DUA PULUH EMPAT SETENGAH TAHUN
Bulan ini genap berusia 24 ½ tahun. Apa yang telah dicapai?
- Sebagai lelaki masih amatir, belum mampu menyempurnakan agama. Sama sekali tidak punya calon. Bahkan belum punya rencana tentang itu.
- Sebagai Pegawai Pajak masih amatir, Desember ini akan genap empat tahun terhitung sebagai aparatur negara yang resmi namun terus terang sampai saat ini belum sepenuhnya hati berada disini, dan belum menemukan tujuan hakiki bekerja.
- Sebagai Mahasiswa masih amatir, sejak 2002 menamatkan SMU dan setelah diDO dari Unsyiah sekarang masih “hanya tercatat” sebagai mahasiswa semester dua di Unimal.
- Sebagai Kepala Keluarga masih amatir, sebagai putra sulung dari lima bersaudara yang statusnya yatim. Rangkap jabatan sebagai abang sekaligus figur teladan bagi mereka, belum sepenuhnya berhasil.
- Sebagai sahabat masih amatir, terbukti banyak teman yang menganggap diri ini sombong karena jarang berkomunikasi dengan mereka. Adalah orang yang “kurang mampu” membangun komunikasi verbal dalam berbicara, kecederungan diam, membosankan dan lebih mampu mengungkapkan sesuatu melalui tulisan.
- Sebagai pujangga masih amatir, walau sudah menulis ratusan puisi sampai saat ini baru sekitar lima yang tertulis dimedia, Serambi Indonesia itupun sudah tujuh tahun lalu.
- Sebagai penulis amatir, hanya berkecimpung didunia perblogan, Novel Olympus yang sedang dikerjakan stuck karena banyak hal.
Menjadi Pegawai Negeri Sipil, waktu berjalan cepat. Tak terasa karena selalu menunggu awal bulan. Sesuatu yang menjadi impian bagi banyak orang, sebuah penghasilan bulanan. Namun menjadi bumerang apabila merasa jenuh dan tidak mampu memanfaatkan kesempatan untuk berkembang.
Tidak akan pernah diri ini menjadi iri pada orang lain, pada pangkat, pada keelokkan, pada keberuntungan. Namun hanya ingin menjadi sosok yang lebih baik, dan selalu kagum kepada semua orang yang memberikan contoh tentang pengembangan diri.
Sedari kecil, yakin bahwa tidak akan hidup terlalu lama tanpa bermaksud mendahului takdir. Detik waktu telah berjalan cepat ketika menyadari dalam hidup ini belumlah menjadi oran yang berarti, pada diri sendiri, pada keluarga, pada lingkungan dan pada masyarakat.
Sebutlah diri ini terlalu melankolis, tak akan ada usaha untuk membantah. Tanpa bermaksud menafikan rasa syukur terhadap segala rahmat yang telah dicurahkan-Nya kepada hamba-Nya yang lemah ini, setiap malam tidur ini tak tenang dalam sebuah kegelisahan. Merasa tak berarti dan hanya menunggu mati. Senin-Jumat bekerja, Sabtu-Minggu kuliah dan kalau libur sekedar datang ke laut untuk meluruhkan segala gundah gulana, mungkin puisi ini yang mampu mengungkapkan perasaan seseorang di penghujung masa muda ini.
PADA LAUT KUMENYAPA
Selamat datang hai angin
Hembuskanlah wajahku yang terbiasa tertunduk
Seseorang yang gagal melukis masa depan
Di atas kanvas zaman baru penuh persaingan
Wahai gelombang pasang
Sentuhlah kaki ini yang lelah berjalan
Tersuruk pasir pentai memutih jernih
Hapus noda hitam hati yang berkarat
Pondok-pondok rumbia berjajar rapi
Memberi teduh diantara terik matahari
Dimana jiwa dimana nurani pergi
Letihku bertanya pada samudera membiru
Dan pohon-pohon kelapa melambai
Goyangkan sendi-sendi tubuh bergetar
Uap garam menyelimuti jiwa raga
Terpasung kuat oleh masa lalu
Biduk berlayar membelah gelombang
Di masa harapan pernah meraja
Namun kerasnya badai mengubah
Jiwa raga ini tak lagi seperti dahulu
Dilahirkan sebagai seseorang pesimis, dan sangat memaklumi jika tulisan ini tidak terbaca oleh banyak orang. Seperti fungsi awal blog ini sebagai tempat perenungan pribadi. Hanyalah tempat seorang “Milvan Murtadha” melepaskan segala penat tentang keduniawian tanpa bermaksud menjadi orang lain.
Mas metal yg keren untuk tulisan AUDIT LAPORAN KEUANGAN salah link nya larinya ke tulisan ini
Siap Komandan Castle Black, telah diperbaiki 😀
Pingback: BARA API IDEALISME | Tengkuputeh
Pingback: CRYPTOGRAM | Tengkuputeh
Pingback: HIKAYAT SANG PENGEMBARA | Tengkuputeh
Pingback: ELEGI PAGI HARI SEBUAH PUISI | Tengkuputeh
Pingback: TAHUKAH ENGKAU CINTA | Tengkuputeh
Pingback: INDAH BUNGA | Tengkuputeh
Pingback: MAKSUD HATIKU PADAMU | Tengkuputeh
Pingback: DIPERSIMPANG JALAN | Tengkuputeh
Pingback: PADAMU PEREMPUANKU | Tengkuputeh
Pingback: KALAH PERANG | Tengkuputeh