RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH

Sampul permainan catur Toekoe Oemar, sebagai bentuk olok-olok Kolonial Belanda kepada (kelak) Pahlawan Nasional Teuku Umar

RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH

Ada juga setan berwajah tanpa dosa, yang tak sungkan memilih berbagai cara untuk menggapai tujuan hasratnya.

XXX

Keumala, akhir 1879.

Sehabis Isya aku meninggalkan istana Keumala.

Pantengong!1) Kemari!” Belum malam sekali, ketika dari balik pohon bambu seseorang dengan suara khas, sepertinya ku kenal memanggil. Benar saja, Umar anak Meulaboh. Untuk apa dia jauh-jauh main ke Keumala? Ia memberi isyarat agar aku mengikutinya, kami berjalan melalui tanah kuning naik ke atas bukit, kemudian di sana ada sebuah balai yang ditunggui pengikutnya, mereka membakar daging, dari aromanya mungkin rusa. Umar tersenyum dan mengajakku naik ke atas balai, aku mencuci kaki terlebih dahulu dengan mengambil air dari guci di dekat tangga.

Ia duduk kemudian mengeluarkan kaleng tembakaunya, melinting dengan daun nipah. Sekapur sirih dihidangkan oleh pengikutnya, ia terlihat sangat bahagia, sekaligus jahil. Ia memberikan lintingan tembakau kepadaku, lalu alisnya dinaikkan, terlihat jelas dari pelita. Senyumnya jahat.

Aku menampik, ada hukum tak tertulis di antara kaum kami, para lelaki dari barat. Jangan pernah mempercayakan lintingan tembakaumu kepada sejawat, sedekat apapun dengannya. Bisa saja sang kawan mencampurkan ganja agar teler sedikit (sial sedikit), atau rumput gajah agar mual-mual (sial menengah) atau paling tragis di selipkan, maaf bulu kemaluan barang 2-3 helai agar sang korban muntah-muntah (sial sesial-sialnya).

“Beta bisa melinting sendiri.” Aku duduk berhadapan dengannya, menarik kaleng tembakau, memastikan isinya, dan membalut sendiri. Dia tertawa nakal, menarik bokor sirih menyusunnya kemudian mengunyah. Dia membuang ke belakang lintingan tembakau yang awalnya akan diberikan kepadaku tanpa rasa bersalah, sambil mengunyah sirih dia melinting kembali untuk rokok untuknya sendiri. Sudah kuduga, paleh2) sekali si paleh ini.

Dia mengeluarkan rencong dari balik bajunya, meletakkan di lantai (sebuah pertanda bahwa menjumpai sahabat karib di Aceh masa itu), kemudian duduk bersandar di dinding balai kemudian menikmati tarikan tembakaunya. “Ambo sudah lama ingin bertemu beta.” Ia melemparkan pinang kepadaku sambil tertawa girang.

Aku menunjukkan wajah marah, sesungguhnya aku senang bertemu lagi dengannya, bahkan menikmati tindak tanduknya yang usil itu. Perangainya otentik, tidak bisa ditiru orang lain. Jika pun ada yang bermaksud meniru malah akan menjadi kobong. Bahasa bisa dibolak-balik olehnya, malahan sering ia sengaja untuk berkata salah-salah. Entah apa maksudnya.

“Umar sopan sedikit, beta lebih tua darimu.”

“Oh, maafkan silap serta khilaf ambo kakanda durjana.” Ia memberikan sikap tabik yang penuh kepura-puraan. “Tapi cobalah kakanda pikir, di Pasai dan di Samalanga ada orang yang mengaku-aku menjadi kakanda. Katanya panglima peranglah, katanya menjadi kapten perompak bukanlah pilihanku. Macam apa itu? Bahkan yang dari Pasai mengaku telah membunuh 57 orang kaphe!3) Padahal ambo saja sebagai salah satu orang yang telah berperang sejak awal baru mengirimkan 5 atau 7 kaphe ke neraka.” Tangan kanannya menunjuk jari 2 dan kiri jari 5.

“Andai ada 2 atau 3 orang kita Aceh yang mampu membunuh  sampai 57 orang kaphe. Mungkin kita sudah menangi perang.” Aku tertawa cekikan mendengar ceritanya.

Prasasti pada pintu menuju kompleks pemakaman Teuku Umar.

