RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA PULUH
Kisah Risalah Sang Durjana dibuat untuk mengenang mereka yang telah gugur dalam peperangan panjang melawan Belanda. Pusara-pusara mereka yang bertebaran di seluruh kenegerian, di hutan-hutan, di lembah-lembah sunyi, tiada seorang pun yang tahu di mana semua itu berada.
XXX
Gunung Geureudong, hutan Timang Gajah, 1 Januari 1903.
Rintik-rintik turun selepas hujan besar, titik-titik air di seluruh penjuru jatuh perlahan tak beraturan. Udara malam yang dingin melingkupi gunung, di sambung lagi gunung lain di sebelah barat. Di bawah sana, tampak dunia damai, lembah hijau dengan beberapa pondok yang dibangun dari kayu.
Di pondok utama, kami berlima duduk membahas surat yang kami terima.
Koetaradja, 27 Desember 1902
Tuan mesti menyerah segera! Bila mana tidak maka kedua istri Tuan akan kami kirimkan ke Amboina atau Banda, sedangkan Ibrahim yang masih belia akan kami kirimkan ke Batavia. Di sana dia akan dididik dengan tata cara dan kepatutan bangsa Eropa.
Saya tahu, Tuan berat menyerah, setelah tahun-tahun peperangan yang panjang. Tapi patut Tuan ketahui bahwa jika tidak segera menyatakan tunduk, maka suatu saat Ibrahim dewasa dan menyadari kebodohan dari ayahnya. Bukan tak mungkin suatu hari nanti sepuluh atau dua puluh tahun lagi dia akan mengangkat senjata bersama Government memerangi Tuan.
Demi Ibrahim, si “bijeh mata1)” menyerahlah Tuan!
Gubernur Sipil dan Militer Aceh. Joannes Benedictus van Heutsz
“Sepanjang sejarah lima ratus tahun Kesultanan Aceh berdiri belum pernah ada Sultan Aceh yang menyerah pada musuh, apalagi pada kaphe2)! Sungguh lancang mereka mengirimkan surat ini. Kita bunuh saja utusan ini, izinkan beta menyembelih babi bergelambir yang makan gaji Kaphe ini.” Ahmad dengan pandangan merendahkan kepada pembawa surat Belanda, Waki Wahab yang meringkuk ketakutan.
“Tentu tidak.” Jawabku pendek membela. “Kita orang Aceh tidak membunuh utusan, saran macam apa itu!” Sambungku.
Ahmad membantah, “Tuan! Keberadaan kita di gunung Geureudong ini sangat rahasia. Seharusnya musuh berpikir markas kita ada di Cot Girek. Mereka sudah tahu kita disini, baiknya segera kita bunuh babi ini, kemudian kita pindah ke tempat lain!”
Ada rasa dongkol di hatiku, atau merasa digurui. Berani sekali Ahmad berkata dengan nada keras kepada aku, Sultan Aceh yang masih memerintah. Namun dalam pikiranku tergambar senyum Ibrahim, bagaimana nasibnya ketika dalam tawanan Belanda?
Suasana memanas, dua orang pengawalku yang setia Pang Itam dan Pang Brahim terlihat tidak senang dengan kelakuan sang durjana. Aku melihat Polem, berharap dia memberikan saran, tapi dia hanya diam tanpa bahasa. Andai saat ini paman Hasyim Banta Muda masih hidup, mungkin aku tidak akan serapuh ini.
“Kita telah berperang bertahun-tahun, telah banyak syuhada3) telah berkalang tanah. Untuk apa kita melakukan ini semua? Untuk apa kita merasakan luka akibat perang nan lama dan mematikan ini? Demi anak-anak kita, cucu dan cicit kita supaya mereka tidak menanggung luka yang kita rasakan! Ketika Ibrahim ditangkap aku sudah kehilangan tujuan ini. Aku seorang ayah!” Kataku lantang.
Sepi. Yang terdengar adalah semilir angin pengunungan. Merasa senyap, aku melirik Polem dengan ujung mata. Matanya kosong menatap rintik-rintik hujan, mungkin dia merasakan hal yang sama denganku.
Sang Durjana menatapku dengan penuh kekecewaan.
“Tuan mesti sadar! Di Aceh selalu memiliki Sultan. Seorang Sultan sebagaimana dijelaskan di kitab Bustanussalatin4) disebutkan bahwa seorang raja Aceh harus…” Dia kehilangan kata-kata.
“Apakah semua Sultan Aceh menerapkan kitab itu Ahmad? Aku hanya seorang manusia, seorang suami dan juga seorang ayah yang mengkhawatirkan anaknya.” Pang Itam dan Pang Brahim memberi kode kepadaku, apakah si Durjana ini sebaiknya dihantam saja. Aku memberi isyarat tangan, tidak.
