RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA
Harta yang paling berharga
Istana yang paling indah
Puisi yang paling bermakna
Mutiara tiada tara adalah Keluarga
(Keluarga Cemara)
XXX
Bandar Aceh Darussalam, circa 1873
Apakah artinya lelaki?
Lumpur menempel di sepatuku setiap kali melangkahkan kaki, kaki ini terasa letih dan pegal sekali. Rasanya tanah sudah mencabut sepatu dari kaki ini. Tadi aku tergelincir di saat-saat yang tidak menguntungkan ke dalam timbunan yang dalam. Manusia, binatang dan gerobak lewat terus menerus membuat tanah setebal lima belas senti menjadi tanah rawa yang nyaris tak bisa dilalui. Sambil tersaruk-saruk maju, aku memikirkan ibu kota, takut kalau pertempuran sampai kesana. Kuharap idiot-idiot itu berhasil melewatkan malam tanpa terbunuh. Tubuh bagian kiri masih berdenyut-denyut, pengecut sialan.
Kini aku sudah mendekati rumah, setelah berminggu-minggu bersiaga di pesisir mungkin aku butuh istirahat selama 1-2 hari. Aku masuk lewat belakang, aku melihat istriku berdiri di atas ember berisi air panas bersabun, sedang menggosok pakaian di atas papan pengilasan. Lengan bajunya digulung sampai ke atas siku, dan pipinya memerah karena memeras tenaga, ia tidak pernah tampak lebih cantik lagi di mataku. Istriku adalah penghiburanku, penghibur dan tempat berlindung. Dengan menatapnya saja sudah membantu meringankan rasa kebas yang mencengkram.
Melihatku, ia segera meninggalkan cuciannya untuk berlari menghampiri, menggunakan bagian depan roknya untuk mengeringkan tangannya yang memerah. Aku sedikit mengambil ancang-ancang ketika ia melontarkan diri kepadaku, melingkarkan lengan di dadaku. Sisi tubuhku terasa nyeri, dan mendengus kecil.
Ia melonggarkan pelukannya dan mencondongkan tubuhnya menjauh, mengerutkan kening. “Oh! Apakah aku menyakitimu?”
“Tidak. Aku hanya sedikit pegal.”
Ia tidak bertanya lagi tapi kembali memeluk, lebih lembut, dan menegadah menatapku, matanya berkaca-kaca. Ia memelukku di pinggang, aku membungkuk dan menciumnya, aku sangat bersyukur akan kehadirannya.
Istriku melingkarkan lengan kiriku pada bahunya sendiri, dan aku membiarkan ia menopang setengah badan selagi kami menaiki tangga rumah. Sambil mendesah, aku bersandar diselasar, ia mendekatkan diri ke api kecil di dapur yang dinyalakannya memanaskan air, tempat sekuali sie reuboh1) sedang bergolak.
Ia menuangkan sie reuboh pada mangkuk dan menyerahkannya kepadaku. Kemudian ia kembali ke dapur, membawa segelas air dan sepiring nasi. “Ada lagi yang kau butuhkan?” Ia bertanya, suaranya kedengarannya serak, tidak seperti biasanya.
Aku tidak menjawab, hanya menangkupkan tangan pada wajah istriku dan mengelusnya dua kali dengan ibu jari. Ia tersenyum gemetar dan meletakkan tangannya pada tanganku, kemudian ia turun ke bawah mengambil cuciannya.
Aku menatap makanan lama sekali sebelum menyuap, merasa tegang, merasa ragu bisa mencerna makanan ini. Namun setelah beberapa suapan nasi, seleraku kembali dan mulai menyantap sie reuboh dengan lahap. Setelah selesai, aku meletakkan piring dan mangkuk di atas meja kemudian mencuci tangan dan meminum sisa air.
“Kami mendengarkan suara keras tembakan dari arah laut,” katanya, sambil memeras kain sampai kering. “Apakah kaphe2) akan segera datang kemari?”
“Tidak, kami akan mengusir mereka di pantai, mereka tidak akan pernah sampai kemari.”
Aku menatap perut istriku ketika ia menyampirkan kain pada jemuran darurat yang dibentangkan di serambi rumah. Kapan saja aku memikirkan anak yang sedang dikandungnya, ia merasakan kebanggaan luar biasa, tapi disertai kecemasan, karena tidak tahu bagaimana cara menyediakan rumah yang aman bagi bayi kami nanti. Juga, jika perang belum selesai pada saat ia melahirkan, ia berencana meninggalkan garis depan dan pergi ke Pidie, tempat yang jauh dari medan pertempuran, tempat kami bisa membesarkan anak dalam suasana yang cukup aman.
