TAMAN KANAK-KANAK
Cinta adalah energi dasar. Tunggal. Kebencian pun berasal dari energi yang sama, hanya ia mengalami proses saturisasi, dan semua pemilihan katagori cinta sesungguhnya adalah satu zat sama dengan kadar polusi berbeda-beda. Polusi itu tercipta di pikiran kita, jadi apabila pemilahan-pemilahan tadi lenyap, yang ada hanyalah mengalami. Cinta adalah mengalami. Bukankah itu inti semuanya? Mengapa ada hidup, mengapa kita mati, mengapa kita jatuh cinta, berkeluarga, beranak pinak, mengapa ada ini dan itu? Semua adalah pengalaman. Ingin mengalami adalah hasrat yang paling dasar. Sesuatu yang agung dan substansial ingin mengalami, dan jadilah ini semua. Ia mengalami melalui kita semua.
(Ternyata) kita bersemangat kepada sesuatu yang justru tidak kita tahu.
Konon, kita memang tidak pernah tahu akan bertemu dengan siapa hari ini atau esok lusa. Dan, ia menemukan seseorang yang memaksanya kembali ke masa lalu. Hidup memang aneh. Banyak penjelasan dalam ketidakjelasannya. Di dunia ini, bersifat kebetulan, tapi konsekuen dan terkadang tak realistis. Setiap hari memilih diri sendiri tanpa merasa bosan demi menuju besok.
Aku mengalami semacam rasa malu ketika duduk disini untuk menulis seakan aku akan menelanjangi jiwaku, atas perintah – tidak, Tuhan! Hanya hidup, ternyata hidup bukan cuma terbatas yang kita alami sekarang ini saja. Ini hanya sekelumit dari berbagai kehidupan lain.
Aku merasa seakan pikiranku berada dalam sebuah mendung yang sambung menyambung yang mencegahku menoleh ke belakang. Pikiranku kosong, seakan tahu ada sesuatu yang harus kuingat, tetapi tidak bisa, maksudku, sesuatu yang merupakan bagian ingatan seseorang yang lain. Akan tetapi, mengapa aku berfilsafat dan tidak merangkai peristiwa-peristiwa? Mungkin karena aku ingin tahu tidak hanya apa yang aku lakukan kemarin, tetapi juga seperti apa aku di dalam – yakni, andaikan ada sesuatu di dalam diriku. Mereka bilang bahwa jiwa adalah sekedar apa yang dilakukan seseorang.
Semua bermula dari kertas kosong, seperti taman kanak-kanak. Sekumpulan anak-anak, anak-anak ini mungkin akan menjadi gembrot pada usia tujuh belas, tingginya akan mandek pada usia lima belas. Dia yang paling cantik hari itu mungkin berubah, dan menjadi peneliti LIPI. Anak yang diklaim paling jelek mungkin akan menjadi model top pada usia dua puluhan. Segala probabilitas dan ketidakpastian hidup tak memberikan sedikitpun alasan menjadi pemenang disitu. Menang untuk apa?
Mungkin, aku tak berharap layak mendapatkan pe-maaf-an. Mungkin aku hanya ingin mengatakan pada diri sendiri, seseorang bisa menunjukkan bahwa syukur dan sabar bisa datang dalam sunyi yang mendengarkan. Nyanyian kecil yang manis kepada hidup. Bahwa ada muncul setelah tiada. Maka sungguh hidup ini sebenarnya mengapung diatas ketiadaan. Manisku, aku akan jalan terus. Membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan bersama hidup yang begitu biru. Aku tidak lagi berlari. Cuma mencari. Dulu, keduanya bercampur. Sekarang, tidak lagi.
Tak disangka hari ini akan tiba. Hari dimana aku tidak ingin berlari (lagi). Dan sesunguhnya banyak liku dan lorong dalam masa lalu, terkadang manusia tak mau mengakui, bahwa ingatan tergantung dari kemarahan kita di suatu waktu. Maka selesailah sudah kemarahan dalam hening. Dalam salam hangat. Agar tiada yang tersakiti (lagi) karena aku pengecut.
Sekarang (sudah) saatnya membuat bocah itu mengerti pria macam apa yang diinginkan ayahnya (dulu).
Pingback: FANA | Tengkuputeh
Pingback: AKHLAK | Tengkuputeh
Pingback: LELAKI TUA YANG MISKIN | Tengkuputeh