RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM
Tiap-tiap manusia bertanggungjawab atas segala lakunya, adapun tentang hal di luar dirinya sungguh dia tak punya kuasa apa-apa, semua terkena hukum perubahan. Kisah ini bukan hendak menegakkan kembali masa lampau yang jauh. Sebuah kisah galibnya hanyalah permainan kata-kata, menjalankan ritus. Sebuah lanskap telah berubah dan tak mungkin kembali, menjadi hanya sebuah periode, secuil pada suatu zaman. Ini adalah masa-masa dimana sejarah (belum) sepenuhnya luruh.
XXX
Koetaradja, 1879 Masehi.
Dahulu, buat mencari jalan masuk kampung-kampung, yang sulit adalah mencari pintu masuk ke kampung, berpagarkan bambu berduri, banyak jalan yang bersimpang siur diperbuat, guna menyesatkan orang asing. Jika tidak tahu jalan terpaksalah ia berkeliling sampai terpasah ke tempat yang jauh dari kampung. Diperbuat untuk melindungi kampung dari penyerbuan musuh yang hendak memasuki dengan tujuan jahat. Bila pintu kampung telah didapatkan, maka orang yang hendak masuk kesitu sampai ke depan sebuah gerbang kayu, yang dijaga oleh pengawal bersenjata, dan dipancangkan tonggak berpalang dimaksud jangan sampai musuh masuk dengan mudah dari luar dan ternak tidak lari keluar.
Sekalian orang yang dipandang sebagai sahabat atau keluarga, akan diberi jalan oleh para pengawal, masuk kampung dengan leluasa, sambil membawa senjatanya dengan aman menuju rumah yang hendak didatanginya. Bagi orang kemalangan dan tersesat di jalan serta tidak dikenal, jika ia meminta bermalam di sana, asal beragama islam diizinkan. Tapi segala senjatanya wajib diserahkan di pintu gerbang, sesudah itu dia diantarkan ke meunasah, di sana ia tidur bersama sekalian pemuda kampung.
Si tamu tidak usah khawatir, nyawa dan harta bendanya akan diperlindung, setiap orang islam yang menumpang disambut dengan segala keikhlasan dan ramah tamah, adat berkata tak layak seorang muslim tidur bermalam di luar rumah, di tengah padang ataupun rimba, yang galib diperlakukan kepada diri orang kafir. Dan apabila musuh yang datang ke pintu gerbang, maka kepala kampung akan menyongsongnya, sambil membawa kelewang terhunus di tangan kanannya, dan membawa sekalian anak-anaknya di sebelah kiri. Lalu ia berkata dengan senyum simpul kepada musuh atau bekas musuhnya; “Silahkan masuk! Dengan kelewang ini saya akan melindungi tuan!” Demikianlah adat istiadat orang Aceh sebelum Belanda datang yang katanya hendak mengadabkan orang-orang Aceh yang liar dengan paksa kekuatan mereka, dan mengajarkan mereka memberi tabik dan bersalaman. Ini adalah masa-masa sebelum Istana Daroddonya jatuh ke tangan Belanda.
Aku menyusup masuk ke Koetaradja, sebuah kota bikinan Belanda setelah istana sultan Aceh di duduki. Kota ini dikelilingi oleh jalur-jalur besi yang dilalui kereta api yang berputar siang dan malam. Ular besar kata orang-orang Aceh, jalurnya dimulai dari Lamjamee (Barat) sampai Lamnyong (Timur), ditengahnya Lambaro (Selatan) dengan percabangan di Lamreung dan Ketapang Dua, kemudian menuju ke Pantee Pirak sampai ke Ulee Lheu (Utara). Di Pantee Pirak Belanda membangun sebuah jembatan yang menghubungkan dengan Peuniti, di sana pula, pada bekas tanah sultan mereka membangun sebuah gereja. Tidak seperti jaman kesultanan di mana jalan-jalan sempit, Belanda membangun jalan lebar-lebar. Orang-orang Aceh yang biasa bepergian dengan perahu dipaksa menjadi manusia daratan, sementara kapal-kapal besi menjaga setiap muara agar tidak ada kapal yang keluar masuk.
Daerah Neusu yang merupakan pangkalan pasukan darat sultan diubah menjadi lapangan dan asrama tentara Belanda, Pante Pirak yang merupakan pelabuhan armada kapal sultan diubah menjadi pangkalan marinir. Masjid Raya sudah akan dibangun kembali oleh Belanda, dengan rencana gaya yang sangat tidak Aceh berkubah seperti masjid-masjid di Turki, pada umumnya masjid di Aceh memiliki atap segi empat sebagaimana Masjid Indrapuri, sebagaimana Masjid Tengku dianjong.
Tanggal 9 Oktober 1789, Gubernur Militer Belanda untuk Aceh, Jenderal Van Der Hayden, si mata satu, si anak dajjal. Meletakkan batu pertama pembangunan masjid raya yang baru, Baiturrahman. Diadakan sebuah perjamuan yang besar, berduyun-duyun orang Aceh datang dari semua tempat, termasuk aku. Masing-masing kepala mukim memakai pakaian kebesarannya, segala macam emas berkilau-kilau disulamkan kepada pakaian mereka. Rencong berhulu dan bersarung emas, kunci emas juga tergantung pada kampil sirihnya. Orang-orang kebanyakan juga mengenakan pakaian seindah-indahnya, semahal-mahalnya yang masih dapat dilindungi dari perampasan tentara Belanda ketika lari mengungsi. Semua berbondong-bondong ke Koetaradja.