Akh, orang pesisir utara dan timur. Terlalu banyak cakapnya, lagaknya pejuanglah! Ambo tak suka mereka. Jika berbicara agama seolah wakil tuhan mereka, tembakaulah haram. Untuk orang lain, jika punya kesempatan candu ditekan olehnya. Katanya anti kaphe, begitu Belanda datang buru-buru bersujud dikaki mereka.” Umar merepet.

“Sepertinya ada yang sakit hati? Tapi kebencianmu kepada mereka tidak lebih besar daripada kepada Raja Teunomkan?” Aku tersenyum menggodanya, membandingkan dengan saingannya di wilayah barat, Imuem Muda.

Teuku Imum Muda, Raja Teunom (Tengah)

Cih, bahkan si gemuk raja Teunom itu. Yang merupakan satu-satunya orang gemuk di wilayah barat selatan sekalipun lebih aku hargai dibandingkan mereka. Raja Samalanga, Maharaja Lhokseumawe, Raja Idi, Raja Peureulak itu taik semua! Ambo tak habis pikir semudah itu mereka menyerah dan teken takluk. Cinta dunia dan takut mati. Terus mereka tidak khas, maunya meniru orang lain. Malu jadi diri sendiri, kakanda pula yang ditirunya? Tersinggung ambo.”

Akh, sudahlah tak penting sekali itu.” Ini Umar ada maunya, aku kenal dia. Hidupnya seperti sebuah lakon teatrikal, ada kala ia berucap a tapi maunya b, aku kenal tipu daya seperti ini. Akal Meulaboh kalau kata orang Aceh.

“Tapikan benteng Batee Iliek kan bagus. Belanda tidak bisa masuk ke Pidie selama benteng sebelah timur itu berdiri tegak, sementara kita aman disini.” Tambahku.

“Iya, tapi mereka terkunci di sana bertahan, 2 atau 3 kali serangan dengan bantuan meriam dari kapal-kapal besi di laut habis mereka, berani saja tidak cukup harus punya otak. Harusnya Pocut Meuligo menyerang, jangan bertahan saja. Hancur nanti. Harusnya seperti ambo, menyerang dari kiri kanan, ada kesempatan sergap kaphe di semak belukar. Bunuh terus si putih pada kesempatan pertama, belah dua kalau bisa karena kalau tak mati, 2 atau 3 bulan lagi dia sembuh, lalu lebih ganas.”

“Tiap-tiap orang memiliki jalan perjuangan masing-masing, tiada bisa kita perbandingkan si fulan dengan si fulanah, sesuka hati kita Umar.” Salah satu dari sekian banyak kehebatan Umar adalah mampu menjadikan kita lebih bijak ketika berbicara dengannya, ya sebenarnya itu adalah alur percakapan yang sudah dirancang oleh batinnya, secara alami bukan buatan. Sulit dicari tanding anak Meulaboh ini.

“Payah membunuh kaphe itu, kalau tak dicincang pasti sembuh. Tabib mereka luar biasa, entah darimana obatnya. Oh, memang kakanda sudah membunuh berapa kaphe?” Ia tersenyum nakal dan menaikkan alis.

Sesungguhnya membunuh bukan perkara mudah, tak semua orang siap batin untuk membunuh. Bahkan aku pun ketika membunuh merasa jiwaku terkoyak-koyak setiap kalinya. Tidak ada kenikmatan disitu, bahkan tidak ada kebanggaan membunuh. Meskipun dalam perang, meskipun terhadap musuh paling keji sekalipun. Aku sendiri terbawa mimpi buruk membayangkan keluarga musuh yang aku bunuh, istri dan anak yang kehilangan penyokong hidup. Meskipun bapak atau suami mereka datang ke negeri kami membawa senjata untuk menjajah.

“Ada sekitar 27 orang.” Jika aku menghitung berarti aku mendoakan mereka, meskipun ketika aku membunuh mereka ada kebencian yang menyala-nyala sekalipun.

Umar tertawa dan memukul-mukul lantai, “dasar pengaku-aku. Jadi tak benar kata kapitan arabasta atau yang mengaku menjadi kapten merompak bukan pilihanku yang mengaku telah membunuh 57 kaphe. Kapan Belanda sudah kesana? Medan perang disini. (Lokasi sebagian pertempuran Perang Aceh sampai 1879 mencakup kota Banda Aceh dan kabupaten Aceh Besar sekarang). Ambo saja jauh-jauh datang dari Meulaboh ingin perang disini.”