Durjana tiba-tiba berdiri, kedua pengawal telah siaga. Tapi kemudian dia bersujud di kakiku. “Tuan, sepanjang hidup beta tidak pernah bersujud selain kepada Allah. Tapi hari ini hamba mohon, jangan lakukan itu! Tuan harus membayangkan betapa kacaunya orang-orang Aceh kalau tidak mempunyai raja, musibah terbesar bagi masyarakat adalah ketiadaan pemimpin dan penganjur!”
Aku menarik dia berdiri, ini adalah keadaan yang tidak enak. “Tekadku telah bulat!” Aku memanggil Waki Wahab dan berkata kepadanya, “Sampaikan salam kepada van Heutsz. Katakan padanya dalam beberapa hari ini aku akan datang langsung ke Koetaradja untuk menyerahkan diri. Sekarang pergilah!”
Durjana menampik tanganku, mencoba mencegah Waki Wahab pergi. Dengan sigap Pang Itam dan Pang Brahim menangkapnya.
“Tunggu apalagi. Cepat pergi Waki! Aku hanya akan menahan dia sampai azan Shubuh, jika kau tidak cepat niscaya jika kau dikejar dan diterkam olehnya maka bukan tanggung jawabku.” Dengan segera utusan Belanda itu turun dari pondok, kemudian lari dalam kegelapan malam.

Sultan Aceh Terakhir Tuanku Alaiddin Muhammad Daudsyah (1884-1939) di dampingi oleh pengawal setia; Pang Itam (kanan) dan Pang Brahim (kiri)
Dalam cengkraman Pang Itam dan Pang Brahim, Sang Durjana melontarkan sumpah serapahnya, kepada Waki Wahab, kepada Belanda dan kepadaku. Dia mengingatkan bahwa anak dan istrinya telah terbunuh oleh Belanda, dan mengecam betapa lemah hatiku. Kata-katanya semakin menusuk ketika dia berkata. “Tuan mesti bertanggungjawab kepada mereka yang telah berkorban dalam perang ini, yang mana pusara-pusara mereka tersebar di seluruh negeri, di hutan-hutan, di lembah-lembah sunyi, dan tiada seorang pun yang tahu di mana semua itu semua.”
Pang Itam dan Pang Brahim menahan Sang Durjana sampai azan Shubuh. Kemudian atas perintahku, mereka melepaskan dia. Sebelum pergi dia meludah, kemudian menghilang dalam hutan belantara.
Polem yang sedari tadi diam mendatangiku seraya berbisik pelan. “Aku masih akan melawan Belanda. Perang ini akan segera berakhir, cepat mau pun lambat, tapi sebelum ini terjadi aku akan masih tetap melawan.” Aku mengangguk pelan.
Siang itu kami mengumpulkan seluruh pasukan yang tersisa. Aku memerintahkan mereka semua untuk melanjutkan perlawanan bersama Panglima Polem, semua setuju kecuali Pang Itam dan Pang Brahim. Mereka berdua memutuskan untuk ikut bersama denganku ke Kotaraja. Ketika kami berpisah, hatiku serasa hancur, Hatiku kehilangan tujuan, ini adalah hari dimana aku kalah.
BACA: KENAPA SULTAN ACEH MENYERAH KEPADA BELANDA
Sebelum mencapai Peusangan. Tiba-tiba di depan kami telah berdiri Sang Durjana, seorang pejuang yang tidak kenal kompromi. Diikuti oleh dua orang Gayo. Mereka semua menghunus kelewang, siap tempur.
XXX
Krueng Peusangan, 3 Januari 1903.
Dengan diam-diam, di luar sepengetahuan rombongan Sultan yang hendak menyerah. Aku beserta Aman Abbas dan Aman Ilyas dari tanah Gayo telah bersiap untuk melakukan pencegatan. Ketika mereka lewat, dalam hitungan kejapan mata kami bertiga telah berdiri dihadapan mereka.
Sultan terlihat kaget, mukanya digeleng-gelengkan, tangan dua pengawal bersiap mencabut pedang dari sarungnya.
“Kekuasaan itu ibarat ilusi. Kekuatan militer Aceh praktis tidak ampuh lagi, tapi tetap tidak bisa dicampakkan. Ketika Tuan menyerah mungkin akan mendapatkan tempat yang baik, pensiun dan bahkan mungkin penghormatan dari kaphe Belanda. Tapi jika orang biasa pasti akan berakhir di depan regu tembak. Adilkah itu?” Tanyaku pada Sultan.
Setiap raja, di atas tahta, sendirian dengan kekuasaan di tangan. Ada sebuah pertanyaan sederhana; Kenapa dia berkuasa? Apa yang membedakan dia dengan orang biasa. Kekuasaan adalah ilusi yang mau tak mau dibangun.