Jenderal Van Der Heyden menerima kedatangan mereka, dikawal satu poleton tentara Belanda lengkap dengan senjatanya. Teuku Kadli, kepala kehakiman membuka pidato, pesan yang disampaikan kepada khalayak bahwa kedatangan Belanda semata-mata untuk membawa kemakmuran serta perdamaian. Di samping itu pemerintah Belanda memberikan kemerdekaan kepada semua orang buat menganut agamanya masing-masing. Sesudah selesai pidatonya Teuku Kadli itu, maka diletakkan batu pertamanya untuk bangunan Baiturrahman baru. Bahwa di Aceh saat itu telah terjadi sebuah upacara yang tak pernah diselenggarakan oleh Belanda di mana pun. Ini semua dengan tujuan sebagai penciptaan tali persahabatan yang menghubungkan kedua belah pihak. Peperangan telah berakhir kata Belanda.
Tahun 1878 Masjid Montasik telah jatuh ketangan Belanda, beserta kampung di sekitarnya. Masjid Agung Indrapuri yang dipandang suci dan terletak jauh di pusat pemerintahan sagi XXII pemerintahan Panglima Polim, dan juga dipertahankan oleh Imeum Luengbata beserta pasukan Aceh akhirnya telah jatuh juga ke tangan Belanda meskipun terjadi pertempuran sengit. Panglima Tibang telah meninggalkan Aceh tunduk kepada Belanda. Telah banyak orang-orang Aceh terkemuka yang telah tunduk. Tinggal Panglima Polim, anaknya Raja Kuala, Imuem Lueng Bata, saudaranya Husin Lueng Bata, Nanta Setia, Cut Nyak Dhien dan Teuku Umar yang masih membawa panji-panji perlawanan, mereka pantang tunduk lalu berpindah ke Pidie, tempat kediaman Tengku di Tiro, dan juga di daerah Tuanku Hasyim beserta Sultan Daudsyah yang berdiam di Keumala. Mungkin ditambahkan oleh orang-orang pantai barat, daerah-daerah Muara Woyla dan Meulaboh yang masih berjuang. Meskipun begitu sementara waktu Aceh dapat dikatakan aman, senjata-senjata disimpan oleh kedua belah pihak, sunyi senyap di seantero wilayah, sebagian rakyat yang mengungsi telah kembali ke kampungnya, menanami sawah, pasar-pasar pun ramai.
Butuh waktu sekitar dua pekan untuk mencapai Keumala dan melaporkan hasil amatan kepada Sultan, ketika aku melaporkan kepada Sultan Muda itu bahwa wilayah kraton dan tiga sagi telah ditaklukkan dia terlihat kecewa.
Dia terlalu belia untuk mengingat masa-masa sebelum Belanda datang, sungguh aku kasihan dengannya yang terserabut dari akarnya. Sultan kami masih sangat muda, semoga kelak pengalaman demi pengalaman mengajari dirinya banyak hal. Memimpin Kesultanan Aceh Darussalam dari pengasingan, Ada begitu banyak tali sejarah yang mengikatnya dengan sesuatu yang lebih tua, sesuatu yang lebih dahulu hadir. Ia beruntung memiliki seorang wali yang bijaksana, Tuanku Hasyim Banta Muda.
Tuanku Hasyim sebagai walinya, duduk di sebelahnya, memandangku dengan mata berapi-api. Menusukku dan berkata; “Jangankan damai, tapi rasa dendam bertambah meluap-luap. Jika kita mendapatkan giliran, akan kusorakkan dan tancapkan rencongku pada Belanda terkutuk itu!’
Aku tak hendak membantah, tapi aku harus berkata jujur kepada sultan dan walinya; “Belanda sangat kuat, mereka tak berkira-kira untuk menjatuhkan pukulan cemeti yang bertubi-tubi atas kulit kita. Tuanku, baik Belanda maupun kita, keduanya sama-sama manusia, sama-sama berperasaan dan berpikiran, sebelum terlanjur kalah total apakah salahnya kita berdamai?”
Menilik pada kenyataannya, telah terlihat pada awal perang sekalipun, meskipun pertempuran silih berganti terjadi, secara akal pikiran dapat diperkirakan kemenangan terakhir ada pada pihak Belanda.
“Damai? Jika mayat-mayat sekalian orang Aceh yang gugur tidak akan berbalik dari dalam kuburnya, dan tidak dapat mengeluarkan suara protes yang terdengar dari dalam kubur, tapi kita masih hidup, setiap kita berziarah mustahil akan tinggal diam dan hina memohon damai kepada penjajah yang datang memijak tanah airnya dengan segala kekerasan, dan mengalirkan darah di seluruh Aceh. Engkau bersama kami atau menjadi manusia hina Durjana?” Pekik Tuanku Hasyim.
Aku menatap Tuanku Hasyim, memandang Sultan Alaidin Muhammad Daudsyah. Api yang membara bagi mereka dan bagi anak cucunya, tak akan ada damai dengan Belanda sampai kiamat dunia. Aku menjawab pelan; “Jika itu merupakan kehendak paduka, maka sampai berputih tulang hamba akan setia.”
Aku menangis, air mataku jatuh bertali-tali. Mereka tersenyum, senyuman mereka terbungkus kenangan dan kerinduan ironis yang tak terucapkan. Keyakinan mengalahkan sulitnya harapan, titik dimana lupa menyiapkan kekosongan.
XXX
Akan ada banyak rintangan menghadang di tahun-tahun ke depan, dan karakter seseorang tidak ditentukan dari cara mereka menikmati kemenangan, tapi dari cara mereka menghadapi kekalahan, tidak ada yang dapat membantu melewati masa kelam selain iman di dada. Kita manusia hanya hidup sementara, di antara kerlip bintang kemudian hilang. Hidup mulia atau mati syahid.
(Bersambung)
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh