ALIM

Alim. bahwa kita akan menjalani kehidupan yang kotor dan berdebu, meski ada kotoran dan debu di jalan. Kita harus hidup dengan melintasi jalan-jalan itu. Kita harus belajar untuk memilah mana deru dan mana debu.

ALIM

Kita patut menangis, zaman ini sebegitu banyak orang mengenakan topeng kealiman. Alim berasal dari bahasa Arab, ilmu. Sehingga alim sesungguhnya berarti orang yang berilmu. Bukankah tugas alim bukan saja mengingatkan harga diri manusia, tapi juga ingin menangkis kesewenangan terhadap sesama, ia tak bisa diam.

Alim mengabdikan hidupnya bukan untuk tujuan duniawi. Ia mengolah terus-menerus pikiran dan rohani. Ia seorang pemikir tanpa pamrih, orang yang mengikuti jiwanya tanpa terikat kepada tendensi sosial dan ekonomi. Mereka mengingatkan kita, dalam mencapai tujuan praktis dan darurat sekalipun, manusia harus ingat kepada hal yang paling mendasar dalam diri, nurani. Sayangnya, dewasa ini pengkhianatan terjadi.

Mengapa? Karena alim atau keilmuan tak berdiri sendiri. Sebenarnya, ada elemen tersembunyi yang jika tak jeli akan terlewat. Akhlaqul Karimah, tanpa akhlak,  kealiman bagai mesin tanpa jiwa. Keilmuan bisa melayani nafsu belaka, nafsu rasial, nafsu ekonomi, nafsu sektarian bahkan nafsu kebangsaan. Dengan kata lain ia hanya menjadi alat untuk memberi dalil intelektual terhadap apa yang mencolok belakangan ini, kebencian.

Ada satu kejadian sekitar tahun 2008. Dengan malas saya hendak menonton konser Peter Pan dan Nidji di stadium Tunas Bangsa Lhokseumawe. Seorang teman kuliah di Universitas Malikussaleh, Fadli memaksa saya untuk ikut, dia tanpa sepertujuan membelikan saya tiket, setelah sebelumnya saya berkilah bahwa harga tiket Rp. 25.000 hanya akan menghasilkan kesia-siaan belaka, tokh saya bukanlah seseorang yang paham dengan musik, sedari kecil saya dekat dengan nenek dan beliau dengan semangat puritan, tidak menyukai segala bentuk dendang. Lebih baik kamu mengaji! Tak pelak, saya mencoba menjadi layaknya seorang Arab kuno, menyelami keindahan kata-kata melalui syair, dan untuk itu saya berhasil, setidaknya menikmatinya.

Tapi waktu itu saya sudah berumur 24 tahun, bertugas di Lhokseumawe dan nenek jauh di Krueng Sabee. Saya pikir tidak ada salahnya, dan ketika tiba di stadiun Tunas Bangsa, kami terkejut. Telah berkumpul puluhan orang berjubah, mereka mengaku berniat akan membubarkan konser tersebut karena tidak sesuai dengan syariat Islam. Si Pemimpin meneriakkan “Allahu Akbar” dengan lantang dan berulang, saya melihat dia, kemudian melihat diri sendiri. Saya dihinggapi perasaan rendah, saya merasa berdosa.

Tapi konser tetap berlanjut, dua truk orang berjubah memantau berjalannya konser tersebut dari tribun stadiun. Penonton tetap dapat menyaksikan bagaimana gantengnya Ariel dan aktraktifnya Giring di stage. Meskipun kami di lapangan menyaksikan konser dengan palang besi yang memisahkan laki-laki dan perempuan. Saya tidak bergabung dengan Fadli di depan, di lapangan paling belakang, dengan magsyul, saya mencoba memilah apakah ini (menonton konser) merupakan kebaikan atau keburukan?

Seminggu kemudian, saya dan Fadli belajar kelompok di rumah seorang teman kuliah, di Kampung Uteun Kot masih di kota Lhokseumawe. Tiba-tiba kami melihat pemimpin demo lewat dengan Vespa, tanpa jubah, tanpa massa. Ya, kami memberhentikan ia, dan bertanya apa maksud dia melakukan aksi di stadiun tempo hari. (Mungkin) ia ketakutan, dan berkata (jujur?) bahwa sebenarnya ia dan teman-temannya hanya bermaksud mendapatkan tiket gratis dan makanan dalam aksi mereka tersebut.

Tak pelak Fadli marah (Ia jarang marah), ia mengancam menampar orang tersebut, karena telah menjual nama agama dengan harga yang murah. Orang tersebut meminta ampun, akhirnya Fadli melihat saya. Saya pemarah (tanya istri saya jika tak percaya), tapi saya hari itu bersedih. Saya meminta Fadli melepaskan orang tersebut. Hari itu saya tak bisa membayangkan bagaimana harus melihat mereka yang berteriak, berorasi dengan mengatasnamakan tuhan. Tuluskah mereka? Atau ada kepentingan di belakang itu?

