RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS
Siapa saja yang berbangga dengan harta dan keturunan, maka hanya saja kebanggaan kami dengan ilmu dan akhlak. Tiada kebaikan pada seseorang merdeka, bila tanpa akhlak mulia. Sama sekali tidak, sekalipun dia dibangsakan kepada Arab Quraisy.
Inskripsi Kaligrafi sebuah makam dari abad X Masehi di Lamno, Aceh
X
Aceh, awal 1874
Entah berapa lama aku tertidur. Tidurku nyenyak dan panjang, menjadi tidur yang menyembuhkan. Saat bangun, aku tidak kesulitan lagi membuka mata dan tubuhku tidak selemah sebelumnya. Lidahku bisa digerakkan sedikit. Aku juga bisa memasukkan jariku ke dalam mulut untuk membersihkannya dari sedikit darah beku dan nanah.
Aku terkejut mendapati diriku berada di sebuah ruangan segi empat dari kayu. Kamar ini mendapatkan penerangan dari ambang pintu yang tidak berdaun pintu, hanya tirai. Aku mengingat-ingat dalam tidur aku menjumpai sesosok tubuh mirip diriku, berbaju sorban putih dan bertanya kepadaku, “untuk apa kau berperang durjana?” Sepanjang tidurku, ia terus bertanya-tanya, sedang aku tak mampu menjawabnya sama sekali.
Aku tidak tahu dimana aku berada, tapi aku lebih tidak tahu jawaban pertanyaan tersebut. Aku mencari-cari dalam batinku, apakah aku berperang untuk kejayaan, kekayaaan, dendam, cinta atau apapun itu. Dalam perenunganku, aku belum menemukan jawaban penuh keyakinan atas pergulatan batin yang aku alami.
Kemudian dari pojok pintu masuklah dua orang perempuan menuju kearahku, rupanya merekalah yang selama ini merawat aku. Yang pertama perempuan tua dengan penuh keriput yang aku duga merupakan tabib kampong dan yang kedua adalah perempuan yang sangat cantik, seumpama dia berjalan di pasar maka akan menarik perhatian di kedai manapun. Dia mengenakan gaun panjang seperti gamis, tidak mengenakan perhiasan apapun hanya rambut bersanggul yang ditusuk konde. Bentuk wajahnya serupa dengan Panglima Tuanku Nanta Setia, perempuan ini pun memiliki bola mata hitam lembut yang sama, tulang pipi yang tidak menonjol seperti orang Aceh lain. Pipinya yang lembut dan berwarna segar seperti menyatu dengan dagunya.
Dia berbicara dengan suara pelan kepada perempuan yang tua agar aku tak terjaga. Saat dia membuka mulutnya yang berbentuk indah untuk tersenyum, giginya berkilat seperti tulang gading paling murni di antara bibirnya yang merah. Kulitnya berwarna coklat tembaga yang agak keperakan, aku menebak usia perempuan ini menjelang tiga puluhan. Aku menebak dia adalah Cut Nyak Dhien, putri Tuanku Nanta Setia. Aku bersyukur tidak jatuh ke tangan musuh.
Kedua perempuan itu sibuk merajang daun untuk pengobatan. Aku duduk. Ya, duduk.
“Kau bangun,” katanya, membuatku terkejut. “Kau perlu sesuatu?”
Aku membuka mulutku untuk menjawab, tetapi kututup lagi. Mendadak ku kira aku tidak bisa berbicara. Namun, aku sudah bisa duduk, mungkin aku bisa berbicara juga. Jadi, aku mencobanya, “ya, beta perlu segelas air.”
Senang sekali mendengar suaraku sendiri. Suaraku memang terdengar aneh di telingaku. Kata-kataku terucap dengan terjepit dan berdegih dan membuat bagian belakang mulutku sakit.
“Berbicara perlahan saja, atau dengan isyarat,” katanya seraya menyerahkan segelas air yang langsung aku minum. “Aku, Cut Nyak Dhien mendengar kau merasa sakit kalau berbicara.”
“Mengapa aku berada disini? Kalau tidak salah ini di Lampisang, sangat jauh dari ingatanku terakhir di Lhambhuek.”
“Awalnya aku dan adikku Tuanku Raja Nanta mencari ayah dan suamiku selepas pertempuran, Alhamdulillah suamiku Ibrahim selamat.” Ia tersenyum.
