RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH
Perang adalah sebuah tema lama, tentu. Variasi berbeda setiap zaman. Dan bila ia seperti selalu berulang mungkin karena manusia tak kunjung memahami sifatnya sendiri. Pada 8 April 1873, Belanda mendarat di Pantai Ceureumen di bawah pimpinan Johan Harmen Rudolf Kohler, dan langsung bisa menguasai Masjid Raya Baiturrahman. Kohler membawa 3.198 tentara, 168 para perwira.
Beberapa hari kemudian, perang berkecambuk di mana-mana, ada di Peukan Aceh, Lambhuk, Lampoh U, sampai Lambada, Krueng Aceh. Dipimpin Panglima Polim, Jenderal lapangan dan Sultan Mahmud Syah, Pemimpin komando tertinggi. Dengan dibantu oleh beberapa kelompok pasukan. Ketika bantuan beberapa ribu orang berdatangan dari Teunom, Pidie, Peusangan dan beberapa wilayah lain, merebut sisa puing Masjid Raya Baiturrahman yang telah dibakar Belanda menjadi tujuan marwah para muslimin.
14 April 1873
Ketika seolah sejarah berjalan di istana para raja, dengan kegagahan serdadu bersepatu mengkilap atau pejuang dekil dalam pertempuran satu lawan satu, maka sejarah membantah karena ia juga berjalan di wilayah yang lembab dan lindap, lubang dan sampah, reptil busuk dan rawa yang payau.
“Beta sesak kencing.”
“Lepaskan saja!”
“Beta sesak berak juga!”
“Lepaskan saja terus di celanamu. Ingat target kita adalah sang Naga!”
“Najis kau Durjana!”
“Sejak kapan kau taat aturan agama, Umar!”
“Sial!”
Berhari-hari sejak pertempuran bermula mereka berjalan atau mengendap-endap dari satu titik menuju sasaran. Mereka mengatur posisi dan memastikan terlindungi oleh kawan maupun lawan. Hingga akhirnya mendekati masjid Raya Baiturrahman dengan posisi terbaik. Membaca arah angin, merunduk dalam air payau, menjaga agar sumbu mesiu tetap kering.
“Durjana! Beta tak bisa.”
“Beta sudah dua kali hari ini.”
“Kurang ajar kau Durjana! kau lepaskan hajatmu dalam air payau ini.”
“Cucu Raja, jangan cengeng. Kau mau masuk dalam hikayat tapi tak mau menanggung azab bagaimana itu ceritanya?”
“Baiklah beta lepaskan saja, makan itu.”
Di medan tempur adalah bagai aksi berburu yang paling terakhir. Orang saling memburu dan diburu. Untuk itu diperlukan kekuatan batin untuk menahan lapar dan haus. Terkadang harus membuang rasa jijik dengan membuang hajat dengan posisi tertidur, hanya target dan itu telah dikatakan oleh Durjana kepada Umar anak Meulaboh, sebelum terlibat dalam misi. Misi yang mereka ciptakan berdua, tanpa garis komando dari Panglima Polim. Pasukan partikelir yang belum menembak satu kali pun sejak pertempuran pecah. Merunduk dalam gelap, menahan dingin. Siaga setiap saat. Kadang-kadang bercanda.
Matahari sepengalah, ketika Jenderal Kohler melakukan inspeksi ke Masjid Raya Baiturahman. Kepala naga telah keluar dari bivak. Situasi lenggang ketika Kohler memutuskan istirahat.
“Dum” Suara keras berdentum dari balik reruntuhan masjid, tepat mengenai kepala Kohler. Ia terduduk, dibawah pohon Kulumpang. Seketika si penembak diberondong tembakan oleh tentara Belanda, diantara suara tembakan Belanda itu.
“Jantungnya Umar.”
“Baik”
“Dum!”
Suasana hening, penembak kepala Kohler diketemukan adalah seorang belia belasan tahun. Mayatnya disayat-sayat oleh pedang panjang serdadu Belanda. Sebuah mata nanar menatap kejam ke alang-alang di depan Masjid Raya Baiturrahman. Kejam dan dingin, Kolonel E.C Van Daalen. Hingga akhirnya ia berbalik dan menendang kepala pejuang Aceh yang diketemukan.
“Kita beruntung.” Di dalam alang-alang wajar Umar kehilangan darah, hitam memucat. Melihat wajah kematian teman dan lawan dalam satu adegan, terlalu ganas. Bahkan bagi jiwa membara sepertinya. Bahwa nyawanya juga dalam ancaman yang sebegitu dekat, wajah maut terlalu mengerikan.
