MENCARI PAHLAWAN MEMILIH JAGOAN
Tahun 1992 panen kuini di Kabong sedang bagus-bagusnya, di sore yang cerah itu aromanya masuk sampai ke selasar rumah. Sore yang cerah di bulan Juni, jam menunjukkan pukul 5 sore. Abu yang saat itu berusia 8 tahun, libur sekolah, pulang kampung dan menonton (mungkin) sebuah filem dokumenter dari televisi tabung hitam putih. Seorang botak dengan bercak hitam berjalan rapuh disebuah dewan. Abu bertanya kepada Nek Juz. “Siapa dia?”
Nek Juz menjawab, “Gorbachev.”
“Nama yang aneh, terus kenapa kepalanya ada bercak hitam?”
“Itu bekas dibacok, makanya dia bernama Gorbachev, artinya pernah dibacok dari bahasa Rusia. Dia komunis, orang jahat!” Jawab Nek Juz asal.
Kemudian tak lama muncul seorang pria dengan senyum manis, duduk disebuah meja dengan latar gedung putih.
“Siapa dia nek, sepertinya dialah anak mudanya (pahlawan –penulis)? Tanya Abu lagi.
“Oh itu Reagan, dia presiden Amerika sebelum Bush.”
“Pasti dia seorang jagoan, bukan seperti Bush yang menyerang Irak kemaren ya nek (Perang Teluk I -penulis).”

Tahun 1987 Pemimpin tertinggi Uni Sovyet Mikhail Gorbachev (kiri) dan Presiden Amerika Serikat Ronald Reagan (kanan) menandatangani perjanjian pelucutan senjata nuklir yang menandai perang dingin (1947-1991)menuju akhir. Sumber AFP.
Nek Juz tertawa, tapi tak menjawab. Waktu itu Abu masih terlalu kecil, naif untuk memahami dunia. Perang dingin baru selesai, Uni Sovyet baru beberapa tahun lalu bubar, Amerika baru mengalahkan Irak di Perang Teluk pertama. Awal tahun Sembilan puluhan adalah tahun-tahun yang padat dengen perubahan.
Baca juga cerita terkait: KAKI GAJAH dan KAKI GAJAH BAGIAN DUA
Koridor itu beraroma kuini dan uap panas tadi siang masih berasa. Itulah kenangan Abu yang masih dapat dibayangkan sekarang, sebuah rumah yang kelak dihancurkan tsunami tahun 2004. Sebuah lanskap yang tak akan dapat direkonstruksikan kembali secara fisik, seperti bentuk patung es yang sekarang telah mencair. Orang-orang telah pergi dalam sekejap mata, hanya kenangan butut Abu yang masih mengingatnya, menghidunya, tapi sampai kapan?
XXX
Sewaktu masih kecil, ketika Abu memikirkan seorang pahlawan, jagoan yang menyelamatkan semua orang dari angkara murka, membasmi segala kebatilan. Tapi lupa berpikir tentang orang biasa yang terbangun setiap paginya, masyarakat biasa saja yang membaca berita di pagi hari. Logika kita seolah membagi dua jenis orang antara jagoan dan orang biasa.
Tahun 2019, sekitar 27 tahun kemudian, tepatnya ketika usia Abu telah 35 tahun. Menginsafi bahwa bobot badan telah bertambah 5 kali lipat dari tahun 1992. Tapi bukan itu yang membuat Abu khawatir, was-was atau sampai berkeringat dingin. Sistem perpolitikan di Indonesia, tentu sudah berubah dari masa-masa orde baru. Dulu pilihan cuma satu, sekarang hanya dua. Toh, lebih baik memang, tapi juga sekaligus tak terlalu baik.
Ini adalah tahun-tahun dimana pikiran terkotak seolah hanya 2 kebenaran. Pihak A mengakui diri adalah pahlawan sedang lawannya penjahat, begitupun pihak B. Pemilu 2014 membelah bangsa, pemilu 2019 semakin memecahnya. Tiap-tiap pihak mengklaim sebagai yang suci, sedang pihak lain dilabelkan sebagai yang nista. Oh, permainan pahlawan ini begitu mengenaskan. Sebenarnya yang dibutuhkan dunia bukanlah pahlawan. Dunia ini membutuhkan orang-orang yang memilih menjadi keduanya, bersamaan. Dimana pun itu diseluruh dunia, betapa Malangnya sebuah negeri yang membutuhkan seorang pahlawan.
Indonesia tahun 2019 bukanlah Mesir pada zaman Nabi Musa. Bahkan pihak A dan B tak ada yang sesuci Musa dan sekotor Firaun. Masing-masing adalah manusia biasa dengan lebih dan kurangnya masing-masing.
Ironisnya, ini terjadi ketika saat ini kita merupakan orang-orang yang paling bertekhnologi, paling deras arus informasinya, paling terkoneksi antar sesama lebih dari masa apapun sebelumnya. Dalam sekejap mata kita bisa terhubung ke seluruh dunia, berita yang kita dapatkan tepat pada saat kejadian.
Jokowi dan Prabowo oleh banyak orang, berjela menjadi berhala, dan Tuhan dipasang sebagai fotocopy, banal dan tanpa keagungan. Betapa menyedihkan bahwa dalam tahun-tahun belakangan ini Abu telah melihat banyak orang membuat pilihan yang salah tentang loyalitas. Mendukung itu sewajarnya, tidak perlu sampai membenci. Soalnya mereka berdua politisi, jamak hari ini mengatakan A, besok bisa bilang B, politik itu sangat cair, tergantung lobi dan kepentingan.
Jokowi dan Prabowo adalah manusia biasa, sebagaimana Reagan dan Gorbachev, mereka bisa berseteru tapi tak menolak jika harus berpelukan bersama, mengapa kita sebegitu bebal sehingga antar sesama pendukung harus saling membenci, dan melupakan bahwa yang paling kuat, paling perkasa adalah Tuhan yang Maha Kuasa, yang disebut dan dipanggil nama-Nya dengan Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Tolong hentikan kebencian, dan menganggap pilihan kita adalah Pahlawan, jagoan sedang pihak lain sebagai bandit atau setan. Akh, entahlah. Mungkin Abu sedang demam tinggi sehingga meracau.

We must be aware that when heroes come, storytellers overtake them. But before both are available, viewers first exist. All of us, most are just attendees. Anti Heroism a poster by tengkuputeh.
Kita harus sadar bahwa ketika para pahlawan datang, karena pendongeng mendahului mereka. Tapi sebelum keduanya ada, pemirsa terlebih dahulu ada. Kita semua, kebanyakan hanyalah hadirin. Seperti umumnya legenda, yang banal pun bisa jadi bagus, yang biasa seakan-akan dalam, kita tak peduli lagi bila yang ada di dalam pikiran (mungkin) jangan-jangan hanyalah fantasi.
Berbagai cerita lainnya di: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU