
“Permintaan kami tidak banyak, sangat mudah yaitu apakah kau dan pasukanmu akan membantu kami dalam pendaratan ke Aceh, di wilayahmu Ulee Lheu?’ Tanya Kapten Roura.
Jika ia melawan maka, daerahnyalah yang pertama mendapat hantaman gelombang serangan Belanda, sedang bantuan dari kenegerian lain pasti datang terlambat. Jantung T. Nek berdebar liar, pelan-pelan ia menarik tangan. Kapten Roura menangkap tangan itu dan berkata, “tanganmu gemetar? Tidak, tanganmu tidak gemetar. Itu tidak boleh. Tangan ini harus mantap.”
“Bayangkan kemasyuran yang akan engkau raih, keturunanmu akan memerintah negeri-negeri kecil di Aceh, tentu dengan bantuan pemerintah Hindia Belanda, dengan pengaruh, kekuasaan dan harta yang tak akan habis berabad-abad. Sahabatku, sahabat Pemerintah Hindia Belanda. Karena kaulah Aceh dan Belanda menjadi satu ikatan yang kuat, memberangus raja-raja lalim di Aceh dan mengusahakan kita menjadi tuan di negeri sendiri.”
“Bagaimana dengan pembalasan dendam dari mereka yang fanatik?” Terutama kepada anak keturunanku?” tanya T. Nek.
“Oh tentu, kaummu akan mendapatkan bantuan dalam menghadapi pembalasan-pembalasan yang pasti dapat diduga. Kelak, dalam pemerintahan baru mereka semua melupakan apa yang telah kau lakukan, tapi Pemerintah Hindia Belanda tidak akan pernah lupa jasamu, karena kami mencatatnya.” Kapten Roura tersenyum.
Tanpa sengaja T. Nek mengangkat mukanya, dan tanpa sengaja Kapten Roura memandang matanya, tulus. Sesaat mulutnya berkedut oleh senyum sekilas. Matanya tidak tersenyum, namun Kapten Roura sangat puas.
Perjanjian telah terjadi. T. Nek tersenyum, waktu cepat sekali. Ia telah tiba persis di kapal nelayan yang akan membawanya pulang, ia memegang surat penjanjian dari Kapten Roura, ia membaca beberapa kali. Kapal Belanda telah menjauh, Ia menunggu sampai matahari pertama muncul di langit, kemudia membangunkan nahkoda dan memberitahukan mereka akan pulang.
“Perdagangan yang bagus tuanku? Tanya seorang.
“Buruk Ahmad, Belanda menolak membeli lada dengan harga yang kita tentukan. Memang mereka bangsa yang pelit dan licik. Seharusnya aku mendengarkan saranmu untuk tidak berhubungan dengan mereka. Ingatkan aku ketika berniat akan kembali berdagang dengan mereka.” Jawab T. Nek lugas, kemudian kapal mereka menuju Barat kembali ke Bandar Aceh Darussalam, ia tidak memberi tahu siapa-siapa tentang rencana yang ia susun bersama Kapten Roura.
X
Ekspedisi Belanda pertama tahun 1873 gagal total, kemudian baru berhasil pada percobaan kedua tahun 1874. Ketika Belanda berkuasa dengan segera T. Nek dikecewakan oleh muluknya janji Pemerintah Hindia Belanda. Namun ia percaya bahwa kekuasaan Belanda akan selalu membantunya. Lalu ia menghisap dan memeras anak buahnya, lebih dari uleebalang manapun, didukung Kompeuni yang kuat didaerahnya dan ditakuti oleh penduduk.
XX
tiba waktu topeng terbuka
wajah penuh tipu daya
Menabur janji sia-sia
pengkhianat bersorban raja
meski zaman berganti
darah merajalela
dan semua kemuliaan
jangan kau tuding telunjukmu
seakan tak cela
tanyakan pada nurani
XXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Bereeh
Berethussss
Di tunggu ekspedisi berikutnya
Sejak 2009 sampai sekarang hanya siap 20 episode, sedang diusahakan. Mohon doanya. 😀
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh