
Karena seseorang (profesi) yang menganggap dirinya paling penting, paling bisa mengubah dunia, paling hebat adalah orang-orang yang paling sombong, dan paling munafik.
PENUAI PAJAK DAN PERADABAN
Pajak adalah ongkos peradaban. Kita keluar dari sebuah museum, berjalan dengan siul yang aman, dan tahu tidak banyak hal di dunia ini yang gratis, dan kian lama yang gratis itu kian mahal. Museum itu tidak akan berdiri sendiri, rasa aman itu tidak akan timbul, dan kita mungkin tidak akan senang pergi ke sana bila tidak ada hal-hal yang diurus secara publik, penelitian benda-benda kuno, perawatan peninggalan sejarah, jalan ke tempat museum itu, dan mahkamah yang bekerja menjaga tertib hukum semua adalah anasir peradaban manusia, yang perlu diteruskan, dan perlu biaya. Dan biaya itu semua hanya bisa ditutup dengan perpajakan.
Tapi pajak juga (bisa) menjadi sumber kebrengsekan, tiba-tiba kita merasa bisa dan perlu membantah. Pajak juga bisa menyebabkan kesewenang-wenangan. Dengan pajak warga Negara membiayai para legislator di parlemen, para politikus itu. Dan dengan pajak pula warga Negara membayar gaji pejabat, para birokrat, mereka yang disebut penguasa. Dan apa hasilnya?
Dan ternyata pajak juga mampu memicu revolusi. Dalam sejarah Revolusi Perancis, nama paling atas dari urutan paling dibenci adalah financiers. Sebelum Revolusi Perancis, Negara Perancis melakukan “debirokrasi” atau tepatnya “swastanisasi” penarikan pajak. Negara ini, berbeda dengan Inggris, tak punya aparat pemerintahan untuk urusan fiskal. Setiap enam tahun sekali, istana menawarkan kepada sejumlah orang kesempatan “menuai” beberapa jenis pajak tak langsung dari masyarakat. Syaratnya, mereka, yang bekerja dalam satu sindikat, harus menyerahkan sejumlah uang kepada kerajaan.
Orang menyebut mereka sebagai “para penghisap darah” dan mereka menyangka, diri mereka pembantu terbaik kerajaan. Keduanya (bisa) jadi benar.
Mengapa? Dengan efisiensi yang keras, sindikat para “penuai” ini menarik cukai, terutama cukai garam dan tembakau. Dan para financiers ini juga punya kekuasaan lain, dalam komoditi penting seperti tembakau dan garam, mereka sekaligus produsen, pabrikan, pengolah, penjaga gudang, pedagang besar, dan pengecer. Perjalanan garam dari awal sampai ke konsumen merupakan cerita yang ruwet. Di tiap tahap barang di periksa, dicek, dicatat, dikawal, dicek lagi, dicatat lagi, dan tentu dipajak. Harga di kontrol, penggudangan diawasi. Dan itu semua mengkibatkan penyakit bernama “ekonomi biaya tinggi”.
Dalam sistem seperti ini, yang kaya adalah para financiers. Rumah mereka mentereng, gadis-gadis mereka menjadi incaran bangsawan untuk dinikahi, yang ingin mendapatkan cipratan harta yang bisa ditukar dengan sedikit gelar ningrat.
Tapi rakyat, membenci mereka dengan sengit. Sebagaimana tiap profesi, apapun itu, apakah ia dokter atau penjaga gudang beras, apabila mereka mengambil jarak dari sekeliling, kehilangan kepekaaan, dan menganggap yang paling penting adalah profesi mereka sendiri, tanpa kemauan berempati. Maka, orang kebanyakan akan sulit menahan hati ketika berhadapan dengan mereka.
Tak mengherankan ketika revolusi Perancis meletus, kaum “penuai” inilah yang dideretkan dibawah pisau guillotine terlebih dahulu. Seandainya, mereka memiliki kesempatan, seandainya keadaan lain, kepala mereka tak harus terlontar ke keranjang jerami. Tetapi memang (saat itu) Perancis telah gagal diselamatkan.
