CERITA SEBUAH GUDANG
Hanya sebuah gudang
Dimana setiap sudutnya dihuni serangga
Dimana setiap sisinya dipenuhi kegelapan
Kumuh dan berdebu
Diantara bangku dan meja yang lapuk
Duduk termenung menghayati hidup
Merasakan dunia ini laksana sebuah gudang
Dan diri ini semakin kecil dan kerdil
Dulu, aku berusaha mengubahnya dengan teriakan-teriakan
Walau mereka ,menutup kedua daun telinga
Dan kini melupakan dan mencampakkan
Kesini disebuah gudang tua
Dalam sebuah gudang, terlewat dari hiruk pikuk dunia
Hanya ada keterasingan dan terlupakan
Merasakan nikmatnya sebuah keterasingan
Bersama-sama dengan tikus-tikusnya
Banda Aceh, Sabtu 5 Oktober 2002
pertamax nih abu
Silahkan Liza 🙂
selamat menyepi di dalam gudang wahai abu
semoga tikus-tikus itu tidak menularkan leptospirosis padamu.
sepi itu terkadang indah
mesti yang terdengar hanya suara cicak atau pun tikus
Hehehehehehe,,, ya begitulah Liza. 😀
Ketiga pun boleh,….
assalamu’alaikum tengku,
Cerita mengenai Gudang nih, saya jadi ingat sebuah Gudang di kampung saya yang pernah terlantar, dan setelah DOM terjadi, gudang tersebut kembali hidup sebagai tempat penyiksaan…
Yach,… apapun itu semua telah berlalu… namun Gudang tersebut sekarang kembali berubah fungsi sebagai Gudangnya Setan Gentayangan yang juga suka berteriak- teriak setiap malam,.. Hiyyyy….
Waalaikumsalam bro,,,,
Setiap bangunan dalam bentuk fisik pasti punya cerita ya kan 😀 Manusialah yang menjadi pelakunya. Baik itu baik ataupun buruk.
kalau gudang penjaranya seperti yang dinikmati oleh si ayin alias aralyta suryani, pasti ndak akan ada tikus yang berani melintasinya, mas tengku, hehe …
Hehehehehehe,,, Mas Sawali itu bukan hanya tidak berupa gudang. Melainkan Hotel berbintang. Memperlihatkan kepada kita Power of Money…
selain debu,
barang-barang terlupakan. gudang juga menyimpan sepi
Bung Karang,, dan sepi itu dalam betuk gelap dan hitam…
Pingback: Homepage
Pingback: BARA API IDEALISME | Tengkuputeh
Pingback: YANG TERCINTA MALAHAYATI | Tengkuputeh
Pingback: CINCIN | Tengkuputeh
Pingback: MONOLOG BULAN | Tengkuputeh
Pingback: DALAM JUBAH SUFIKU | Tengkuputeh