Sebuah keajaiban, aku mengingat Teuku Ibrahim Lam Nga menantu Tuanku Nanta Setia diberondong senapan Belanda di Kuala Gigieng, ternyata Panglima tak salah pilih menantu.
“Tapi ayah telah gugur.” Suasana hening.
“Dimana Teuku Ibrahim sekarang?” Tanyaku.
“Suamiku sedang menyusun pertahanan di Lampadang, ia menitipkan salam padamu. Ia pula yang menemukan kau sedang merangkak tersengal-sengal di dekat benteng Lhambhuek. Suamiku berkata, kau adalah letnan kesayangan ayah dan almarhum pernah berpesan untuk menjagamu.”
Luar biasa Tuanku Nanta Setia, dalam keadaan perang pun ia menitipkan menjaga diriku kepada keluarganya, dia adalah bangsawan terbaik yang pernah dilahirkan. Aku menangis pilu untuk sang komandan, terisak-isak.
“Tuan Durjana, setiap manusia punya luka. Hadapilah hidup dan jangan cengeng seperti perempuan.” Setelah menghiburku dengan pengetahuan itu, Cut Nyak Dhien mengundurkan diri. Aku ditinggalkan untuk membayangkan betapa sengsara perang yang sudah dan akan menjelang. Pada saat itu aku tidak memikirkan kematianku saja, namun kematian para sahabat dan kerabat yang bisa kapan saja menjelang.
Aku tertidur dengan sebuah pertanyaan yang belum terjawab, “untuk apa beta berperang?”
X
Pesisir Barat Aceh, circa akhir abad XIX
Dusun Jeuram yang terletak dipinggir sungai Krueng Seunagan, di daerah Meulaboh telah sunyi keadaannya. Matahari telah tenggelam di lautan Hindia yang lebar itu, cahaya yang silau, menyilaukan mata berpendar di muka air biru yang maha luas itu.
Aku sedang menatap kosong aliran sungai ketika tiba-tiba orang dibelakang menegur riang. “Ambo melihat tuan sedang bersedih, apakah gerangan?”
Aku melihat kebelakang. Anak muda itu begitu percaya diri, kurang ajar. “Darimana kau menilai?”
Ia tertawa, “sedari tadi kau bercakap-cakap dengan mata kosong. Itu bukan kau?”
Aku menarik nafas, aku tahu pasti dia memiliki kemampuan menelisik ke dalam otak hampir setiap orang, menembus sisi terdalam otak manusia. Aku merasakan setiap bercakap dengan siapapun dia selalu menggunakan bahasa yang sama, namun ia mampu berada dalam satu aliran dengan lawan bicara, orang yang berbahaya.
Tiba-tiba emosiku memuncak, mengetahui bahwa benteng pikiranku tertembus, olah orang yang lebih muda dariku. “Kau bangsawan, tak tahu perasaan beta?”
“Apa salah ambo?”
“Nasib baik terlahir sebagai bangsawan, kau tidak merasakan anggota keluargamu tersandera oleh orang lain, kau punya segala kekuatan yang tak mesti kau cari?”
“Siapa pula keluargamu yang tersandera?”
“Istriku! Ia terkurung di Kutaradja, dikelilingi benteng Belanda, dan kacaunya dijaga ketat oleh para bangsawan yang disana.”
Ia tersenyum. “Setiap orang memiliki masalah masing-masing. Ambo bangsawan, kakek ambo raja Meulaboh. Tapi ambo tak mengenal ayah, ia pergi meninggalkan kami pulang ke Minangkabau, tak pernah kembali sampai ambo dewasa. Ketika melihatnya kembali, ambo bahkan tak punya kenangan apa-apa padanya.”
Aku bersimpati pada nasib anak bangsawan ini, dia memiliki nasib tragis khas anak manusia, ditinggalkan oleh orang yang seharusnya menyayanginya.
“Jadi menurut ambo, dunia ini adalah kesedihan.” Tambahnya.
“Hmm. Itu benar juga.”
Ditengah percakapan Dokarim keluar dari semak-semak, rupanya dia sedari tadi mencuri dengar. Teuku Umar meloncat dan mengunuskan rencong ke leher sang Penyair.
“Apa maksudmu Dokarim?”
“Hamba mendengar percakapan menarik, mungkin hamba bisa menambahkan dalam Hikayat Prang Kumpeni yang sedang hamba karang.” Dokarim gugup ketakutan.