Aku tidak bisa kehilangan mereka, tidak pernah.
“Bagaimana keadaan di pantai?” Ia bertanya. “Bagaimana?”
“Kami harus berjuang untuk mempertahankan setiap jengkal tanah.”
“Orang-orang membicarakan betapa banyak kapal-kapal hitam musuh di laut, kadang-kadang mereka menembak, bahkan ke pemukiman di pesisir.”
“Iya.” Aku membasahi lidah dengan air, kemudian aku mendeskripsikan bagaimana Belanda telah mengepung lautan. Betapa kekuatan laut armada Kesultanan Aceh Darussalam hanya tinggal kenangan, tidak ada kapal-kapal perang kami yang menyambut mereka. Halangan-halangan yang dihadapi Belanda nantinya hanya terfokus di darat saja. Kaum Uleebalang3) meski aku tak membenci mereka seluruhnya, tapi sedikit banyak ini terjadi karena nafsu teritorial mereka, sehingga membuat kekuatan Kesultanan Aceh Darussalam saat ini hanya terfokus di darat.
“Tapi rencana kaphe tak akan berhasil, orang-orang kita akan bertarung dengan berani. Ku dengar kau pun bertarung dengan berani.”
Aku tertawa. “Ha! Sebenarnya tidak istriku. Aku beritahu, sebenarnya tidak sampai dari sepuluh lelaki yang sebenarnya ingin berperang. Sebagian besar mereka ragu untuk bergerak dan tidak ingin bertarung kecuali terpojok. Atau mereka hanya berisik tapi tidak melakukan apa-apa.”
Istriku terperangah. “Bagaimana bisa begitu? Apakah mereka pengecut?”
“Aku tidak tahu. Kurasa, kurasa pertama pasukan kita sebenarnya bukan tentara, kebanyakan hanyalah pedagang, petani dan orang-orang biasa. Tentu beda dengan musuh yang seluruhnya adalah tentara terlatih. Kedua, mereka belum pernah membunuh sekalipun seumur hidup, jadi mereka tidak mampu menatap seseorang secara langsung dan membunuh lawan nantinya. Maka mereka selalu mengharapkan ada orang lain yang tidak mampu mereka selesaikan. Mereka menunggu orang seperti aku.”
“Apakah pasukan Belanda sama enggannya?”
Aku mengangkat bahu. “Mungkin saja, tapi mereka adapah pihak yang datang menyerang. Mereka tidak punya pilihan lain. Mereka datang untuk berperang, maka mereka pasti bertempur.”
Ia meninggalkan cuciannya dan mencium dahiku. “Aku senang kau bisa melakukan apa yang perlu kau lakukan suamiku.” Ia berbisik, “tadi aku merasakan sesuatu, aku merasakan sesuatu terjadi padamu.”
“Aku sedang berada di depan medan pertempuran. Tidak mengejutkan jika kau merasakan kecemasan setiap menit.”
Ia berhenti menggosok dengan tangan penuh air, “sebelumnya aku tidak pernah merasakan begitu.”
Aku mencari alasan untuk menunda hal yang tak terhindarkan. Aku berharap bisa menyembunyikan detail kemalangan yang menimpanya di garis depan, tapi jelas sekali ia tidak akan berhenti mendesak sebelum mengetahui kebenarannya. Berusaha meyakinkan istriku bahwa tidak terjadi apa-apa malah akan membuat ia membayangkan kejadian yang jauh lebih parah daripada yang sebenarnya. Lagi pula, tidak ada gunanya aku menahan informasi ketika kabar kejadian itu akan menyebar juga di kalangan orang-orang Aceh.
Maka aku memberitahu, aku bercerita singkat dan berusaha menjabarkan runtuhnya pertahanan kami akibat dimeriam oleh kapal hitam Belanda hanya sebagai sesuatu yang menjengkelkan semata, bukan hal yang nyaris membuatku terbunuh. Tapi aku kesulitan untuk menjelaskan pengalaman itu, dan berbicara tersendat-sendat, mencari kata yang tepat. Ketika selesai, aku terdiam, gelisah mengingat kejadian itu.
“Setidaknya kau tidak terluka?” Katanya.
Aku mencongkel lantai dengan kuku, ‘tidak.” Suara air tidak berkecipak lagi, aku merasa ia menatapku.
“Kau pernah menghadapi bahaya yang jauh lebih besar.”
“Ya, kurasa begitu.”
Suaranya melembut. “Kalau begitu, apa masalahnya?” Ketika aku tidak menjawab, ia berkata. “Tidak ada hal begitu mengerikan sampai kau tidak bisa memberitahuku, suamiku. Kau tahu itu.”
