
Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim
IBRAHIM
Siapapun yang menjadi ayah, atau berkeinginan menjadi ayah harus belajar dari Ibrahim. Seseorang yang seluruh agama samawi dinisbatkan sebagai keturunannya. Ibrahim telah diusir oleh kaumnya, setelah sebelumnya dibakar dalam api menyala, mengungsi sampai ke Mesir, bertahun-tahun tidak memiliki keturunan, padahal ia sangat berkeinginan memiliki keturunan yang saleh. Ia berdoa, “Ya Tuhanku, kurniakan kiranya kepadaku keturunan-keturunan dari orang-orang yang shalih” (QS Ash-Shaffat ayat 100)
Ketika akhirnya Ibrahim diberi keturunan, perintah itu datang. Mengorbankan sang anak dengan cara menyembelih. Sanggupkah ia?
Menyembelih seorang anak yang tak berdosa, menyembelih anak sendiri yang tak bersalah, sanggupkah engkau? Ibrahim telah mendengar suara itu. Ia yakin itu titah tuhan, agar itulah yang dikerjakannya. Ia sedang diuji sedekat manakah dirinya dengan Tuhan yang harus ditaati. Ia berangkat.
Bayangkan jika kita yang diuji? Tapi kita bukanlah Ibrahim, Nabi yang dijuluki Kholilullah, “sahabat Allah” tentu bukan sembarang. Ia mengatasi nilai “kebaikan” yang universal, yang berlaku kepada siapa saja, dimana saja, kapan saja. Ia juga unik, tersendiri, bersendiri. Tindakan Ibrahim di bukit itu tidak dapat dibenarkan oleh nilai, hukum dan kemanusiaan. Tindakan itu hanya bisa dilakukan karena Ibrahim memiliki kepercayaan. Ia seorang Ksatria Iman.
Tapi tetap saja tak mudah membayangkan “ksatria iman” harus memotong leher anaknya sendiri. Mungkinkah ia sampai hati benar?
Al Qur’an mengambarkan Ibrahim meletakkan anaknya dengan muka yang menelungkup. Dalam tafsir Al-Tabari disebutkan bahwa si bocah berkata kepada ayahnya : “Bila ayah baringkan aku sebagai qurban, telungkupkan wajahku, jangan ayah letakkan miring ke samping, sebab aku khawatir, bila ayah melihat wajahku, rasa belas akan merasuki diri ayah, dan ayah akan batal melaksanakan perintah Allah”
Kita membayangkan, Ibrahim menutup wajah anaknya seraya menghunus pisau. Ia tak akan tega melihat mata si bocah dalam kesakitan. Kemudian tangan menyembelih kurban yang ternyata telah diganti oleh Allah dengan seekor domba. Biji matanya yang hitam merekah sebagai bagian dari senyum yang belum merekah.
Sebab itu, di saat itulah ia melihat kembali wajah nyaris seseorang kurban. Wajah manusia. Wajah yang tak tepermanai. Yang tak bisa menjadi objek. Wajah yang menyebabkan perintah Tuhan memiliki makna, “Jangan engkau membunuh!”
Sebagaimana halnya bagi kita, tiap wajah mengetuk diri kita. Kita pun memberi respons, bertanggung jawab, tak mudah sewenang-wenang. Ketika kita mengingat Ibrahim di bukit itu. Ibrahim mengajarkan kita tauhid, ia mengajarkan kita juga kemanusiaan dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Ia, Ibrahim berarti karena itu.
KATALOG HIKMAH
- Hanyalah Seorang Hamba; 20 November 2008;
- Tuhan Izinkan Hamba Untuk Tidak Jatuh Cinta; 13 Januari 2009;
- Menjadi Seseorang; 27 Januari 2009;
- Orang Asing Yang Terasing; 3 Februari 2009;
- Kekuatan Syair; 3 Maret 2009;
- Menyerahkan Nasib Pada Takdir; 3 September 2009;
- Menegakkan Keadilan; 3 November 2009;
- Menelusuri Sejarah Perang Salib; 30 April 2010;
- Andalusia Sayup-Sayup Suaramu Sampai; 23 September 2010;
- Pahit; 8 Maret 2012;
- Persahabatan Kambing Dan Serigala; 19 Desember 2014;
- Pesan Kepada Penguasa; 17 Januari 2015;
- Momentum; 18 Mei 2015;
- Ramadhan Dan Relativitas; 27 Juni 2015;
- Khusyuk; 14 Juli 2015;
Pingback: BAGAIMANA CARA CEMBURU YANG BENAR | Tengkuputeh
Pingback: BAGAIMANA CARA CEMBURU YANG BAIK DAN BENAR | Tengkuputeh
Pingback: RINDU KAMI PADAMU YA RASUL | Tengkuputeh
Pingback: ISMAIL | Tengkuputeh
Pingback: SERAKAH | Tengkuputeh
Pingback: KETIKA IKARUS JATUH | Tengkuputeh
Pingback: TUA | Tengkuputeh
Pingback: RIWAYAT SARUNG | Tengkuputeh