“Oh ya Umar buat apa datang jauh-jauh ke Keumala?” Tanyaku penasaran.

“Ambo datang memberikan hadiah kepada sultan, ada senapan, ada arloji, ada kotak yang dibuka keluar orang bernyanyi, ada koin-koin emas Belanda.” Ia tersenyum nakal dan menambahkan. “Sultan senang sekali barang-barang Belanda, ia hanya membenci orangnya, tapi tidak barangnya.”

“Dari mana kau dapat barang-barang itu? Dari hasil menjual lada atau menjual diri?” Umar punya banyak kebun lada di pesisir barat, tapi barang-barang itu sulit di dapat. Dari Inggris di Penang bisa didapatkan kalau dia berhasil menembus blokade Belanda tapi sangat sulit, orang-orang Portugis berani menyeludup ke Aceh tapi bukan barang mewah, biasanya senjata. Atau dari Belanda sendiri?

“Kakanda ini berkata sedikit, tapi menyakitkan. Jadi ketika seluruh pasukan Belanda bersiaga di masjid raya ketika peresmian kemarin, aku dan beberapa kawan-kawan yang sedang makan-makan itu.” Dia menunjuk para pengikutnya yang sedang menikmati makanan.

“Ambo dan kawan-kawan masuk ke Neusu, asrama petinggi sipil dan militer Belanda. Apa namanya sekarang Kohleran ya. Kami curi barang-barang mereka.” Ia tertawa terbahak-bahak, puas dan bahagia.

Alamak, apa yang kau perbuat itu? Kalau kau tertangkap betapa terhinanya kita orang Aceh. Umar pejuang Aceh ulung ternyata tak lebih tak kurang pencuri, dengan senang hati Belanda mengumumkan ke seluruh dunia. Dan betapa hinanya kita.”

“Tenang kakanda. Pertama ambo tidak tertangkap. Kedua mereka bukan pencuri? Ketika mereka menduduki istana mereka jarah semua yang ada di dalamnya, tidak puas mereka jarah kampung-kampung yang mereka duduki. Kita semua tahu, pada tahun pertama mereka berkuasa tiap malam kapal-kapal pengangkut Belanda berlayar dari Kampung Pande membawa hasil jarahan. Kemana itu semua? Ambo hanya mengambil sedikit saja, dan bukan untuk ambo semata, ambo bagi-bagi!” Jenius dalam berkata, tangguh dalam berperang, piawai dalam berdiplomasi. Aku makin kagum dengan Umar.

“Untuk beta, ambo berikan sebuah buah tangan.” Ia berdiri kemudian memanggil seorang pengikutnya memberikan perintah. Pengikutnya mengangguk kemudian pergi sebentar dan kembali. Kemudian ia mendapati sebuah barang dibungkus kain. Umar duduk lagi dan membuka sebuah keris yang indah berhulu gading, bertatahkan emas dan batu-batu mulia.

“Untuk kakanda tercinta.” Katanya.

Ingin aku menolak tapi sungguh keris yang sangat indah. Batinku bertarung, untuk apa keris seindah ini bagiku? Setiap harta apalagi terlalu berharga akan mengikatku dalam berjuang. Aku belum seperti Umar mampu mengelola apapun itu, baik harta, wanita atau pengikut. Aku lebih suka sendirian, sejak kejadian itu.

“Beta mungkin akan terlibat dalam satu misi lagi, tak mampu menjaga barang ini. Kampung beta sudah di duduki Belanda, jadi tiada tempat menyimpan. Alangkah baiknya jika barang ini diserahkan kembali kepadamu, untuk engkau serahkan kepada orang lain yang kau rasa patut. Beta tak berjodoh dengan keris ini.”

Umar cemberut sekali, ia mencoba tersenyum dan menyakinkan, “ayolah kakanda keris ini sangat indah, tak akan ambo serahkan kepada orang lain selain kakanda, bahkan tidak sultan sekalipun.”

