LORD HADID OF EQUAL RIVER, WAHAM
Zaman romantik telah lama berakhir, zaman para pertapa berkhalwat menepiskan gahar dunia. Dimasa-masa dunia sungguh membuat gentar dan memilih menghindar. Dan cerita tentang Tuan yang menghindar, bertapa, mengalahkan naga, menyelamatkan anak manusia. Ia menghilang, meninggalkan jejak. Tapi akhirnya sejarah tak menceritakan (secara penuh) apakah kealimannya menang.
Di sebuah desa yang terletak di distrik Equal River, hidup seorang lelaki bernama Hamid. Usianya empat puluh tahun, pendek, berisi dan berwajah bundar. Hamid berkehidupan dengan menanam cabai. Ia banyak memiliki waktu terbuang pada setiap tahunnya, sebab tidak setiap saat cabai dapat ditanami, setelah panen ladang harus diselingi tanaman lain sebelum unsur hara tanah kembali, biasanya kacang atau pepaya. Selain itu ia juga melewatkan waktu luangnya dengan membaca buku-buku tentang ksatria serta kisah-kisah petualangan. Kegemarannya membaca buku-buku semakin menjadi-jadi, sehingga ia lupa mengurusi ladang cabainya, sehingga tidak mendapatkan perawatan yang semestinya. Bahkan ia semakin jarang bergaul, dan tak muncul-muncul di warung kopi kampung.
Menjelang malam hari ia menghabiskan untuk membaca mulai senja hari hingga fajar menyingsing. Sedang siang harinya ia membaca sejak pagi sampai senja. Sehingga akibat dari kebanyakan membaca dan kekurangan tidur itu, akhirnya ia kehilangan akal sehatnya. Dalam benaknya penuh sesak dengan khayalan-khayalan tentang peperangan, perkelahian, guna-guna dan tantangan. Ia merasa yakin, bahwa cerita-cerita yang telah dibacanya itu sunguh-sungguh nyata seperti yang terdapat dalam buku-buku dongeng atau sejarah.
Kini dalam dirinya muncul sebuah gagasan konyol. Ia berniat menjadi ksatria kelana, dan akan mengarungi dunia. Di matanya, sepeda motor berumur 15 tahun itu terlihat layaknya sebuah kuda perkasa. Setelah banyak membaca, ia merasa yakin dapat bergumul dengan berbagai macam bentuk petualangan. Dengan jalan menolong orang-orang yang berada dalam kesukaran, dan dengan menghadapi setiap bahaya yang mengancamnya, ia akan memperoleh kemasyuran dan kehormatan.
Ia begitu terbuai oleh angan-angannya, sehingga ia ingin cepat-cepat membuat persiapan untuk mewujudkannya. Pertama-tama ia mengambil jas milik kakek buyutnya. Pakaian itu terbuat dari beludru dibersihkan. Pakaian tersebut telah usang bertahun-tahun tidak digunakan. Maka ia berusaha keras untuk membersihkan serta menjahitkan kancing-kancing yang telah copot.
Perlengkapannya belum sempurna, kopiah meukutup* yang menjadi pelindung telah rusak. Maka dipotongnya sekeping karton tebal, lalu dipasangnya kebagian yang telah rusak. Sekarang semua telahnya lengkap ia menguji apakah buatannya telah cukup kuat untuk pertempuran, maka disabetnya bagian tersebut dengan siwah** panjang yang pernah dia beli di tukang loak. Dan sekali lagi, pekerjaannya malah menjadi hancur! Ia sangat kecewa karenanya. Lalu ia membuat lagi. Tapi kali ini ia tak mau mengujinya lagi, sebab takut nanti akan hancur pula.
Sekarang perhatiannya teralih pada kudanya. Sepeda motor itu sebenarnya sangat menyedihkan, stikernya sudah banyak yang copot, lampu depan bahkan sudah sangat buram. Meski demikian Hamid menganggapnya sebagai kuda yang setaraf dengan Bucephalus, kuda milik Alexander yang agung. Oleh karena itu harus mempunyai nama yang istimewa.
