ILUSI ASSOSIASI BUDJANG LAPOK
Manusia berkembang seiring dengan berjalan waktu, beberapa melesat jauh meninggalkan yang lain, beberapa berjalan santai, dan beberapa tertatih. Tidak bisa sama pada setiap orang, karena masing-masing kejadian dalam waktu berbeda-beda penjelmaannya, bergantung pada tempat kejadian berlaku. Syarat untuk peristiwa adalah urutan waktu, tapi itu belum cukup, untuk menjadikan peristiwa itu “ada”. Karena apabila tapi tidak terjalin hubungan dan penjalin tersebut adalah sebab-akibat. Hukum Kausalitas. Manusia adalah makhluk sejarah, ia menyerap segala apa yang dilaluinya, sejatinya ia selalu berubah.
Tapi, menjadi tua tak ada urusannya dengan kondisi tua fisik. Itulah fatwa yang dilontarkan Barbarossa. Menjadi tua, katanya, adalah sebuah imajinasi tentang rasa tua. Begitu anda, katanya lagi merasa menjadi tua, berarti anda telah berproses menjadi tua. Sebaliknya, bila anda merasa terus muda berarti anda akan terus awet muda. Apakah fatwa itu benar? Yaitu “menjadi tua” adalah masalah persepsi, masalah imajinasi. Seorang seperti Tabib Pong mungkin akan mengamini, akan tetapi seseorang (lain) yang seperti Penyair agak bimbang menghadapi fatwa seperti ini.
X
Assosiasi Budjang Lapok menikmati imaji “kemudaan” itu menerima kenyataan akan kondisi riil tubuh mereka sudah menurun. Begitulah, dalam kunjungan Amish Khan bertemu dengan kawan-kawan. Kami saling berjabatan tangan dengan akrab, saling memukul pelan-pelan bahu kami, dan saling bertegur sapa dengan hangatnya. Suasananya itu berjalan mulus sampai sekarang setidaknya begitu.
Selalu hidup adalah sebuah ironi. Masing-masing anggota ABL memiliki cerita tersendiri, ada yang unik disitu. Sebuah grup yang menolak di-stereotip-kan dan larut dalam keragamanan. Ada yang berhasil, ada yang gagal, ada yang berusaha, ada yang berlari kecil. Ada yang sedang rapuh dan ada yang sendiri. Mereka semua adalah manusia, makhluk mikrokosmos yang sedang mewarnai bumi, sang makrokosmos. Bukan sesuatu yang akbar, namun berarti. Bukankankah alam semesta bergetar karena butir-butir di dalamnya bertukar tempat.
XX
Sebuah lepau nasi, rembang petang sudah menyongsong dengan senja biru gelap.
“Aku pikir kamu sudah meninggal?” Tembak Amish Khan kepada Mas Jaim yang sudah lama tak muncul di lepau nasi. Mas Jaim hanya bersungut-sungut gelisah mendapat penyambutan seperti itu.
Amish Khan memang memiliki kata-kata yang keras, sebelumnya Tabib Pong menjadi tumbal ketika mulai jarang berkumpul, “Apa ndak perlu kami antar menikah nanti? Ndak pernah kelihatan lagi?” Meski memiliki kata-kata yang tajam, yakinlah pria ini adalah yang memiliki hati paling lembut diantara seluruh Assosiasi, meski ia hampir selalu tidak bisa mengkomunikasikan hal tersebut.
Tabib Pong menggerutu, “Mentang-mentang sudah menikah ancamannya ngeri! Dan itu tidak adil karena yang tersisa diantara kita hanya empat!” Ia selalu kesal dengan ketidakadilan, terutama bila dirinya yang menjadi korban.
Mas Jaim tidak memiliki mekanisme pertahanan udara sebaik Tabib Pong hanya terdiam menerima “pengeboman” Amish Khan, dan bukan rahasia lagi bahwa sebenarnya ia sangat dongkol dengan Amish Khan.
“Aku tidak jadi menikah.” Mas Jaim mengaku. Suasana lepau nasi menjadi hening, sejak tahun lalu Mas Jaim sudah berancang mengakhiri masa bujang, semua anggota Assosiasi menyadari itu. Setiap pukulan yang menyertai salah seorang anggota merupakan pukulan keseluruh assosiasi, mereka terpekur.
“Jadi kapan kamu diputuskan?” Tanya Mister Big tanpa tendeng aling-aling. Lugas dan padat, penuh makna. Sekaligus lancang dalam mengambil kesimpulan.
Barbarossa tertawa terbahak, “Kok tahu Mister? Jangan-jangan kamu sudah lama tahu?” Maka jangan ragukan kemampuan sang maestro dalam memprovokasi, mengarahkan tanpa ada yang tahu bahwa ia sedang menyampaikan pikiran melalui orang lain. He is the best about that.
Wajah Mas Jaim memerah, akan tetapi wajah Mister Big lebih merah lagi. Tabib Pong geram melihat kelakuan dua temannya tersebut yang seolah mempermainkan perasaan Mas Jaim.
Laksamana Chen menyambar, “belum tentu Mas Jaim yang diputuskan, bisa jadi ia yang memutuskan. Teman kita ini sesuatu.” Kata-kata Laksamana Chen selalu bermakna ambigu ibarat belati. Menusuk atau menguatkan, tergantung sisi mana yang kau rasakan.
Senyum sumrigah di wajah Mas Jaim.
“Beta yakin, pasti Mas Jaim yang diputuskan.” Penyair keceplosan.