Keris Teuku Umar (Dirampas Belanda) Lokasi: Pameran Objek Etnografi dari Atjèh. Leiden: SC Van Doesburgh, 1907. No. 310 (Museum Etnologi Universitas Leiden belanda)

Keris Teuku Umar (Dirampas Belanda) Lokasi: Pameran Objek Etnografi dari Atjèh. Leiden: SC Van Doesburgh, 1907. No. 310 (Museum Etnologi Universitas Leiden belanda)

Inilah keahliannya yang lain, mengoda membujuk merayu, pesona luar biasa. Aku terpukau dengannya, tidak ada Aceh lain yang sepertinya. Oh bahkan tidak ada orang lain di dunia sepertinya. Dulu, sekarang dan nanti. Sekali lagi harus kukatakan dengan berat hati. “Aku tak berjodoh dengan keris ini, ingin beta memiliki tapi tak mampu menjaganya.” Aku jujur saja, tokh tak bisa bermuslihat padanya.

Ia menarik nafas kecewa, kemudian berkata. “Bicara jodoh mungkin ambo berencana akan menikah. Mohon restu kakanda.”

“Menikah? Menikah lagi maksudnya? Di Geumpang sudah, di Rigaih sudah juga. Apa tidak terlalu sulit punya istri banyak Umar?”

“Kali ini beda, tujuannya perjuangan. Murni sekali dan ambo butuh restu kakanda.” Matanya berkaca-kaca.

Ada apa ini? “Butuh restu apa? Beta bukan bapakmu?” Bantahku kesal.

“Ambo ingin menikahi Cut kak (Cut Nyak Dhien adalah kakak sepupu Teuku Umar), Mukim IV Lampisang tidak ada pemimpin (yang kuat) setelah bang Ibrahim gugur pada pertempuran Glee Tarom. Paman ambo (Tuanku Nanta Setia, ayah Cut Nyak Dhien) sudah tua, mungkin juga sudah saatnya ambo memiliki wilayah kekuasaan, untuk membantu perjuangan Aceh melawan kaphe.”

Seperti ada sembilu yang mengiris di hati, menyayat tapi tak bisa dikatakan ketika Umar berkata. Aku terdiam, hening tanpa kata.

“Paman ambo yang mendesak menikahi Cut Kak, tapi perasaan ambo tak enak, ambo lihat Cut Kak ada menaruh simpati kepada kakanda. Tapi dalamnya hati kakanda ambo tak tahu. Mungkinkah kakanda ada perasaan kepada Cut Kak?” Bahasa Umar halus, sangat halus sehingga berputar-putar.

Siapa sang durjana dan siapa Cut Nyak Dhien? Terlalu jauh jarak antara kami berdua. Jujur terbersit benih-benih asmara aku padanya. Tapi dalam mimpipun aku tak berani untuk jatuh cinta kepada perempuan luar biasa itu. Akh, Umar terlalu perasa, dia terlalu naif untuk merasa memahami segalanya.

“Beta dan kau Teuku Umar adalah pejuang yang telah bertempur bersama-sama lama, sejak awal perang. Kita tahu tujuan hidup kita adalah mengusir kaphe dari bumi Aceh. Tak perlu restu dariku, jika kau merasa itu yang terbaik maka pilihannya adalah laksanakan!” Aku kacau, batinku meledak-ledak, dan kata-kata tadi adalah yang terburuk keluar dari mulutku sepanjang hidup yang ku ingat.

“Baiklah kakanda, dimana bumi dipijak disitu langit Aceh dijunjung.” Dengan suara yang getir dan parau matanya berkaca-kaca. Aku memeluknya, sahabatku yang sangat kucintai.

“Cukup pantengong, jangan peluk-pelukan seperti ini.” Ia menepis, aku tertawa kemudian ia pun tertawa.

“Kemarin sebelum kemari ambo bertemu dengan Raja Keluwang di Muara Daya, beliau sudah sangat tua. Dia bercerita bahwa kakekmu dari ibu dulu orang hebat. Pelaut ganas yang menjarah dan merampok pulau-pulau Nieh4) serta membawa pulang perempuan-perempuan budak yang cantik-cantik, putih-putih. Kalau sudah bosan dijualnya ke pasar Lamno atau ke Gayo. Apa benar?” Tanyanya dengan usil lagi-lagi.

Salah satu alasan Belanda menyerbu Aceh adalah untuk memberantas perbudakan, waktu zaman kakek lazim merampok dan menjarah negeri-negeri pagan. Sebuah kebiasaan yang tidak baik, dan tak perlu dibanggakan. Mungkin kakek salah, tapi dia ya kakekku.

“Tak usah jawab! Wajah sudah berkata apa adanya.” Dia tertawa. “Sebelum di bawa ayahmu yang zuhud ke Aceh Besar, kakanda dibesarkan oleh kakek itu kan? Sempat belajar ilmu melaut darinya. Raja Keluwang yang bilang. Bajak laut Pante Kuyun katanya.”