Dan dalam masa-masa kelam sejarah Aceh, masa remaja saya 1999-2003, selain masa-masa rigid penuh buku (orang-orang yang mengenal saya hanya sekarang, tak akan percaya itu), saya suka ber-avontoir masuk kebeberapa organisasi keagamaan. Saya mengakui, waktu itu saya militan. Tapi memang saya tak ditakdirkan betah berlama-lama. Saya terlalu mencintai rumah, daripada harus berorganisasi. Dan bukankah jalan terbaik adalah ditengah, seperti yang dikatakan Nabi. Dan saya berusaha moderat.

Dalam perenungan yang mendalam di kemudian hari setelah kejadian di Lhoseumawe, saya merasa beruntung. Karena dalam hidup ini, bukan orang yang nyaris ditampar Fadli tersebut yang menjadi patokan dalam memahami Islam. Sewaktu kecil ada ayah, Tengku Syamsudin, serta guru-guru lain, yang mengingatkan akan harga manusia, yang mengajarkan akhlak.

Ini adalah fenomena kecil dari sebuah gelombang besar. Umat Islam saat ini menghadapi keadaan dimana para alim yang mengenakan topeng. Ada banyak pengemis di Banda Aceh padahal menerapkan Syariat Islam, Islamic State (IS) punya hobi mengebom sana dan sini, seperti kejadian di Perancis seperti beberapa hari yang lalu. Dan (Ustad) Maulana, entah apa lagi yang dibuat.

Waktu berjalan, dan akhir tahun 2011 saya dimutasikan ke Banda Aceh, pulang kampung. Setelah kejadian di Lhokseumawe, saya tidak pernah lagi menonton konser musik. Tapi saya tidak fanatik, ketika teman serumah saya di Lhokseumawe, Joko khusus datang ke Banda Aceh untuk menonton konser Iwan Fals (2013) saya menemaninya. Syukurlah ketika itu di Blang Padang Banda Aceh (mungkin karena hujan deras?), kejadian di Lhokseumawe tidak berulang. Dan itulah dua konser yang pernah saya tonton seumur hidup sampai sekarang.

Saya heran, ada orang membawa nama Allah tapi tidak mencerminkan kasih dan sayang-Nya. Manusia merasa punya kekuasan seperti Allah S.W.T yang berhak menghukum, mengazab. Atau sekedar mencuri seraya mengenakan peci. Jadi apa bedanya mereka dengan Fir’aun yang menuhankan dirinya sendiri? Mereka mengikuti pragmatisme, yang mengatakan bahwa moral atau tindaknya ditentukan oleh memadai atau tidaknya tujuan tindakan itu, akhirnya “tujuan menghalalkan segala cara.”

Manusia bukan cuma membutuhkan opsir penjaga disiplin (yang hanya tahu menghukum). Manusia membutuhkan manusia jenis lain. Orang alim yang mengajarkan kita, melalui dosa untuk menjadi dewasa. “Melalui” adalah kata kunci, karena dengan melalui kita tak terperosok disana. Itulah benih harapan, rasa bersalah yang menyebabkan kerendahan hati, tanah subur di mana akan tumbuh nilai yang kuat tentang apa yang baik dan buruk. Tanpa itu kita hidup dalam keliaran yang buas.

Sewaktu akan lulus dari Madrasah Ibtidaiyah (1996), kami diwajibkan menghafalkan 36 hadist penting dalam kehidupan. Saya hampir lupa semuanya, kecuali yang nomor satu. Rasullullah bersabda, “sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia”.

Mungkin ayah, Tengku Syamsudin dan guru-guru saya yang dahulu sudah tiada. Mungkin saya tak terlalu memahami untuk mampu menjelaskan kebijaksanaan mereka secara sederhana.  Ilmu dan akhlak adalah petunjuk jalan, bahwa kita akan menjalani kehidupan yang kotor dan berdebu, meski ada kotoran dan debu di jalan. Kita harus hidup dengan melintasi jalan-jalan itu. Kita harus belajar untuk memilah mana deru dan mana debu.

Dan bila kita (berusaha), siapa yang bisa mengatakan umat Islam bukan umat yang tangguh dihadapan kebenaran?

Baca juga: KISAH KISAH PETUALANGAN SI ABU

Advertisement

About tengkuputeh

Cepat seperti angin // Tekun seperti hujan // Bergairah seperti api // Diam seperti gunung // Misterius seperti laut // Kejam seperti badai // Anggun seperti ngarai // Hening seperti hutan // Dalam seperti lembah // Lembut seperti awan // Tangguh seperti karang // Sederhana seperti debu // Menyelimuti seperti udara // Hangat seperti matahari // Luas seperti angkasa // Berserakan seperti debu //
This entry was posted in Cerita, Kisah-Kisah, Kolom, Literature, Mari Berpikir, Opini, Pengembangan diri and tagged , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , , . Bookmark the permalink.

2 Responses to ALIM

  1. Pingback: KEGUNCANGAN FILOSOFIS | Tengkuputeh

  2. Pingback: MUHASABAH | Tengkuputeh

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.