Teuku Umar menampar keras Dokarim, “jangan berani-berani menambahkan yang tidak ambo perintahkan. Pergi!”
Dokarim pergi seraya menggerutu.
“Eh, mengapa kau tampar dia Umar?” Tanyaku marah seraya mencabut kelewang.
Ia menahan tanganku seraya tersenyum manis. “Kau yang terlalu perasa seperti perempuan, lelaki itu harus bertindak keras terhadap bawahan.” Teuku Umar menjelaskan kepadaku.
Teuku Umar adalah sosok yang sukar diterka jalan pikirannya, baik oleh kawan atau lawan, itulah yang membuat dia menawan, bahkan ketika ia mengatakan aku mirip perempuan, malah amarahku mereda. Akan tetapi, “bukan begitu memperlakukan manusia Umar?”
Ia tersenyum, “ambo pikir telah jelas kelemahan kau Durjana. Kau tak punya seni memimpin, seni merangkul orang, masing-masing orang perlu diperlakukan berbeda menurut pola pikirnya.”
“Apa hubungannya dengan menampar dia?” Tanyaku.
“Kamu adalah kamu, mempersamakan logika semua orang dengan dirimu. Sedang orang tak begitu, kitalah yang menyesuaikan diri dengan lawan bicara. Dokarim memang harus ditampar, agar dia mengerti siapa Panglima. Hal yang sama tak bisa aku lakukan padamu.”
“Beta pikir kau licik Umar?
“Kau yang terlalu berprinsip Ahmad, sadarilah kau tak hidup sendiri. Menyesuaikan dirilah terhadap dunia.”
Aku menggeleng.
“Ambo yakin, kau memang petarung hebat, tapi memimpin pasukan kau pasti tak akan bisa. Buktinya dalam setiap pertempuran dengan Belanda kau selalu kalah, teman-teman kau mana? Hampir semua tewas telah bukan?”
Kata-kata bangsawan ini terlalu menusuk hati, para sahabatku gugur semua. Mataku berkaca-kaca. Mungkin benar kata Umar, mungkin aku terlalu bersifat keperempuanan, dan kehilangan keuntungan taktis dalam berperang.
Ia tersenyum penuh empati, dengan kesiagaan penuh aku menatap orang ini, jika ada hal yang aku syukuri saat ini adalah dia bukan musuhku. Jika ia musuhku maka sedari tadi aku sudah tak bernyawa. Tapi benarkah dia temanku?
“Kawan, nikmatilah hidup. Pesisir Barat merdeka dari Belanda. Sembuhkan lukamu, kelak kau akan mengangkat senjata kembali melawan belanda, cepat atau lambat.” Senyum tak pernah hilang dari bibirnya, “ingatlah selalu Durjana, ambo adalah sahabatmu selalu.”
Aku terdiam dan merenung. Pesisir Barat Aceh masih merdeka dari cengkraman Belanda, tapi sampai kapan?
XX
Kampung Pelanggahan, Koetaradja. 30 September 1893
Teuku Umar bersama 15 orang pengikutnya datang ke hadapan Tuan Kadi, Jenderal Deijkerhoff tersenyum senang. Mereka datang seperti yang telah dijanjikan, awalnya ia sempat cemas jagoan Meulaboh ini ingkar janji. Hari ini di makam Teungku Di Anjong. Teuku Umar mengucapkan sumpah setia, sengaja dipilih oleh Belanda dengan harapan Teuku Umar tidak akan mengingkari janji yang diucapkan di depan makam keramat tersebut.
Pada bulan-bulan akhir tahun 1893, Teuku Umar memiliki tentara dua ribu orang bersenjata, senjata Belanda. Pada tanggal 30 Oktober bahkan dia menaklukkan Aneuk Galong, pangkalan militer terpenting Panglima Polem di lembah Seulawah, akhirnya Jenderal Deijkerhoff dapat memerintahkan dapat bendera Belanda dikibarkan dalam radius 16 Kilometer dari Koetaradja setelah 20 tahun berperang. Belanda pun akhirnya menguasai jalur laut dari Ulee Lheu ke Krueng Raba di pantai Barat.
Pada bulan April selesailah operasi pembersihan besar-besaran, dengan kondisi lembah Seulawah telah dikuasai Belanda sepenuhnya. Kaum ulama kebingungan, bolehkah pertempuran melawan pasukan Teuku Umar, yang terdiri dari orang-orang muslim seperti mereka, juga disebut prang sabil, perang suci? Sebagian orang berpendapat tidak. Hal ini juga segera banyak mengurangi hasrat bertempur, bila orang yang gugur tidak memperoleh jaminan syahid memasuki surga.