“Ada sedikit belajar dari beliau.” Aku mengiyakan.

“Lain waktu, jika keadaan memungkinkan, cerita ya.” Ia tertawa, aku tertawa, kami tertawa, kita tertawa. Sesuatu yang mahal dalam keadaan perang.

XXX

Lampisang, Mukim IV, Aceh Besar sepekan kemudian.

Umar tiba di depan rumah Tuanku Nanta Setia dengan keadaan sangat letih. Ia masuk ke serambi dengan tertatih-tatih, wajahnya suram. Tuanku Nanta Setia dan puterinya Cut Nyak Dhien menyambut dan menyajikan makanan. Umar makan dengan lahap seolah-olah sudah tidak makan selama 3 hari. Mereka memperhatikan ia makan dengan seksama.

Selesai makan, Umar masih mencuci tangan ketika Nanta Setia bertanya dengan sangat halus. “Apakah dia bersedia?”

Dengan sedih Umar menggeleng.

“Apa katanya?” Cut Nyak Dhien bertanya sekali lagi.

“Dia bilang dengan berat hati menolak menikahi Cut Kak. Hidupnya telah sepenuhnya untuk mengusir Kaphe, asmara tidak berjodoh dengannya. Bahkan ia mengembalikan keris pemberian paman.” Umar menunduk dan sangat menyesali kegagalannya. “Mungkin ambo salah dalam berkata, sehingga dia berucap seperti itu. Maafkan ambo.”

Suasana hening, segenap penyesalan tak berucap menghinggapi ruangan itu. Cut Nyak Dhien menatap nanar bumbungan rumah. Sebegitukah angkuhkan dia? Sehingga ia tak butuh senjata yang piawai, tak butuh juga cinta menaungi dan kekuasaan yang memadai? Mungkin bukan angkuh, tapi sebuah sikap yang melepaskan diri dan mengambil jarak batin dari pamrih, ambisi, kekuasaan dan dunia benda. Suatu sikap yang diharapkan pada seseorang, tapi tidak pada orang yang dicintai. Tidak pada lelaki itu.

XXX

(Bersambung)

XXX

Kata dan Arti Bahasa Aceh

  1. Pantengong = Seseorang yang bodoh dalam satu atau dua hal saja (Bahasa Aceh);
  2. Paleh = Sejenis licik yang usil (Bahasa Aceh);
  3. Kaphe = Berarti kafir, kata ini ditujukan untuk Belanda pada masa itu (Bahasa Aceh);
  4. Nieh = Gugusan Pulau di Selatan pantai Barat Aceh (Bahasa Aceh);

KATALOG RISALAH SANG DURJANA

  1. BAGIAN SATU;
  2. BAGIAN DUA;
  3. BAGIAN TIGA;
  4. BAGIAN EMPAT;
  5. BAGIAN LIMA;
  6. BAGIAN ENAM;
  7. BAGIAN TUJUH;
  8. BAGIAN DELAPAN:
  9. BAGIAN SEMBILAN;
  10. BAGIAN SEPULUH;
  11. BAGIAN SEBELAS;
  12. BAGIAN DUA BELAS;
  13. BAGIAN TIGA BELAS;
  14. BAGIAN EMPAT BELAS;
  15. BAGIAN LIMA BELAS;
  16. BAGIAN ENAM BELAS;
  17. BAGIAN TUJUH BELAS;
  18. BAGIAN DELAPAN BELAS;
  19. BAGIAN SEMBILAN BELAS;
  20. BAGIAN DUA PULUH;
  21. BAGIAN DUA PULUH SATU;
  22. BAGIAN DUA PULUH DUA;
  23. BAGIAN DUA PULUH TIGA;
  24. BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
  25. BAGIAN DUA PULUH LIMA;
  26. BAGIAN DUA PULUH ENAM;
  27. BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
  28. BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
  29. BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
  30. BAGIAN TIGA PULUH;

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cerita, Cuplikan Sejarah, Kisah-Kisah, Kolom and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

15 Responses to RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH

  1. Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh

  2. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh

  3. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh

  4. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh

  5. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh

  6. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh

  7. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh

  8. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh

  9. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh

  10. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh

  11. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh

  12. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh

  13. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh

  14. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh

  15. Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.