
Terkadang aku merasa telah kehilangan, segalanya. Mungkin, kita berpergian seperti orang lain, tapi pulang ke sebuah tempat yang tak ada.
HUJJAH SENJA
Sungguh ketika aku memandang pegunungan hijau disana, secara tak sadar menikmati sentuhan tanah yang keras di telapak kakiku, menghirup bau bukit dan pohon-pohon nun jauh disana. Aku tak sengaja memandangi sepucuk pohon, dan di depan mataku ia seakan-akan berubah menjadi perlambang kefanaan, perjuangan kami, kehilangan kami. Dan pada saat itu juga, aku merasa direnggutkan dari pohon itu, dan sebagai gantinya terlihat tanah kosong ke mana amarah dan rasa mengalir, masuk ketika merasa terlalu banyak harapan membebani. Membebani pundak ini, yang bahkan tak mampu tegak.
Terkadang aku merasa telah kehilangan, segalanya. Mungkin, kita berpergian seperti orang lain, tapi pulang ke sebuah tempat yang tak ada. Di situ seperti terungkap rasa sedih yang ditelan. Tempat yang tak ada itu justru begitu berarti, tempat yang tak hadir tapi dibentangkan tiap hari, bahkan dalam mimpi.
Terkadang ketika matahari tenggelam dibalik gunung, ketika cahayanya hilang perlahan. Merasakan gelap datang. Terlintas kutuk akan rindu, rindu yang teramat sangat akan sebuah hati, yang disakiti berkali. Tanpa permaafan, tanpa penyesalan, tanpa pilihan untuk kembali. Bahwa semua harapan yang pernah ada, tiada tersisa.
Selalu hidup sebagai hasrat, atau menghimbau seperti cakrawala. Setiap didekati ia menjauh, namun disanalah arah ditetapkan. Matahari terbit dan tenggelam dan terbit lagi, akan tetapi repetisi itu tak terasa rutin pada tiap harinya. Antara cita-cita, kemungkinan, ketergusuran, nostalgia dan sulitnya harapan.
XXXXXX