Ujung kuku ibu jari kananku tertusuk ketika aku mencungkil lantai lagi. Aku menggosok-gosok ujung kuku yang jadi tajam beberapa kali dengan telunjuk. “Aku mengira akan tewas ketika tembok itu runtuh.”
“Semua orang bakal berpikir begitu.”
“Ya, tapi masalahnya, aku tidak keberatan.” Dengan penuh kecemasan aku menatap istriku. “Tidakkah kau mengerti? Aku menyerah. Ketika aku sadar tidak bisa mengelak, aku menerimanya begitu saja seperti kambing yang hendak disembelih, dan aku.” Aku menutup wajah dengan tangan. Leherku tercekat dan membuatku sulit bernafas. Kemudian aku merasakan jemarinya lembut dibahuku. “Aku menyerah,” aku menggeram, marah dan jijik pada diri sendiri. “Aku berhenti berjuang, untukmu, untuk anak kita.” Aku tercekat.
“Sst, sst,” Ia bergumam.
“Aku belum pernah menyerah. Tidak satu kali pun. Bahkan ketika tahu kaphe telah mengeluarkan maklumat perang.”
“Aku tahu.”
“Perang ini harus berakhir. Aku tidak bisa terus seperti ini. Aku tidak bisa. Aku.” Aku menegadah dan dengan ngeri melihat ia pun hendak menangis. Aku berdiri, melingkarkan lengan pada tubuhnya dan memeluk erat. “Maafkan aku. Maafkan aku. Maafkan aku. Tidak akan terjadi lagi. Aku berjanji.”
“Aku tidak memedulikan itu.” Katanya, suaranya membekap dibahuku.
Jawaban istriku membuat aku merasa ditampar. “Aku tahu aku memang lemah, tapi setidaknya kata-kataku seharusnya berarti untukmu.”
“Bukan itu maksudku!” serunya, dan menarik diri menatapku dengan sorot menuduh. “Kadang-kadang kau memang bodoh suamiku.”
Aku tersenyum samar. “Aku tahu.”
Ia mengaitkan tangan ke belakang leherku. “Pandanganku padamu tidak akan berkurang, apa pun yang kaupikirkan ketika tembok runtuh. Yang terpenting adalah kau masih hidup. Tidak ada yang bisa kau lakukan ketika benteng itu runtuh, bukan?”
Aku menggeleng.
“Maka kau tidak perlu merasa malu. Kalau kau tidak bisa menghentikannya, atau jika kau bisa meloloskan diri tapi tidak melakukannya, maka kau akan kehilangan rasa hormatku. Tapi kau sudah melakukan apa pun yang bisa kau lakukan, dan ketika kau tidak bisa melakukan apa-apa lagi, kau berdamai dengan takdirmu, dan kau tidak melawannya tanpa guna. Itu adalah kebijakan, bukan kelemahan.”
Aku membungkuk dan mencium dahinya. “Terima kasih.”
“Bagiku, kau adalah lelaki paling berani, paling kuat dan paling baik di seluruh Aceh.”
Kali ini aku mencium pipinya. Setelah itu ia tertawa, singkat dan lepas dari ketegangan, kami berdiri dan berayun-ayun berdua, seakan-akan menari mengikuti melodi yang hanya bisa kami dengar berdua.
Kemudian ia mendorongku sambil bercanda lalu melanjutkan mencuci, aku kembali duduk pada serambi rumah, merasa nyaman untuk pertama kalinya sejak perang, meski tubuh ini nyeri dan pegal-pegal.
Dari atas rumah aku mengamati istriku di sumur, dan aku melihat, selagi istriku bekerja, bagaimana suasana hatinya yang ceria berangsur-angsur berubah menjadi jengkel. Ia terus menggosok dan menggosok noda lumpur, tapi tanpa hasil yang nyata. Kerutan menguasai wajahnya, dan ia mulai mendengus karena frustasi. Akhirnya, setelah ia melemparkan gumpalan kain ke papan penggilas, memercikkan air berbusa beberapa meter keatas, dan bersandar pada ember, bibirnya dikatup rapat-rapat. Aku turun dari rumah panggung dan mendatanginya, mencoba menolongnya.
“Sini, biar aku saja,” katanya. “Itu tidak pantas.”
“Omong kosong. Duduklah, aku akan menyelesaikan.”
Ia menggeleng. “Tidak, seharusnya kau yang beristirahat, bukan aku. Lagi pula, ini bukan pekerjaan laki-laki.”
Aku mendengus. “Siapa yang bilang? Pekerjaan laki-laki, atau pekerjaan perempuan, ini adalah pekerjaan yang harus diselesaikan. Sekarang duduklah. Kau akan merasa lebih baik begitu kakimu diistirahatkan.”