Belanda kini diatas angin. Siapakah yang masih meragukan bahwa peperangan telah hampir berakhir?
XXX
Lembah Seulawah, circa 1894
Akibat hawa dingin yang menganggu, Jenderal Deijkerhoff sudah terjaga dan siaga sebelum fajar. Pasukan Marsose belum terbiasa membaca jejak, mereka sudah berdiri tegak meski sudah sama-sama kedinginan bersama legion Teuku Umar. Mereka bergerak karena itu membuat hangat. Padang prairi masih terbentang, sekarang perbukitan.
“Kalau sesuai dengan dugaanku, semua usaha kita telah berbuah hasil.” Bintang keberuntungan seperti tersenyum manis pada Jenderal Deijkerhoff ketika ia melirik Teuku Umar.
“Belum Meneer, perang masih akan panjang.” Jawab Teuku Umar.
“Mengapa? Jagoan Sultan yaitu Panglima Polem sudah terdesak. Teungku Tiro sudah mati, pasukan mereka cerai berai. Tak lama lagi Negeri Pidie yang keras kepala pasti akan jatuh.”
“Ada satu orang berbahaya yang belum mati, yang menjadi sandungan. Dialah sang Durjana.” Teuku Umar menjawab mantap.
“Siapa sang Durjana? Tidak ada laporan tentang manusia itu dari mata-mata kita.” Jenderal Deijkerhoff menarik alis.
“Dia adalah orang cerdik nan licik. Kelihatannya dia tidak berbahaya, dugaan ambo dialah yang harus kita lenyapkan dari muka bumi sebelum kita menyerang kenegerian Pidie.” Jawab Teuku Umar.
Jenderal Deijkerhoff sebegitu terpesona oleh Teuku Umar, akan kegemilangan Panglima kesayangannya tersebut. Ia mengagumi orang ini, menurut Jenderal Deijkerhoff, Teuku Umar telah berada dalam satu gelombang pikir dengan Belanda, tanpa perlu mendengar alasan yang terlalu jauh. Ia memerintahkan pasukan berhenti. “Dimana keparat Durjana itu berada?” Tanyanya
“Dia sekarang di Barat, dan sekarang adalah saat yang tepat meremukkannya.” Teuku Umar menerawang menatap langit Barat.
“Baik, kita tunda ekspedisi ke Pidie. Kita cari dan bunuh si Durjana.”
“Siap!” Adalah jawaban yang serentak diucapkan oleh pasukan Belanda, Marsose dan legion Teuku Umar.
XXXX
Krueng Sabee, Pesisir Barat Aceh 1894
Kegelapan, dan dalam kegelapan itu, keheningan.
Ahmad merasa dirinya meluncur sampai berhenti, kemudian tidak ada apa-apa. Ia bisa bernafas, tapi udara terasa apak dan pengap, dan ketika ia berusaha bergerak, tekanan pada jantungnya semakin meningkat.
Melalui udara yang penuh asap, udara berbau dan terasa seperti besi. Dinding-dinding ruangan retak, dan semua pilar, pahatan dan lentera telah hancur. Ahmad menyumpah, jauh dari lorong pasar ratusan orang pribumi dan Belanda menghambur dari ambang-ambang jalan masuk yang menganga. Ahmad menoleh sebelum melihat pasar dilalap api.
Umar! Teriak Ahmad dalam pikirannya, ia bertanya-tanya mengapa kawannya membawa marsose kemari. Ia menyaksikan dalam beberapa detik, kemudian dadanya dipenuhi emosi. Ia menguatkan diri berlari diantara desingan pelor, jelas dia menjadi target utama penyergapan ini.
“Sejak kapan aku menjadi target utama Belanda?” Ia tak habis pikir Belanda telah masuk ke pedalaman Barat Aceh yang selama ini belum tersentuh. Ke pegunungan, ia harus berlari segera. Tak peduli betapapun berat ia harus lolos.
Ahmad menghembuskan nafas, kerongkongannya kering, jantung berdebar sebegitu kencang, sampai sakit rasanya. “Aku harus terus berlari.” Pikirnya, rasa takutnya menyerang kembali. Ia mulai menjauh dari area penyergapan.