Barbarossa tertawa dan menunjuk Penyair, “Ini dia orang paling kejam di kelompok kita, tidak punya perasaan, dia merendahkan kamu Mas Jaim.” Pernahkah kalian mendengar? Bahwa orang yang memiliki kekejaman setengah mati adalah mereka yang berwajah tanpa dosa? Jika belum, syukurlah.
Mas Jaim menatap Penyair dengan penuh kebencian, dan Penyair menunduk malu.
“Jadi bagaimana ceritanya Mas Jaim?” Tanya Barbarossa antusias.
“Begini ceritanya, akh sudahlah.” Suara Mas Jaim terputus.
“Berarti benar dugaan kami?” Amish Khan meng-konfirmasi-kan suara hati teman-teman semua. Mas Jaim hanya menunduk pelan. Adalah Barbarossa yang pertama memeluk Mas Jaim hangat, memberikan simpati terdalam untuk sahabatnya tersebut.
Kemudian Barbarossa berkata, “kejadian ini, kasus ini membenarkan teroriku. Bahwa laki-laki bisa saja menjadi korban dalam sebuah hubungan, bahwa sasaran kekerasan tidak hanya monopoli kaum perempuan. Laki-laki bisa menjadi korban!” Ia menggetuk meja dengan geram.
“Buang segala drama itu! Mari kita dirikan Komisi Perlindungan Hak Laki-Laki.” Tambah sang Patriach. Amish Khan mencibir, Tabib Pong melonggo sedang Mister Big geleng-geleng kepala.
Ditengah suara tepuk tangan Laksamana Chen, Penyair mencoba menyela, “ide yang sangat konyol.”
“Yang sudah punya tanggal diam!” Tunjuk Barbarossa ke Penyair, bagaimanapun Barbarossa memiliki masalahnya sendiri. Ketika setiap anggota di Assosiasi berubah, ia tidak merasakan hal yang sama. Belakangan emosinya meledak-ledak, entah apa yang terjadi di alam pikir sang ketua yang biasanya memiliki emotional balance terbaik diantara mereka itu.
Menurut analisa Amish Khan yang merupakan musuh tradisional Barbarossa dalam organisasi, ini semua diakibatkan oleh tak lama lagi sang Penyair menikah (sebuah tanggal sudah dibisikkan). Memang secara kedekatan karakter ia lebih dekat ke Tabib Pong, secara waktu lebih banyak dihabiskan dengan Mister Big, dan secara geografis lebih dekat ke Laksamana Chen. Akan tetapi secara kultur ia lebih dekat ke Penyair. Secara sikap Penyair adalah Anti-Barbarossa, begitupun sebaliknya Barbarossa adalah Anti-Penyair. Akan tetapi dua kutub yang berlawanan sejatinya akan saling tarik menarik dan itulah yang diduga membuat sang ketua merasa kehilangan amat sangat. Sekali lagi ini hanya dugaan, di dasar hati seseorang who know?
Penyair serba salah dan terdiam.
Mas Jaim terharu, ia memuja Barbarossa akibat pembelaan terhadap dirinya. “Bolehkah aku ikut kamu malam ini Barbarossa?” Hari menjelang Maghrib, sesaat lagi para Assosiasi akan bubar dan menjalankan aktifitas masing-masing dan Mas Jaim tidak ingin menangis sendirian di rumah.
Barbarossa menatap Mas Jaim dengan pandangan penuh kasih sayang, ia berdiri dan melemparkan koin. “Tidak Mas Jaim, malam ini aku ingin sendirian. Sendirian bersama angin.” Ia pun pergi bergegas.
Mas Jaim memandangi sekeliling, semuanya memasang wajah tidak tahu dan beberapa mengangkat bahu.
Kala Adzan Maghrib mengalun syahdu. Matahari sedang terbenam di belakang lengan panjang sisi barat pegunungan. Matahari masih menyisakan mega di langit, tapi bayang-bayang panjang telah menjulur ke Bandar, puing-puing kelabu yang jatuh dalam kegelapan. Dan Bandar berdiri sendirian di sana.
XXX
Jika tuhan selalu memberikan apa yang kita inginkan. Bagaimana bisa kita belajar bersyukur? Semua peristiwa hanyalah semata-mata peristiwa, tapi cara kita menyikapinyalah yang memberi label, kan? Entah itu diberi judul tragedi atau keberuntungan. Semesta adalah ilusi.
Manusia melihat dirinya sebagai korban atau sebaliknya. Semoga saja dia sadar kalau dia sedang berpijak di semesta yang serba-relatif. Dan sebuah cerita selalu memiliki fungsi, pesan dan amanah. Seperti hidup, itulah yang membuat ia berarti.
XXXX
pu singkatan keu asosiasi nyoe? 😀
Singkatannya adalah ABL 😀
Pingback: BUKU ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: VIRTUE ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: BERSATULAH ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: GEMPAR ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: TERLARANG ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: RAGA ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: BOIKOT ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: KRISIS ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: BAHAGIA ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: BERAI ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: LALAI ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: CIDUK ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: LINGKARAN ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: BAYANGAN ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: KURANG ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: JAJAK PENDAPAT, ABL TERFAVORIT VERSI PEMBACA | Tengkuputeh
Pingback: BAYANGAN ASSOSIASI BUDJANG LAPOK - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: HILANG ASSOSIASI BUDJANG LAPOK - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: LALAI ASSOSIASI BUDJANG LAPOK - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: GEMPAR ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: NASIB ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh
Pingback: AKHIR ASSOSIASI BUDJANG LAPOK | Tengkuputeh