ANGIN
“Maka yang terakhir adalah angin.”
“Mengapa harus angin guru, tidakkah api lebih perkasa.”
“Anakku api memang perkasa namun ia telah dijinakkan ketika manusia faham akan faedahnya.”
“Mengapa harus angin guru, tidakkah bumi lebih hening.”
“Bumi adalah penjara dimana manusia terpasung olehnya. Angin lebih bebas.”
“Samudera guru, turunkan padaku jurus itu.”
“Muridku, engkau menggodaku. Samudera selalu membuatku takzim. Namun angin lebih luas.”
“Halilintar guru!”
“Terlalu gemuruh anakku.”
“Hutan lebih pemurah guru.”
“Ia terlalu rapuh untukmu.”
“Angin guru, angin antara ada dan tiada. Matahari guru.”
“Matahari mudah dikatahui peredarannya. Angin merdeka.”
“Kenapa harus angin guru?”
“Karena ia tak terbaca, keberadaannya tak terlihat, ia jarang memperlihatkan kekuatannya. Maka yang terakhir yang ku wariskan adalah angin anakku.”
“Angin guru, angin tiada berkekuatan guru.”
“Anakku jangan memasung diri pada kuasa, bergunalah walau sebentuk noktah. Itu lebih baik.”
“Guru, angin tak bisa dipercaya. Ia dapat berubah seketika.”
“Manusia adalah makhluk yang senantiasa berubah anakku.”
“Jadi yang terakhir adalah angin guru.”
“Iya cukuplah itu bagimu.”
anginkah guru?
kenapa bukan kehampaan saja guru?
bukankah angin dapat dirasa. semilir hembusannya bisa menghilangkan dahaga?
lalu tidak kah guru melihat, betapa semua menjadi porak-poranda ketika angin mengeluarkan amarahnya?
Hampa lebih luas dari angin. Hampa menguasai tata surya. Hampa itu diam. Diam itu tak bergerak. Dia sepi dan sunyi.
ada yang bisa mengontrol angin… aang si avatar…
Cuma Aang satu2nya yang hidup dr pengendali angin kan.
Pingback: TERIMA KASIH PADA SASTRA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: MANUSIA | Tengkuputeh
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh
Pingback: MANUSIA - TengkuputehTengkuputeh
Pingback: SERAKAH | Tengkuputeh
Pingback: PASRAH | Tengkuputeh
Pingback: PADA AKHIRNYA KITA (JUGA) TAK PAHAM | Tengkuputeh
Pingback: PENGEMBARAAN | Tengkuputeh