RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN
Sejarah itu lebih banyak ditentukan oleh sebagian besar orang kecil dan sedikit oleh orang besar. Kebanyakan orang besar memiliki ide yang besar sehingga melupakan bahwa sesuatu hal yang sederhana mampu mengubah dunia.
Betapa indahnya apabila didunia yang tidak aman ini. Ada seorang pemuda yang hanya menatap keatas langit, dengan kaki menjejak bumi. Sayangnya itu bukan aku. Tubuhku sudah menua, sejujurnya aku merasa apakah diriku berada disini. Bertahun pengembaraan sebagai lanun, penuh petualangan. Dan disini setahun dikampung halaman mendapati diri tak berarti. Terlempar dari pusaran sejarah, terjebak rutinitas di pasar hingga pulang ke rumah ketika petang. Amboy malangnya nasibmu Tuan Durjana.
Selepas Isya, ketika sedang berbolak-balik dipembaringan. Aku mendengar suara kuda datang ke depan rumah. Tertangkap suara menambatkan kuda dibawah rumah panggung. Siapapun yang datang itu adalah seseorang yang amat bersemangat, tak menyembunyikan kedatangannya, ada aura ponggah disana.
“Siapa tuan dibawah sana? Masuklah.”
“Umar anak Meulaboh.”
Umar memburu naik, sedang aku menyalakan lampu minyak dan membuka pintu.
“Masuk! Ada kabar apa malam-malam kau kemari?”
“Beta punya kabar buruk, Belanda menyatakan perang dengan kita. Utusan damai telah gagal kini perang benar-benar di depan mata.”
Anak muda ini masih berumur belasan, cucu raja Meulaboh ini sangat serampangan. Berciri pahlawan dan ingin menjadi pahlawan, dan alangkah malangnya sebuah negeri yang membutuhkan pahlawan. Ia duduk dan melinting tembakau.
“Apa urusannya perang dengan beta?”
“Sudah lama beta menantikan perang. Kakekku Raja Meulaboh tak mengizinkan beta berperang karena Raja Teunom ikut serta mengirimkan pasukan untuk mempertahankan ibu kota. Meulaboh dan Teunom masih berperang, beliau takut beta dan Raja Teunom berselisih kembali.”
“Terus.”
“Beta butuh nasehatmu pelaut tua! Apakah beta harus bekerja sama dengan Belanda menggasak Raja Teunom terlebih dahulu untuk nanti melawan Belanda, atau Beta melanggar perintah kakenda?” Anak muda punya semangat dan kenaifan yang menggelikan.
“Anak muda” Aku menggelengkan kepala.
“Pertama, pelaut adalah masa laluku. Kedua beta hanyalah seorang penjahit tua dipasar. Ketiga, pikiranmu sependek sumbu mesiu.”
Umar anak Meulaboh mengetok lantai kayu, bagaimanapun ia adalah keturunan Raja besar wilayah Barat. Tak senang dibantah apalagi diacuhkan.
“Jadi apa yang harus beta lakukan? Beta tak bisa berdiam diri. Beta harus menonjol!”
“Tentunya kau harus melakukan sesuatu, sesuatu yang besar agar dirimu tercatat pada hikayat.” Sebenarnya aku ingin menyuruhnya pulang saja, berdiam di Meulaboh yang jauh dari Koetaradja ketika Belanda menyerbu. Namun ada sesuatu pada dirinya yang menarikku, pada perilaku yang mengingatkan aku pada masa laluku, bukankah kita selaku manusia berkecenderungan menyukai orang yang memiliki rupa kita dimasa muda.
“Kapan Belanda akan datang?”
“Kapal hitam Belanda kemungkinan sebulan lagi tiba.”
“Baik Umar, yang kamu harus lakukan adalah belilah bedil dari saudagar Portugis. Beli sebanyak mungkin pelor yang mungkin kau beli, berlatihlah menembak jarak jauh. Dan jangan sampai satu orang pun yang tahu. Ketika kau dengar kabar Belanda akan tiba benar-benar. Jumpai aku!”
“Itu saja yang harus beta lakukan? Untuk apa?”
“Jika kau menganggap beta sebagai orang yang kau minta pendapat, laksanakan tanpa membantah!”
“Untuk apa?”
Aku menarik nafas panjang. Anak ini, benar-benar keras kepala.
“Beta mempunyai satu putir peluru, pemberian penyihir Scotland. Dia mengatakan bahwa pelor ini akan mengubah jalannya sejarah. Yakinkan kau dengan perkataan beta?”
“Baik.”
Anak itu bergegas pergi, dengan gaya yang tergesa-gesa. Dapat dipastikan ia langsung menuju ke rumah saudagar Portugis saat ini juga. Aku pun hanya tersenyum. Malam semakin dingin, entah apa yang ada dipikiranku tadi. Mungkin ilusi, namun aku juga ingin terlibat dalam sejarah. Apa yang terjadi besok? Semacam rasa ketidakberdayaan di hadapan masa depan, juga semacam kesunyian. Tak berdaya dan sunyi, manusia, juga di Kesultanan Aceh, akan membutuhkan batasnya sendiri.
XXXXXXXXX
KATALOG RISALAH SANG DURJANA
- BAGIAN SATU;
- BAGIAN DUA;
- BAGIAN TIGA;
- BAGIAN EMPAT;
- BAGIAN LIMA;
- BAGIAN ENAM;
- BAGIAN TUJUH;
- BAGIAN DELAPAN:
- BAGIAN SEMBILAN;
- BAGIAN SEPULUH;
- BAGIAN SEBELAS;
- BAGIAN DUA BELAS;
- BAGIAN TIGA BELAS;
- BAGIAN EMPAT BELAS;
- BAGIAN LIMA BELAS;
- BAGIAN ENAM BELAS;
- BAGIAN TUJUH BELAS;
- BAGIAN DELAPAN BELAS;
- BAGIAN SEMBILAN BELAS;
- BAGIAN DUA PULUH;
- BAGIAN DUA PULUH SATU;
- BAGIAN DUA PULUH DUA;
- BAGIAN DUA PULUH TIGA;
- BAGIAN DUA PULUH EMPAT;
- BAGIAN DUA PULUH LIMA;
- BAGIAN DUA PULUH ENAM;
- BAGIAN DUA PULUH TUJUH;
- BAGIAN DUA PULUH DELAPAN;
- BAGIAN DUA PULUH SEMBILAN;
- BAGIAN TIGA PULUH;
Yah bersambung kah atau ada bagian ke sepuluh ? aku menantikan kelanjutan ini 😀
Salam Kenal….
Salam kenal
Terima kasih atas apresiasinya bung Fendy, sudah terbit edisi yang kesepuluh
😀
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEMBILAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEPULUH | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN SEBELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN LIMA BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DELAPAN BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TUJUH BELAS | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN EMPAT - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA BELAS - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN TIGA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH DUA | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH SATU | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN ENAM BELAS | TengkuputehTengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH EMPAT | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH LIMA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TIGA | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH ENAM | Tengkuputeh
Pingback: RISALAH SANG DURJANA BAGIAN DUA PULUH TUJUH | Tengkuputeh