TERIMA KASIH PADA SASTRA

Seorang penafsir tidak lahir dari ruang hampa, ia makhluk sejarah.

TERIMA KASIH PADA SASTRA

Telah tiba waktu seseorang yang bertambah usianya berkata. Terima kasih kepada sastra yang telah membebaskan untuk berkata tentang “apa” tanpa harus menjadi “apa”, sehingga “apa” yang dikatakannya mungkin dirasa “benar” namun yang berkata sendiri, mungkin bukanlah “wajah” kebenaran

Bisa jadi ia adalah seorang pembual besar, pembicara atau penulis biasa dengan sifat cela yang akbar. Atau seorang pencuri lihay, mengutip dari sekitar dan mengaburkan essensi. Seorang durjana ataukah penyair bisa menjadi Abu yang bijak sekaligus debu dalam satu hembusan.

Adakah ia seseorang yang mengenakan satu wajah yang sama bertahun-tahun, ataukah ia seseorang yang bisa berganti muka dengan cepat? Sebuah wajah disetiap kedalamannya mampu menyembunyikan “kebinatangan” atau “kemanusiaan” dalam satu wujud. Dewasakah wajah itu? Atau ia seseorang yang sudah sampai pada parasnya yang penghabisan, yang kini sudah lungset, berlobang-lobang, dengan lapisan yang telah tersingkap, hingga yang tampak sebenarnya yang bukan wajah manusia, mungkin saja iblis.

Ia punya impian, merasa memiliki kemarahan yang benar, tapi ia ternyata juga punya batas. Mungkin awalnya hanya ingin bersyair. Yang tak ingin menginterpresepsikan apalagi mengubah dunia. Bertemu orang pintar yang mencerahkan dalam bentuk Salek Pungo, mungkin ia tak sebijak apa yang ia tuliskan. Padahal ada saat ia naif dan tidak memahami manis, asam, asin bahkan pahit kehidupan.  Mungkin terlalu naif sehingga seingatnya sosok bernama Mister Popo berkata, “jangan terlalu naif!!” Namun naif dan culas sendiri tak merupakan wujud yang terpisah.

Risalah ini mungkin merupakan Risalah Sang Durjana yang tentunya berkelanjutan dalam berbagai petualangan. Di dunia itu ia berjalan, di wilayah yang lebat dan lindap, penuh tikus dan tikungan, lubang dan sampah, reptil busuk dan rawa payau. Terkadang menjadi penyihir terkadang ksatria. Dan itu adalah sebuah topeng, topeng tak sempurna. Seperti ketidaksempurnaan manusia karena manusia bukan cetakan tunggal murni Adam di atas bumi, yang ditaruh dalam gelas, tanpa sejarah, tanpa ketelanjuran kebudayaan. Machiavelli menyadari itu, mungkin karena itulah ia mengagumi filosof tersebut.

Terima kasih pada sastra, yang telah memperkenalkan kepada ruang dan waktu terutama pada orang-orang. Tiap orang yang memiliki menampilkan kembali secara utuh apa yang diwakilinya, yakni sesuatu yang tak bisa berulang di sosok lain, di benda lain. Bahwa Barbarossa tidak simetris kepada Laksamana Chen apalagi Mister Big. Dan jangan bandingkan pula dengan Penyair. Cerita yang memikat, tokoh yang hidup, selalu menggugat dalam kesederhanaan nasib.

Tiap nama dalam menyiratkan sebuah anekdot. Dengan kata lain, sesuatu yang menarik bukan karena keluasan dan kebesarannya, melainkan karena sesuatu yang justru tidak luas dan tidak besar. Sesuatu yang sederhana. Nama adalah sebuah ikhtiar untuk memberi tanda sesuatu yang melintas, lewat, dan tak akan terulangi. Tapi tiap nama adalah sebuah dunia.

Dan ketika fase empat tahunan ini kembali. Mari mengenanglah akan sesuatu yang tak akan kembali, waktu. Bahwa sebuah bilangan berakhir disini, dan tiba saat memulai hitungan baru. Namun jangan biarkan semua tersapu oleh angin. Sebuah harapan agar memahami kemenangan diri adalah kalahnya diri, bahkan sebelum seseorang mengangkat pedang. Gerak adalah bukan gerak, kehadiran adalah bayang-bayang, dan melepas adalah mendapatkan. satu sikap yang melepaskan diri dan mengambil jarak batin dari pamrih, ambisi, kemenangan, dan dunia benda.

Dan bila gagal pun, wajarlah karena seorang manusia. Manusia memiliki bermacam rasa ketidakberdayaan di hadapan masa depan, juga semacam kesunyian. Tak berdaya dan sunyi, manusia, akan membutuhkan batasnya sendiri.

Duhai diriku, bahkan betapa susah sungguh mengingatmu penuh seluruh.

XXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXXX

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Asal Usil, Cerita, Cuplikan Sejarah, Data dan Fakta, Kisah-Kisah, Mari Berpikir, Opini, Pengembangan diri, Puisiku and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

7 Responses to TERIMA KASIH PADA SASTRA

  1. dmilano says:

    Saleum,
    Entah apalah maksud tulisan ini teuku, otakku pagi ini masih saja terus berfikir kemana gerangan langkah tujuan dari alur tulisan ini. Namun satu hal yang menimbulkan syakwasangka dalam hati terdalam adalah bahwa blog ini sedang menikmati masa – masa 4 tahun terlewat dengan link2 yang mengarah pada tulisan – tulisan yang sudah tertulis. Jika itu benar, ijinkan Cangkir Kupi mengucapkan “Selamat Milat untuk Blog ini semoga kedepan tulisan – tulisan ini akan menjadi sumber inpirasi bagi blogger selanjutnya”.

    • tengkuputeh says:

      Salam kembali
      Terima kasih secangkir kopi, yang membawa kesegaran. Empat tahun sudah menulis, terima kasih atas ucapannya wahai syedara. Semoga apa yang tertulis dapat menjadi synergi antar sesama.

  2. Terima kasih kepada sastra yang telah membebaskan untuk berkata tentang “apa” tanpa harus menjadi “apa”, sehingga “apa” yang dikatakannya mungkin dirasa “benar” namun yang berkata sendiri, mungkin bukanlah “wajah” kebenaran.

    Jangan mudah tertipu dengan apa yang dituliskan, itu memang belum tentu menggambarkan pribadi penulis yang sebenarnya.
    bisa jadi penulis yg dalam tulisannya terkesan menjunjung tinggi hukum, aslinya dia sendiri sering melakukan pelanggaran. bisa jadi penulis yg dari tulisannya terkesan berpegang teguh pada ideologinya, gagah berani, fearless, kejam, dan angkuh, tapi kenyataannya dia fobia kecoak, suka musik melow, suka nonton film-film india atau drama korea sambil meneteskan air mata, dan baca novel-novel chicklit.
    itulah sastra.
    🙂

    btw, Happy b’day Tengku Puteh. tahun ini baru benar-benar sesuai hari jadinya karena tahun kabisat.
    semoga terus berkarya, dan karyanya bisa dinikmati dan bermanfaat bagi pembacanya.
    (walau bagiku, kadang bacaannya rada-rada berat, hehe)

  3. Saya lemot dalam memahami sastra. Tapi bunyi dari tulisan ini, indah bergema dalam kepala 🙂

  4. Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.