RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN
“Apa kamu syaitan?” Tanya seorang diantara mereka antara takut dan penasaran. Dimana ini? Kugosok-gosokkan mata lalu memandang sekeliling. Orang-orang menggerubutiku. Penampilan mereka aneh, seperti orang dari dusun yang sangat pelosok. Muka mereka hitam semua, seperti tidak pernah mandi menggunakan sabun, kaki mereka tidak menggunakan sandal. Tatapan mereka penuh selidik sama sepertiku, sepertinya aku juga dipandang aneh oleh mereka.
Aku menggeleng, menelan ludah. Pertanyaan apa ini? Benar-benar pertanyaan yang mengecewakan buatku yang sedang kebingungan, betapa dunia yang kacau namun setidaknya kami berbicara dalam bahasa yang sama.
Aku gamang. Gerombolan ini pun riuh, tempat macam apa ini ketika aku mendengar usul salah satu diantara mereka untuk membunuhku, dan usul lain untuk membuiku.
“Apakah kamu muslim?” Dipagi yang hangat ini aku mendapatkan pertanyaan tentang keimanan. Aku hanya mengangguk tersenyum.
“Mungkin dia orang Turki, Panggil Durjana! Dia pernah kesana setidaknya dia bisa berbicara dalam bahasa mereka.” Suasana hening, aku melihat langit hatiku merasa kosong. Mengapa aku tiba-tiba ada disini.
Tak lama kemudian menyeruak seorang paruh baya, dia berjongkok kemudian berbicara dengan bahasa yang tidak kumengerti. Aku hanya menatap bingung, tidak tahu harus berkata apa. Hingga dia bertanya, “What is your name?”
Aku tersenyum, pelajaran bahasa Inggrisku buruk, malas mempelajarinya, tapi setidaknya aku tidak terlalu bodoh untuk tahu arti pertanyaan ini.
“Namaku Milvan Murtadha.” Untuk pertama kalinya aku mengeluarkan kata-kata.
Orang ini terkejut, secepat itu menangkan diri kemudian mengangguk pelan, “nama yang lazim untuk orang Turki, terutama yang berasal dari Balkan. Tapi anak muda kenapa tadi kamu tidak menjawab dalam bahasa Turki? Darimana kamu berasal?”
Aku menarik nafas panjang, syukurlah. “Sama dengan kalian, hanya aku berasal dari kota.” Jawabku sekenanya, bagaimanapun penampilan mereka semua seperti berasal dari kampung yang terisolasi.
Orang yang disebut dengan nama Durjana menatapku heran, menoleh kebelakang. Kerumunan itu pun terdiam, mengangkat bahu. Tampaknya mereka kurang suka dengan kata-kataku yang memvonis mereka sebagai orang kampung, jangan-jangan mereka tersinggung.
“Anak muda, oh Milvan. Sekarang kamu berada di ibu kota.”
“Ibu kota apa? Kecamatan apa?” Aku tersenyum, aha tidak mungkin ibu kota Kabupaten. Para lelaki berpakaian petani berkumpul mengelilingiku ini berbahasa yang dapat ku mengerti hanya agak sedikit ketinggalan zaman. Gaya bahasa kuno yang jarang kutemui.
“Selamat datang di Bandar Aceh Darussalam, ibu kota Kesultanan Aceh Darussalam. Anak kota.” Durjana tersenyum, ia dan mereka saling tak berucap sepatah kata selain membiarkan kebisuan menemani sekaligus menunggu jawaban dariku.
Tiba-tiba aku tersadar suara-suara ringkik kuda bersahut-sahutan. Seharusnya aku sedari tadi sadar bahwa dengung orang berbicara sedari tadi bukan hal yang lazim. Aku berharap ini hanya mimpi, kupukul pipiku pelan. Tidak! Sial aku terjebak disini.
“Tahun berapa sekarang tuan?” Tanyaku putus asa.
Durjana tersenyum samar, “Seribu Delapan Ratus Tujuh Puluh Dua dalam Masehi.”
Dua kali lipat sial! Aku menyukai sejarah, walau hanya sebatas amatir. Ini adalah tahun dimana aku tidak ingin terlibat didalamnya. Tahun depan Belanda akan menyerbu kesultanan Aceh Darussalam. Tahun ini, baik Sukarno maupun Hatta belum lahir. 17 Agustus 1945 masih terlalu lama. Singkatnya aku masuk dalam gerbang kematian. Kenapa aku bisa berada disini? Rasa takut menguasaiku, sehingga aku merasakan wajahku tak mengalirkan darah lagi.
Aku tidak tahu harus berkata apa, air mata deras turun. Kututupi wajahku dengan tangan seraya menangis pilu. Malang benar nasibku, siapa yang mau percaya bahwa aku berasal dari masa depan. Bahkan orang paling dungu sekalipun akan menertawakanku.
“Anak muda, sebaiknya kamu ke rumahku. Mungkin nanti kita bisa bicara banyak.” Ulur tangan orang ini. “Teman-teman, mulai sekarang ia adalah tamuku.” Dia menarikku menjauhi kerumunan orang-orang.
Sepanjang perjalanan semua orang menatapku aneh, “setibanya dirumah, pertama-tama kamu harus berganti pakaian. Pakaianmu sangat aneh, aku yang sudah berkeliling dunia belum pernah menemukan satu bangsa pun yang mirip denganmu, tidak Turki, tidak Peringgi, tidak juga Arab.”
Tentu saja teman, hatiku berbicara. Karena aku tidak berasal dari zaman ini.
“Kemudian kita boleh saling bercerita.”
Dengan enggan aku mengiyakan perkataannya, mengikuti langkah-langkah cepatnya dengan susah payah. Jika ini adalah mimpi, aku berharap untuk terjaga sekarang juga.
XXXXXXXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
jak tengku galakkan “1 Blogger 1 Buku untuk Aceh”
okey, bgm caranya?
Pingback: Iblis Tidak Berdaya di Hadapan Orang Ikhlas - Info - Artikel Unik, Lucu, dan Menarik
Terima kasih atas linknya…
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA PULUH | Tengkuputeh