“Aku baik-baik saja.”
“Jangan konyol.” Dengan lembut aku mendorongnya menjauh dari ember, ia bergeming.
“Ini tidak benar,” ia memprotes. “Apa yang dipikirkan orang?” Ia menunjukkan kepada rumah tetangga.
“Mereka boleh memikirkan apa saja. Aku menikah denganmu, bukan mereka. Kalau mereka menganggapku bukan laki-laki sejati karena membantumu, maka mereka orang yang tolol.”
“Tapi.”
“Tidak ada tapi-tapi. Ayo. Sana.”
“Tapi.”
“Aku tidak akan berdebat. Kalau kau tidak mau duduk, aku akan mengendongmu ke sana dan mengikatmu ke tiang rumah.”
Eskpresi geli mengantikan kerutan di wajahnya. “Oh, begitu ya.”
“Ya, sekarang pergilah!” Ia masih enggan meninggalkan, aku mendesah tidak sabar. “Kau keras kepala ya?”
“Tidak, aku tidak keras kepala. Kau mau teh?” Ia bertanya. “Mak Biyah memberiku segengam pucuk teh segar tadi pagi. Aku bisa membuat sepoci untuk kita berdua.”
“Aku mau.”
Keheningan nyaman berlangsung di antara kami ketika aku melanjutkan mencuci. Kegiatan itu membuat perasaanku terasa damai. Aku senang melakukan pekerjaan dengan tanganku selain mengayunkan kelewang, dan berada dekat dengan istriku membuatku merasa nyaman.
Aku sedang memeras kain terakhir, dan tehnya baru dituang menungguku disebelah istriku, ketika seseorang meneriakkan namaku dari seberang jalan. Butuh beberapa lama sebelum aku menyadari Baka-lah yang berlari kearah mereka melintasi lumpur. Seorang sahabat yang dikenalnya tepat sebelum perang dimulai, awalnya dia adalah seorang saudagar beras yang menjual hasil bumi sampai ke pulau Jawa, perang telah membuatnya menjadi pendekar yang andal. Aku tahu, bahwa aku bisa mempercayakan sahabatku itu dalam situasi yang paling gawat sekalipun.
Aku meletakkan cucian dan mengeringkan tangan, bertanya-tanya apa yang terjadi. Ketika Baka tiba, kami harus menunggu beberapa detik sampai nafasnya normal kembali. Kemudian, buru-buru, ia berkata. “Ahmad, Panglima Tuanku Nanta Setia memanggilmu ke garis depan, ada pergerakan dari kapal Belanda.”
Aku menatap istriku, ia mengangguk.
“Suamiku akan segera kembali kesana secepat mungkin.” Dengan paras berterima kasih Baka berbalik dan berlari pergi. Sementara istriku masuk kerumah mengambil perkakas miliku, aku membereskan ember dan cucian. Rasa takut dan semangat membuat gerakanku semakin cepat, kuharap aku tidak terlambat.
“Kau sudah siap?” Istriku mengalungkan kain dileherku. Ia mengenakan selendang biru pada kepala dan lehernya.
Aku mengangguk, menciumi dahinya. Perang sudah akan dimulai, aku tidak tahu apakah takdir masih akan memperjumpakan kami. Aku berbalik pergi, sayup-sayup aku mendengar suara tangis yang ditahan. Aku ingin berbalik, sungguh ingin berbalik, tapi aku tak bisa berbalik. Menciumi kain yang diberikan istriku, aku berlari menuju pantai.
XXX
“Ketahuilah, dunia hanyalah ibarat tempat persinggahan musafir melepas penat pada waktu malam dan ketika pagi ia pun pergi meninggalkan.” – Inskripsi pada sebuah makam pada Kerajaan Samudera Pasai abad ke-10 Hijriah.
XXX
- Sie reuboh = Makanan Aceh berupa daging lembu atau kerbau yang diberi cuka dan bumbu, selain jenis makanan juga merupakan sistem pengawetan daging yang membuatnya mampu membuat makanan disimpan dalam waktu lama. Ketika hendak dimakan hanya perlu dipanaskan kembali;
- Kaphe = Bahasa Aceh untuk kafir, sebuah terminologi yang digunakan orang-orang Aceh pada masa itu untuk kolonialis Eropa baik itu Belanda maupun Portugis;
- Uleebalang = Raja-raja kecil di bawah Sultan Aceh, sejenis “landlord” yang memiliki pasukan dan wilayah teritorial.
XXX
(Bersambung)
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Hahahaha. lucu ceritanya….
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh