BELAJAR
Tahun 2000, awal millennium ini. Pak Mamunar Rasyid mengajar Sejarah untuk SMA Negeri 3 Banda Aceh. Ia adalah seorang guru yang akan dikenang para muridnya seumur hidup. Sebab pada suatu hari ia tiba-tiba bertanya : “Untuk apa kamu belajar sejarah?” Adapun yang ditanyainya adalah murid-murid kelas dua yang berkeringat selepas pelajaran olahraga yang mengasyikkan.
Hari itu terik, dan tiap hari terik di kota yang panas itu. Dan pak Mamunar dengan mata berwibawa, yang tak segan mencubit, tampak kian angker dengan pertanyaan yang mustahil dijawab.
Untuk apa belajar sejarah? Masa lalu tak enak bila diusik-usik.
Tapi Pak Mamunar itu rupanya tahu bahwa anak-anak akan diam. Maka suaranya pun bergumam, ketika ia menyelesaikan sendiri pertanyaan yang tadi ia lontarkan tadi : “Kamu belajar sejarah bukan untuk bisa menghafal nama, tahun atau kejadian namun untuk belajar dari kesalahan-kesalahan orang lain di masa lalu.”
Tapi beliau menjelaskan, sejarah juga bisa ilmiah. Melalui prosedur yang mencakup penalaran berupa pikiran yang disertai tindakan. Sejarah adalah pengamatan, berdasarkan bukti-bukti terbatas.
Ketika Tsunami menerjang, tahun 2004 terdengar kabar beliau meninggal. Seandainya dia masih hidup, dan bertemu dengan bekas muridnya, yang lintang pukang belajar menyiapkan diri dalam menghadapi ujian kenaikan pangkat, barangkali dia akan bertanya : “Untuk apa semua itu?”
Tokh, tak perlu waktu lama untuk menyontek, seorang murid yang kelelahan mempelajari Matematika pun bertanya kepada guru lain. Untuk apa belajar Matematika? Limit, Logaritma, Trigonometri dan semua yang dijejalkan dalam otak saya, semuanya untuk apa?
Tapi guru Matematika disekolah yang sama, tak sepeka Pak Mamunar Rasyid. “Untuk menjadi insinyur.” Katanya. “Tapi pak saya tidak berniat menjadi insinyur.” Jawab si murid.
“Kamu mempertanyakan apa yang sudah jelas, lebih pintarkah kamu dari pemerintah? Para ahli menyusun buku ini, kurikulum ini tentu untuk alasan yang penting. Jadi kamu merasa lebih pintar dari mereka?” Guru Matematika tersebut menang, tak mungkin murid tersebut lebih pintar dari para ahli yang menyusun buku. Selesai?
Tapi ada hasrat ingin tahu yang dibunuh disitu. Ada pertanyaan halus yang dijawab dengan beringas, dan melahirkan ketidaksukaan. Ya, murid itu adalah saya. Saya menjadi tidak menyukai Matematika, dan bisa dibilang membencinya (saat itu).
Untuk apa belajar Matematika?
Hidup tak berhenti ketika kita sekolah, ada hari-hari lain kelak kita hadapi. Dan saya terus bertanya-tanya kepada setiap orang yang saya anggap menguasainya. Tak ada yang bisa menjelaskan.
Sampai saya bertemu dengan seorang mahasiswa arsitek (sayangnya Drop Out), tetangga saya. Bang Iwan Wahyudi. Ia menyelesaikan pertanyaan tadi, “Kamu belajar semua ilmu ukur bukan untuk menjadi insinyur. Tapi supaya terlatih berpikir logis, yaitu teratur.”
Lalu, dengan antusias mengajar yang khas padanya, ia pun menjelaskan. Satu soal misalnya menyebutkan hal-hal yang sudah diketahui dari sebuah bangunan Geometri. Ada rumus-rumus yang menyimpulkan pelbagai hubungan dalam bangunan seperti itu. Nah, jika anak-anak diminta membuktikan suatu hal dari dalam soal itu, mereka harus berpikir secara teratur, dari hal yang sudah diketahui sampai kesimpulan yang bisa ditarik.
Yang menakjubkan bukan saja ia bisa menjelaskan proses berpikir logis itu dengan gamblang kepada seseorang. Yang juga mengagumkan ialah bahwa ia, mengingatkan saya kepada Pak Mamunar Rasyid, ternyata bisa menanamkan sesuatu yang sangat dalam, apa sebenarnya tujuan pendidikan.
Yang paling penting itu adalah untuk apa. Ya, untuk apa?
Jika anda masuk sebuah perguruan tinggi, karena bercita-cita menjadi “sarjana”, itulah samalah kira-kira jika anda melangkah karena ingin berjalan. Sudah semestinya.
Kekaburan itu terjadi agaknya bukan karena cuma karena kacaunya pengertian “sarjana”. Tapi karena sejumlah ilusi. Ilusi yang terpokok ialah ilusi tentang tujuan pendidikan sekolah serta tujuannya. Sudah salah bahwa tujuan bersekolah di universitas adalah untuk mendapatkan gelar, tapi tak kurang salahnya bahwa jika di Universitas orang akan menemukan pusat ilmu, atau puncak pendidikan ketrampilan.
Sebab, Rasulullah S.A.W bersabda, orang harus menuntut ilmu dari buaian sampai ke liang lahat. Dewasa ini para pemikir pendidikan juga berbicara tentang “pendidikan seumur hidup”. Dan dalam proses itu, universitas hanyalah sepotong kecil, seorang Sarjana Ekonomi, Sarjana Hukum, Sarjana Tekhnik, Sarjana Pendidikan atau bahkan seorang PhD, barulah mengambil bekal untuk perjalanan panjang yang sebenarnya. Mereka belum selesai, juga belum selesai bodohnya.
Karena itu, seandainya Pak Mamunar Rasyid masih hidup ditahun 2015, ketika saya kepayahan belajar Matematika hari ini, ketika saya hanya mampu menjawab satu soal dari sepuluh soal Try Out, dan putus asa dengan pembagian pecahan dan persamaan kuadrat. Mungkin ia menjawab, “kamu harus semangat belajar, bukan untuk lulus ujian semata, tapi supaya bisa terlatih berpikir ilmiah.” Itu saja, kalau dapat.
Pingback: MAKNA PUISI YANG HILANG | Tengkuputeh
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh
Pingback: AGAR HIDUP LEBIH TERASA HIDUP | Tengkuputeh
Pingback: MUHASABAH | Tengkuputeh