“Aku lelah Durjana! Minggirlah aku akan menyerah sebagai orang biasa bukan sebagai Sultan Aceh!” Muhammad Daudsyah seekor singa yang siaga dan selalu siap menerkam terlihat remuk. Jari-jarinya kekar mencengkram kopiahnya sampai remuk, ia terbawa arus. Ia kemudian membuka pakaian kebesarannya, pedang dan tongkat komando kerajaan sampai terompah yang biasa digunakan. Ia campakkan begitu saja di tanah, hari ini semua kekuasaan dengan panggungnya seolah tak berarti baginya.

Ketika menyerah kepada Belanda, Sultan Aceh terakhir Muhammad Daudsyah melepaskan segala atribut kebesaran termasuk tidak mengenakan alas kaki untuk menyampaikan pesan tegas. Ia menyerah secara pribadi.
“Sekarang izinkan kami lewat!” Sultan dan dua pengawalnya berlalu tanpa halangan. Aku melayangkan pandangan kepada Aman Abbas dan Aman Ilyas.
“Sejak hari ini Aceh tak lagi bersultan, dan mungkin setelah hari ini. Tidak ada lagi Sultan Aceh.” Aman Abbas dan Aman Ilyas memungut barang-barang yang dibuang oleh Sultan.
Aman Ilyas berbisik kepadaku. “Baiknya barang-barang ini kami bawa kepadalaman daripada jatuh ke tangan Belanda. Kami rasa benteng Kuta Reh merupakan tempat yang aman.” Aman Abbas mengangguk dan meminta persetujuanku.
Aku mengangguk, mereka pun pergi. Luka di seluruh tubuh serta pukulan batin yang menimpaku bukan alasan mengakhiri perjuangan mengusir penjajah yang ingin menancapkan kuku kekuasaan di Aceh. Bahwa ada di antara kita yang tak tahan uji dan menyerah kepada musuh, itulah kembang dan sekaligus ujian bagi perjuangan itu sendiri. Tapi galau dan sakit hatiku terasa lebih berat ketika Sultan Aceh memutuskan menyerah.
Cut Nyak Dhien masih berjuang di barat, kepemimpinan perempuan? Aku tersenyum. Para lelaki pemberani dari bangsa ini banyak yang telah mati, beberapa menyerah. Perang Aceh telah memasuki masa di mana para perempuan mengangkat senjata, memimpin pasukan menyerbu, mereka (para perempuan) agung yang tidak akan menyerah dan akan terus bertempur selama nyawa masih di kandung badan.
XXX
Sementara itu di Sigli.
Mayor K. van der Maaten dan Letnan Satu (Marsose) R. Vogel terlihat sangat puas mendapatkan laporan dari Waki Wahab di kantornya. “Siapkan pasukan kita cegat mereka di Blang Malu! Kita tangkap sultan sebelum masuk kota Sigli. Kita permalukan dia dan kita giring dia ke Kutaraja.” Perintan Van der Maaten.

Mayor K. van der Maaten (tengah) dan letnan satu Marechaussee R. Vogel (kanan) sedang berbicara dengan seorang “sahabat terpercaya” bernama Waki Wahab di kantor Mayor K. van der Maaten, mungkin di Sigli sekitar tahun 1900-an.
Tanpa banyak ba-bi-bu Letnan Satu Vogel bergegas. Van der Maaten tersenyum kepada Waki Wahab, tapi hatinya menertawakan orang di depannya. “Orang ini adalah babi yang berguna.”
Sementara ini Waki Wahab merasa sangat senang, ia merasa menjadi tokoh penting dalam peperangan, bahkan hampir-hampir seorang yang sangat penting sekali.
XXX
Kehidupan seperti perahu
Diterpa angin dibawa ombak
Tak tahu kemana terapung-apung
Lemah dan tak berdaya
Ketika harapan memudar
Haruskah beta menyerah saja
Dengan jiwa yang terluka
Tak kumiliki lagi apa-apa
(Sang Durjana)
XXX
(Bersambung)
Index:
- Bijeh mata = bermakna Biji mata (Bahasa Aceh). Orang-orang Aceh memiliki kecenderungan mencintai apa yang mereka bisa lihat. “Bijeh mata” adalah sebuah frase jika dalam bahasa Indonesia/Melayu disebut “buah hati” yang bermakna seseorang yang sangat dicintai;
- Kaphe = bermakna Kafir (Bahasa Aceh);
- Syuhada = Orang-orang Aceh yang telah gugur dalam perang melawan Belanda. Syuhada adalah bentuk jamak dari syahid;
- kitab Bustanussalatin = Bustan al-Salatin fi Zikr al-Awwalin wal Akhirinatau lazim dibaca Bustanus Salatin jika diterjemahkan kedalam bahasa Melayu berarti “taman para raja” ditulis oleh Nurrudin Ar-Raniry dalam kurun waktu 1052-1054 Hijriah / 1642-1644 Masehi. Sebuah kitab pedoman bagi Sultan Aceh ketika memerintah. (Baca: Bustanus Salatin Panduan Berkuasa Para Sultan Aceh);
XXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN;
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh