RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA
Ulee Lheu. Oktober 1872, Pantai ini sudah terkena pendangkalan parah. Bintang hitam tak bisa merapat, sebuah sekoci merangkak pelan ke Pantai Cermin. Sang Durjana pulang dari petualangan. Jantungku berdetak kencang, rasa rindu semakin berarti jika sudah di dekat rumah. Akhirnya kumenjejakkan kaki didaratan.
Dua puluh tahun, tidak ada perubahan. Beginikah nasib Aceh Darussalam, jalan setapaknya masih sama. Orang-orang lama semakin tua, dan orang-orang baru tak lebih baik. Untuk apa kepulanganku ini? Kadang-kadang kubertanya pada diriku sendiri sehingga benar-benar meyakini bahwa kepulanganku adalah untuk membela bangsaku sendiri.
Melayu Sumatera telah takluk baru-baru ini ditangan Belanda, dan diberi nama Keresidenan Riau. Deli sudah lama jatuh. Tiku, Barus dan Pariaman sudah lama hilang dipeta Aceh Darussalam. Diakhir abad XIX diseantero Nusantara hanya Aceh Darussalam dan Tanah Batak yang masih merdeka. Dan kedaulatan keduanya terancam oleh Traktat Sumatera sebuah persesengkolan tingkat tinggi antara Inggris dan Belanda, tapi apa yang mereka lakukan? Hanya bersantai saja di kedai seolah pasrah akan takdir yang akan menuntun pada kemenangan.
“Durjana!” Dari lepau nasi suara tak asing memanggil.
“Bang Baka?” Terdengar tawa yang khas.
“Begini rupanya wajah lanun yang diburu oleh seluruh Negara. Waktu seolah berhenti untukmu wajahmu masih sama ketika kita bertemu terakhir kali” Tembaknya.
Aku tersenyum dan datang padanya. “Sekarang aku bukan lagi kepala lanun. Kapal Bintang Hitam sudah kulepaskan, didepan abang sekarang hanyalah Ahmad. Abang sendiri bagaimana kabarnya sekarang?” Ya, kini aku sendiri dan para kelasi sudah kubebas tugaskan ditengah lautan. Hari ini aku memulai hidup sebagai orang baru, bukan lagi sebagai kepala perompak hanya seorang anak manusia biasa.
“Aku sekarang saudagar, memasukkan beras dari Jawa.” Ia berkata.
“Bukankah kampung Bang Baka di Meuredu sana penghasil beras untuk kesultanan?” tanyaku heran.
“Durjana, sudah terlalu lama kamu pergi dan tak tahu kabar negeri lagi. Kaum bangsawan meringkuk ketakutan di istana Darul Kamal, sedang para Uleebalang sibuk bertikai, negeri kita tak terurus.” Bang Baka menggerutu pelan.
“Ceritakan padaku bang.” Pintaku, mengambil kursi dan duduk. Dari mulut bang Baka kuketahui bahwa banyak raja-raja lokal kecil yang gelari Ulee Balang tak mengindahkan lagi kewibawaan sultan yang berketurunan Bugis. Daerah Peurelak menjadi sarang penyamun membajak kapal-kapal niaga Inggris dan Belanda, harta jarahan dari para kafir. Sultan Mahmud Syah tak mampu mencegahnya, padahal ini disuatu hari akan dijadikan alasan oleh Belanda untuk menyerang ibu kota Bandar Aceh Darussalam. Raja Meulaboh dan Raja Teunom berselisih, mengakibatkan darah terbuang sia-sia. Nasib negeri ini diujung tanduk namun tak seorang pun yang berupaya untuk mencegahnya, tragis. Mereka terlalu percaya akan kehebatan masa lalu, pada kemampuan mengusir Portugis padahal sudah lebih dua ratus tahun berlalu. Pada kemampuan armada laut menguasai Selat Malaka dan pantai Barat Sumatera dulu. Nafasku sesak.
“Jadi apa yang akan kau kerjakan pada kepulanganmu ini Durjana?” Bang Baka memiliki karakter khas saudagar yang berasal dari Tanah Pidie, penuh harapan.
“Tak tahulah bang, mungkin aku akan pulang ke rumah.” Mataku menerawang jauh menatap lautan biru bersama mega-mega di langit. Dulu kami menguasai laut, sekarang bahkan kami tak berdaya didaratan.
“Hanya begitu, reputasimu sebagai lanun bahkan menjadi legenda. Aku bahkan mengetahui kehebatanmu ketika berlabuh di Semarang, Orang-orang Belanda menakuti anak-anak mereka yang nakal dengan namamu.” Cerita lisan cepat berkembang, dari mulut ke mulut. Setiap mulut menambah bumbu sehingga sampai ditelinga terakhir menjadi sangat menakutkan.
“Jadi sekarang apa yang akan kau lakukan?” Bang Baka mengulangi pertanyaan yang sama seraya memainkan matanya, berharap mendapat jawaban dariku. Jelas sekali ia hendak menularkan semangatnya padaku. Tapi aku, dalam pengembaraan selama ini terlalu banyak melihat kejatuhan berbagai negeri pada kekuasaan orang-orang putih, sehingga padaku tak ada harapan yang sama.
Untuk pertama kalinya, aku tak tahu harus berkata apa. Mulutku kelu. “Aku sudah tua, empat puluh tahun. Mungkin aku akan pulang dan mengasah kelewang dan menanti kapan perang kita dengan Belanda atau Inggris terjadi.” Aku berjalan dan tak melihat kebelakang lagi, saat ini aku hanya ingin menemukan rumah untuk tidur. Dalam buaian ibu pertiwi setelah dua puluh tahun pergi.
XX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
kisah yang menarik dan sarat nilai perjuangan, mas tengku. kira2 endingnya gimana, yah? biasanya sang durjana pasti akan suskses ditaklukkan.
Hihihihihi, zaman sang durjana sdh berlalu ya mas…
sangat inspiratif bang,,!! likes this..!!
Terima kasih rahmi…
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA PULUH | Tengkuputeh