Lumpur menempel pada sepatu Ahmad setiap kali ia mengangkat kaki, memperlambat langkahnya yang sudah letih dan pegal. Kakinya tergelincir di saat yang tidak menguntungkan. Ia tak lagi ingin menghindari lumpur. Ia tak peduli lagi pakaiannya kotor. Lagi pula, ia begitu letih, lebih mudah melangkah kearah yang sama daripada harus berpindah-pindah dari satu pulau rumput ke pulau rumput yang lain.
Dalam keadaan getir amat sangat. Lehernya yang tercekat dan membuat sulit bernafas, ia digoda oleh keinginan menyerah. Kemudian ia mengeram, marah dan jijik kepada diri sendiri.
“Pertempuran ini harus berakhir. Aku tak bisa terus menerus seperti ini. Aku tak bisa, aku tak sanggup.” Ia menegadah dan dengan ngeri, rasa takut dan bersemangat membuat gerakan Ahmad semakin cepat.
Gunong Ujeun, Gunung Hujan. Kegirangan, Ahmad meloncat. “Aku masih hidup.” Ia melirik sekeliling untuk memastikan tidak ada pasukan musuh yang berada di dekatnya, kemudian tersenyum menunjukkan taringnya, ia memperpanjang hidupnya sehari lagi.
XXXXX
Gunong Ujeun, 1894
Sudah dua puluh tahun perang Aceh bergejolak. Aku masih mengingat malam dimana aku diselamatkan oleh keluarga Tuanku Nanta Setia, malamnya aku tertidur dengan kegelisahan akan pertanyaan untuk apa berperang? Disaat aku merasa patah arang dan putus asa seperti hari ini baiknya aku mengenang kembali malam itu.
Lelaki bersorban putih yang menyerupai aku itu kembali datang dalam mimpiku, aku sadar ini hanyalah sebuah mimpi belaka, namun bukankah sebenarnya mimpi itu terkadang adalah refleksi dari kegelisahan hidup. “Apa tujuanmu berperang Ahmad?”
Aku terdiam, tapi kali ini aku membayangkan Sultan Mahmud Syah, Tuanku Nanta Setia dan para sahabat yang telah gugur sebelum malam itu, aku mengingat bahwa sebelum Belanda datang hidup kami penuh canda tawa. Aku tidak mengatakan kondisi negeri Aceh sepenuhnya baik, namun kami hidup dalam keadaan damai.
“Aku tak pernah ingin berperang, aku tidak ingin berjuang. Aku memimpikan darah dan perkelahian brutal saat masih kecil, seperti semua anak. Sewaktu ayah hidup, tanah pertanian kitalah yang aku anggap penting. Itu dan keluarga. Dan sekarang aku membunuh. Aku telah berkali-kali membunuh.” Aku menjawab sosok bersorban itu seolah-olah dia adalah aku.
Ia tersenyum kepadaku. “Pejuang sejati tidak bertempur karena ingin, tapi karena harus bertempur. Seseorang yang bertempur demi sesuatu yang lebih besar dari dirinya sendiri mampu membunuh seratus orang dengan mudah.”
“Hati nuraniku berkata, aku tidak bisa melihat ada orang lain kemari dengan alasan peradaban atau apapun membakar, menjarah dan memisahkan anak dari orang tua. Dan menghancurkan ini semua hanya untuk sebuah keserakahan yang membabi buta.”
“Lelaki dengan hati nurani adalah orang paling berbahaya di dunia.” Ia tersenyum lagi, sekejap kemudian aku melihat wajah almarhum Sultan Mahmudsyah dan Tuanku Nanta Setia muncul di belakang laki-laki bersorban putih, mereka tersenyum padaku.
Sultan yang wafat pada usia belasan akibat kolera yang di bawa Belanda pada ekspedisi kedua itu hanya mengangguk, sedang Tuanku Nanta Setia panglima yang dengan gagah berani pernah memimpin pasukan Aceh pada pertempuran di Kuala gigieng berkata, “restu kami padamu, dalam kalah maupun menang. Karena dengan nurani akan menjaga dirimu dari sikap kecewa bilamana nanti pengganti kami tidak sebaik yang kau bayangkan.”
Cahaya putih perak menjelang, dan aku merasa damai.
XXXXXX
Ketika linangan rindu mengalir dari nafas yang retak rekah, apa dayaku zaman telah berpaling muka
XXXXXXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh