
Mungkin rindu tak pernah mati. Rindu tak dibiarkan mati. Tiap kali rindu yang luar biasa dimakamkan, ia dipanggil lagi, digosok kembali, dan berubah, berkali-kali berubah.
MONOLOG BULAN
Mungkin ada sebuah alasan untuk segala sesuatu. Ia bertaut dengan semai nangka, perdu mangga, jambu jatuh, angin gunung dan warna langit: hal-hal yang tak muluk, tak kekal tapi indah. Ia memberi mereka makna. Kita tak ingin ia mati.
Mungkin kata-kata tak akan mampu menjelaskan hidup secara utuh. Bahwa bahasa tak mungkin terwakilkan penuh hanya kalimat, di tiap saat, yang diam, yang bisu, selalu menunggu. Mimik peristiwa demi peristiwa diam dan tak mau pergi sebegitu saja.
Mungkin sampai saat ini tak pernah terpikirkan, sewangi apapun sebuah hasrat akan memisahkan bajik. Bahwa akal, nurani, bajik dan rasa pernah berjibaku. Dengan segala hormat tak akan pernah disesali, meski ruang dan waktu seolah sia-sia.
Mungkin rindu tak pernah mati. Rindu tak dibiarkan mati. Tiap kali rindu yang luar biasa dimakamkan, ia dipanggil lagi, digosok kembali, dan berubah, berkali-kali berubah. Mungkin ia tak perlu punya raut muka yang asli. Ada yang menyentuh, mengejutkan dan mempesona disana.
Mungkin hidup akan mati berkali dalam intuisi. Bahwa selalu ada yang menggetarkan dalam nostagia. Selalu ada yang menggetarkan dalam kisah perjuangan yang tak sampai, tapi berharga. Sebuah cerita yang tersembunyi dan tak akan mungkin dikisahkan, karena ia kalah. Terbuang, batil ditangan pemenang, para juara.
Mungkin, aku tak berharap layak engkau maafkan. Mungkin aku hanya ingin mengatakan pada diri sendiri, seseorang bisa menunjukkan bahwa syukur dan sabar bisa datang dalam sunyi yang mendengarkan. Nyanyian kecil yang manis kepada hidup. Bahwa ada muncul setelah tiada. Maka sungguh hidup ini sebenarnya mengapung diatas ketiadaan.
XXXXXX
Pingback: MONOLOGUE OF THE MOON | Tengkuputeh
Pingback: SEBUAH KOTAK HITAM | Tengkuputeh
Pingback: JANGAN MENCINTAI LAUTAN | Tengkuputeh
Pingback: MAKNA NOSTAGIA | Tengkuputeh
Pingback: NUN | Tengkuputeh
Pingback: YANG TERCINTA MALAHAYATI | Tengkuputeh
Pingback: CINCIN | Tengkuputeh
Pingback: ODA SEBATANG POHON | Tengkuputeh