Beberapa sejarawan menulis, seandainya Perancis seperti Inggris, yang mengandalkan birokrasi yang relatif bersih, dalam hal memungut pajak, dan bukan para “penuai” fiskal yang swasta dan serakah itu. Dinasti Bourbon mungkin akan punya akhir yang lebih enak. Tapi kita tak pernah tahu, sebab sejarah tak bisa ditulis dengan kata “seandainya”.
Hampir 20 tahun sebelum Louis XVI dipenggal oleh kaum Revolusioner. Menteri Turgot mencoba mengadakan “deregulasi”. Ia gagal. Mengapa? Ada yang mengatakan ia terlalu terburu-buru, dan ada yang mengatakan deregulasinya menciptakan banyak musuh yang kepentingannya terancam. Uniknya, tantangan itu hadir malah dari golongan bangsawan (birokrat) yang menikmati hasil yang dituai (dengan foya-foya tentunya). Dan dalam berhadapan dengan masyarakat, mereka memiliki tameng kebencian, para financiers.
Akhirnya di Perancis saat itu, korupsi itu tak lagi tertanggulangi. Ia ibarat kanker yang akhirnya menjerumuskan harapan dan kepercayaan. Ia menyudahi kemungkinan bahwa di sekitar masih ada orang bersih.
Ketika di hari ini muncul pertanyaan. Lihatlah pajak telah dibayar, akan tetapi kemiskinan tetap tak teratasi. Uang akhirnya terhisap oleh para birokrat yang seharusnya menolong orang-orang miskin, malah mereka, si miskin mendapat tetesan terakhir. Pembenaran ini tidak semata-mata lahir dari ruang hampa belaka, masyarakat bukan tikus got yang tak bisa berpikir.
Akan tetapi sebuah bangsa, sulit berjalan tanpa pajak. Perpustakaan rakyat, taman-taman kota, rumah jompo, pemadam kebakaran, sekolah negeri, bantuan sosial jika tanpa pajak, semua itu dengan sendirinya terancam kekurangan anggaran.
Itu tentu bukan soal besar bagi mereka yang kaya. Ia masih bisa menikmati buku diperpustakaannya sendiri, atau terbang ke suatu tempat di Singgapura untuk membeli keramik dinasti Ming. Ia memiliki mobilitas dan alternatif, sedang si miskin tidak. Perpajakan sejatinya adalah manajemen dana-dana dari masyarakat.
Tentu mustahil mengharapkan semua masalah bangsa itu dapat diselesaikan oleh hanya aparat pajak belaka, Negara terdiri dari banyak lapisan birokrat, masyarakat dan bahkan kelompok sosial. Semua orang berhak membantu dan mengawasi, bahkan dari ucapan paling menyakitkan sekalipun. Karena seseorang (profesi) yang menganggap dirinya paling penting, paling bisa mengubah dunia, paling hebat adalah orang-orang yang paling sombong, dan paling munafik. Tidak ada manusia yang bisa hidup tanpa manusia lain.
Oleh karena itu kita mempelajari sejarah. Sebab sejarah adalah kisah-kisah ketidaksempurnaan. Hanya dengan sangka baik kepada dunia, kita tak akan putus asa kepada rahmat-Nya.
Beberapa Opini Pilihan:
- Khusyuk; 14 Juli 2015;
- Tua; 22 Oktober 2015;
- Renovasi; 31 Oktober 2015;
- Serakah; 7 November 2015;
- Passion; 8 November 2015;
- Penuai; 14 November 2015;
- Tsunami; 26 Desember 2015;
- Membakar Buku Membunuh Inteletual; 6 Juni 2016;
- Mencoba Menafsir Makna Mimpi Buruk; 30 September 2016;
- Riwayat Sarung; 9 Januari 2017;
- Menentang Tradisi Memang Tradisi; 5 April 2017;
- Mencari Jurus Penangkal Fitnah Sebuah Jurnal Ilmiah; 11 Mei 2017;
- Memahami Makna Penista; 11 Mei 2017;
- Pengulangan Sejarah; 23 Mei 2017;
- Kesadaran Literasi; 8 Juni 2017;
Pingback: TAX AND CIVILIZATION | Tengkuputeh