“Kelak akan ada pertentangan tembakan mana yang mengakhiri target kita, Umar. Apakah kepala atau jantung yang mencabut nyawanya? Namun biarlah saudara kita yang syahid tadi menerima kesegala pujian akan keberanian dan kegigihannya.”
Lama, hingga suasana menjadi sepi. Belanda kembali ke Bivak membopong jenazah sang Panglima setelah membakar habis jasad pejuang tak bernama itu. Belanda yang dingin dan keji tak ingin meninggalkan jejak musuhnya dalam catatan sejarah.
“Saatnya kita berpisah Umar!”
Mereka berpisah mengikuti rute penyelamatan diri dan posisi mundur. Umar bergerak lebih dahulu, sedang Durjana mengaburkan jejak, dalam langkah dan sejarah. Baik kawan maupun lawan tak ada yang boleh mengetahui pergerakan mereka.
Cepat atau lambat, kabar terbunuhnya Panglima Tertinggi Ekspedisi Belanda terhadap Kesultanan Aceh tersiar, moral para pejuang naik, sedang Belanda kehilangan motivasi. Kecuali Van Daalen, ia menyimpan dendam yang amat sangat. Bersikeras melanjutkan perang hingga mendapati dirinya sendiri. Pelan tapi pasti kaum muslimin mengepung Belanda, hingga akhirnya mereka memutuskan mundur. Semakin tersuruk menuju pantai Ceuremen.
29 April 1873
Setelah menahan derita dan kerugian besar, dan setelah permintaan mundur dikabulkan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Gontai dan kehilangan harga diri kapal itu meninggalkan perairan Aceh, disambut gegap gempita. Namun perang belum selesai, pembasmian dimulai. Segala Uleebalang dan anteknya yang dianggap bekerja sama dengan Belanda dipancung. Kepalanya dipertontonkan dipasar, dipaku pada tombak. Bahkan tanah ini masih menginginkan darah setelah kejayaan gemilang. Umar menikmati pertunjukkan, namun dalam hati ia masih menginginkan pertempuran.
“Durjana kau tidak ikut serta membantai pengkhianat?”
“Beta menangisi mereka yang dibantai, mereka yang sedarah dengan kita. Dalam perjuangan, sebuah tangisan ini adalah pengkhianatan. Adakah kau juga ingin membantaiku Umar?”
“Durjana yang dungu?” Umar tertawa. Tak mengherankan mengapa kekuatan tenung mampu menyihir nurani kita, ketika pembungkaman sesuatu yang berbeda dianggap hal yang hebat. Maka tiada sisa untuk sifat pemaaf, rasa kasih bahwa seorang manusia betapapun tak berartinya, ia bagian dari keluarga, ayah dari anaknya, abang dari adiknya, suami bagi istrinya atau kekasih bagi cintanya. Semua gelap, ditelan kebencian.
“Mungkin, kita memang memerlukan pengkhianat Umar! Bukti bahwa kita ini tidak murni. Bukti bahwa kita semua manusia.”
“Jika engkau berkhianat Durjana, maka akulah yang akan memenggalmu.” Umar masih tertawa. Keberhasilannya mengakhiri nyawa Kohler adalah rahasia mereka berdua, tentunya ia ingin semua orang tahu. Namun ia menikmatinya dari dalam batinnya, paling tidak saat ini. Hubungan antara dua anak manusia yang pernah bersama melewati saat hidup dan mati sangat istimewa. Pertama dan yang paling penting, keduanya saling menggantungkan diri untuk menyelamatkan diri. Bekerja di daerah tak bertuan di antara maupun di depan garis pertempuran. Tanpa dukungan dari siapapun, dan jika misi tidak tercapai, keselamatan satu bangsa menjadi taruhan.
“Bagaimana jika yang berkhianat itu kamu, Umar.”
Seperti ombak dipantai, yang selalu menghempas karang. Sejarah adalah pilihan yang selalu berulang. Akankah ia menghancurkan semua hambatan? Mungkin tidak. Adakah ia adalah harapan yang busuk? Pasti tidak.
XXXXXXXXXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Reblogged this on khafidfoundation and commented:
Risalah,, good,,,
Terima kasih Eros 😀 Senang bisa berkunjung kemari.
Sama-sama,, 🙂
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh