SEORANG TANPA NAMA TANPA GELAR
Seorang berdoa dengan cukup keras, “Ya Tuhan, bukakan pintu agar hamba dapat menghadap padaMU.” Mendengar doa orang tersebut, Rabi’ah pun berkata. “Oh si gila! Adakah (pernah) pintu itu tertutup?”
XXX

Seumpama setetes air di lautan, aku hanya bisa menjadi bagian dari gelombang. Seorang tanpa nama tanpa gelar. Oh, betapa dahsyatnya cinta.
Ia berkata kepadaku. “Perjalanan hidup itu memang menyakitkan, terlahir di dunia adalah cabaran cobaan yang tak henti-henti. Tak putus-putus dan terus meningkat kadarnya sepanjang usia. Akh, dunia yang wajib dihadapi, meninggalkannya haram, sedang menyakininya menjadi syirik.”
“Bahwa perjalanan paling penuh derita padamu adalah ketika harus melalui lembah cinta. Memasukinya engkau harus menjadi api yang menyala, begitulah kukatakan padamu. Wajah seorang pencinta harus menyala, berkilau dan berkobar-kobar bagaikan api. Cinta yang sejati tak mengenal resiko yang menyusul kemudian, dengan cinta, baik dan buruk menjadi tiada.”
“Tapi halnya engkau, yang tak acuh dan tak peduli, perkataanku tak akan menyentuhmu, bahkan tak akan mendesir sedikitpun pada kalbumu. Siapakan yang sedia mengorbankan harta, bahkan mempertaruhkan kepalanya, dan menjadikan bahaya sebagai sahabatnya, selain dari seorang pencinta yang keras kepala.”
“Bila engkau memulai perjalanan ini dengan tak mau melibatkan diri secara penuh dan seluruh, maka jangan harap dirimu akan terbebas dari kedukaan dan kemurungan yang akan memberatinya. Sebagaimana elang sebelum mencapai ke sarang, ia gelisah dan sedih. Sebagaimana ikan yang didamparkan ombak ke bibir pantai, ia menggelepar-gelepar hendak kembali ke dalam air. Sebegitupula perjalanan cinta, ia hanya ingin pulang.”
“Di lembah ini, cinta dilambangkan dengan api, pikiran dengan asap. Bila cinta datang, pikiran lenyap. Logika tak bisa tinggal bersama kedunguan cinta, cinta tak berurusan dengan akal pikiran insani.”
“Dalam pandangan batin cinta, zarah-zarah dari dunia akan tersingkap bagimu. Akan tetapi jika engkau hanya memandang dengan mata biasa, engkau sulit memahami apa perlunya untuk mencintai.”
“Hanya mereka-mereka yang telah diuji dapat bebas merasakan ini. Dia yang bertekad menempuh perjalanan ini hendaknya memiliki seribu hati, sehingga tiap saat, tiap sebentar, ia siap dapat mengorbankan satu, semua itu demi cinta.”
Aku terjaga dalam relung tak terpeluk malam. Ia berkata kepadaku dalam puisi yang tak kupahami. Ingin ku kenali dia, sekarang aku merasa asing. Seumpama setetes air di lautan, aku hanya bisa menjadi bagian dari gelombang. Seorang tanpa nama tanpa gelar. Oh, betapa dahsyatnya cinta.
XXX
Bait al-Hikmah, 10 Ramadhan 1440 Hijriah. Bertepatan 15 Mei 2019 Masehi. (Hari ulang tahun pernikahan yang kelima). Teruntuk istriku tercinta.
Pingback: PERJALANAN YANG LUAR BIASA | Tengkuputeh
Pingback: SUNYI | Tengkuputeh
Pingback: MENGUNCI MALAM | Tengkuputeh
Pingback: APA ARTI MASA DEPAN | Tengkuputeh
Pingback: PERAHU BAA MENCAPAI ALIF | Tengkuputeh
Pingback: PENJARA PIKIRAN | Tengkuputeh
Pingback: SEMERBAK AROMA ANGSANA DI BANDA ACEH | Tengkuputeh
Pingback: JEJAK LANGKAH | Tengkuputeh
Pingback: HATI RESAH BERKISAH | Tengkuputeh
Pingback: DERITA | Tengkuputeh
Pingback: KOPI PAHIT SEMALAM | Tengkuputeh
Pingback: PUISI WARUNG KOPI | Tengkuputeh
Pingback: MIMPI MIMPI PION | Tengkuputeh
Pingback: GELAS KEHIDUPAN | Tengkuputeh
Pingback: KEMBALI PADA KEKASIH | Tengkuputeh