Tiga hari tiga malam ia memikirkan nama kudanya. Telah dikumpulkannya nama sebanyak-banyaknya, dari bahasa Melayu, Arab, Inggris, Latin bahkan Klingon, tetapi belum ada yang cocok. Akhirnya ia memilih nama Azraq sebuah nama yang menurutnya sangat tepat bagi seekor kuda yang terbaik di dunia.
Kemudian ia bermaksud pula merubah namanya sendiri, ia menghabiskan waktu tujuh hari tujuh malam untuk berpikir, dan akhirnya nama yang dipilih adalah Lord Hadid (Bahasa Arab = Besi). Ksatria-ksatria yang masyur biasanya membubuhkan nama daerah asalnya di belakang namanya sendiri. Ia pun tak mau ketinggalan pula! Jadi namanya lengkapnya kini menjadi Lord Hadid of Equal River.
Jasnya telah bersih dan tutup kepalanya pun telah selesai diperbaiki. Nama khusus kudanya serta namanya sendiri telah ia dapatkan. Namun kini masih ada satu hal lagi yang ia perlukan, yakni seorang kekasih yang menjadi pujaannya. Seorang ksatria tanpa kekasih, ibarat pohon tanpa daun atau buah, atau sama seperti tubuh tanpa nyawa.
“Jika aku bertemu dengan raksasa, maka seperti halnya para ksatria lain, pertama-tama aku akan menaklukkannya,” kata Lord Hadid sendirian.
“Lalu ia harus tunduk kepadaku. Ia lalu akan kusuruh pergi menghadap kekasihku, ia harus mengucapkan, Lord Hadid of Equal River, seorang ksatria ternama, telah berhasil menaklukkan saya dalam suatu pertempuran. Beliau memerintahkan saya untuk datang kemari. Tuan Puteri kini berhak memerintahkan saya apa saja!”
Rangkaian kata-kata yang baru saja diucapkannya itu sangat menyenangkan hatinya. Oleh sebab itu, bagaimana pun juga ia kini harus memikirkan siapa kiranya yang dapat ia jadikan kekasih! Ia ingat akan seorang gadis petani bernama Hayati. Ia pernah melihatnya di La Punie, sebuah desa yang berdekatan dengan tempat tinggalnya. Ia sendiri belum pernah berbicara dengan gadis itu, tetapi meskipun demikian ia bermaksud menjadikannya kekasih. Tentunya gadis itu harus mempunyai nama pula, dan nama yang dipilihnya Zahrat al Amira. Baginya nama itu kedengarannya sangat merdu, dan tak kalah istimewa dengan nama kudanya
Segera setelah persiapannya selesai, Lord Hadid bermaksud untuk berangkat selekas mungkin. Pada suatu pagi, sebelum fajar menyingsing, ia telah mengenakan baju jasnya, kopiah dan menyandang siwah. Puas bercermin, ia menunggang Azraq meninggalkan rumah.
Lord Hadid berpikir, mungkin setiap ksatria, maupun setiap pengembara memiliki cela. Sebuah kekurangan dimana hikayat tak mampu bercerita. Bahwa pengalaman itu tidak menyenangkan untuk dituturkan, menjalani jalan neraka sampai berulang kali, sendirian. Mungkin apa yang disebut sebagai perjuangan itu, tak lebih dari sebuah kewahaman, tapi (memang) jalan ksatria (sering) adalah kesunyian.
Sesaat ia merasa puas, demi melihat betapa mudahnya meninggalkan rumah tanpa diketahui oleh orang lain. Ia menuju Barat.
X
*Kopiah meukutup = Topi Teuku Umar
**Siwah = Senjata tradisional Aceh yang mirip rencong
Pingback: EL HADID MENCARI MAKNA | FROM KOETARADJA WITH LOVE
Pingback: EL HADID MENCARI MAKNA | Tengkuputeh