DI MANA ADA CINTA, DI SANA TUHAN ADA
Kehidupan ini terdapat unsur kebetulan yang mungkin dilewatkan orang biasa, maka kebijaksanaan harus memperhitungkan hal yang tak terduga.
Hal mengasyikkan dari memiliki ingatan adalah kita bisa memutar-mutar kejadian masa lampau, seperti menjelang tidur. Kala kantuk datang, dan mata tak hendak pula terpejam. Seperti semua orang di muka bumi ini, pada satu titik dari hidup mereka memiliki hal-hal besar berhubungan dengan perasaan mereka. Hari-hari dimana hati terasa kecil untuk menangani besarnya perasaanmu. Mungkin seperti ini salah satunya. Memikirkan emosi bagaikan sebuah fenomena yang unik dan bersifat pribadi, dimana orang lain tak merasakan apa yang kita rasakan.
Aku selalu tertawa, jika mengingat ini. Ingatan terdalam yang masih ada. Waktu itu, aku perkirakan umurku masih dua tahun. Ayah kedatangan seorang tamu, teman kantor mungkin. Biasanya setelah mandi dan berbedak, ayah selalu menciumku. Tapi, kali ini tidak. Ayah asyik dengan temannya, aku berpikir dan mencari cara menarik perhatian ayah. Tebak bagaimana? Aku sengaja pipis di celana. Sesegera mungkin perhatian ayah teralih kepadaku. Aku merasa juara, menurutku itu adalah piala pertamaku di dunia.
Aku adalah orang kebanyakan. Sewaktu masa sekolah, seorang anak yang selalu bertengkar dengan tukang parkir, meributkan uang seratus. Orang seperti ini sering duduk di pasar menjajakan sayur. Dagangannya penuh dengan lalat. Dan jika pernah menonton TVRI, kalian biasa melihat orang sepertiku meloncat-loncat di belakang presiden agar tampak kamera.
Aku tak pernah kelihatan lebih muda sekaligus lebih tua dari rekan-rekan seumur. Segera setelah bekerja, tali pinggang lemak mengelilingi perutku. Aku adalah pegawai biasa-biasa saja, yang biasa kalian temui disetiap perkantoran. Dimana dalam setiap rapat-rapat penting selalu hadir, namun bukan peserta, tapi yang menjalankan power point.
Boleh jadi aku memiliki kebanggaan sedikit. Bila mana ada pertemuan-pertemuan berskala nasional dapat hadir, rata-rata orang merasa pernah merasa akrab, nyaman atau setidaknya pernah melihat. Biasanya aku menjawab, mungkin kalian pernah melihat aku di televisi.
Tentunya, aku tak akan dicap sombong bila bercerita bagaimana duduk perkaranya. Sekitar dua belas tahun yang lalu, tsunami menghantam Aceh. Hampir semua orang mengungsi, tapi aku tidak. Lha, mau mengungsi kemana?
Lalu apakah aku menjadi seorang reporter sebuah televisi? Atau setidaknya seorang tokoh lokal? Jika itu harapanmu teman-teman maka turunkan sedikit. Aku hanya duduk di depan televisi, memantau liputan khusus tsunami dari semua saluran siaran. Jika ada siaran live di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya, maka aku akan mengengkol Astria Grand 93 menuju lokasi sesegera mungkin.
Maka jika kalian mengenal Desy Anwar, Tommy Tjokro, Chantal Dela Contessa, Meutya Hafidz, Prita Laura dkk. Perhatikan dengan seksama jika kalian masih mendapatkan rekamannya. Ada orang bermotor berbolak-balik dibelakangnya olah pelintas jalan seraya memberikan senyuman termanis kepada kamera, ketahuilah orang itu aku.
Di lapangan terbuka beda cerita, kalau ada orang yang memungut sampah di belakang reporter. Segera zoom gambar itu saudara-saudara! Itu aku yang berupaya sekuat tenaga memberikan senyum pepsodent kepada seluruh pemirsa se-Indonesia Raya.
Yang paling konyol, dan membuat terkekeh kalau diingat sekarang, adalah ketika aku dengan gaya theatrical tersandung kabel mic yang dipakai Max Sapucua. Sampai dengan hari ini, aku masih bisa mengingat jelas kata-katanya, “hati-hati dik” dengan pelan. Jika kalian penikmat siaran langsung Sea Games, pasti mengetahui betapa legendarisnya orang tersebut.
Bukannya sombong, tapi aku memang pernah tampil sebagai cameo di beberapa event nasional di Aceh. Muktamar Muhammadiyah 1995 (sebagai pembawa tikar), serta Hari Olah Raga Nasional 1997 (sebagai pengangkat karton koreo) adalah yang masih bisa aku ingat.
X
Sebagaimana kawan-kawan telah tahu. Aku ini, paling tidak menurutku sendiri, adalah lelaki yang berikhtiar berbuat kebaikan. Jika hidup merupakan banyak pilihan, aku akan berupaya memilih yang terbaik, walau kadang-kadang tidak mengenakkan. Misalnya ketika menemukan uang, atau Handphone di jalan, aku akan berupaya mengembalikan, sampai dapat. Aku juga patuh pada petuah orang tua, menempatkan setiap kata ayah-bunda di atas nampan, membungkusnya dengan kain serta menciuminya dengan khidmat.
Dan ternyata, Tuhan menerapkan dalil tetap untukku dan orang sepertiku, yakni orang-orang seperti kami pada umumnya jarang diganjar ujian yang oleh orang-orang sering disebut cobaan nan tak tertanggungkan.
Oleh karena itu, seumpama di koran tersiar tentang berita seseorang sedang bersepeda di hari yang cerah di depan pegunungan, sekonyong-konyong jatuh ke dalam jurang, tak tahu kemana tertungging ke dalam lembah angker dan gelap gulita. Ia meminta tolong tiga hari tiga malam sampai habis suaranya. Akhirnya ia meminta tolong dengan kliningan sepedanya. Kring, kring, lemah menyedihkan. Naudzubillah, tragedi semacam itu biasanya menimpa orang lain, bukan lelaki sepertiku. Paling-paling Tuhan hanya memberiku cobaan terkunci di kamar mandi kantor, kamar mandi bus, kamar mandi pesawat atau yang terakhir di lift. Itupun tak pernah lebih dari lima belas menit. Jika mengingat itu, aku merasa betapa aku adalah orang yang beruntung.
Atau, seandainya hujan lebat. Seseorang sedang minum kopi dan pisang goreng dengan asoy. Tiba-tiba masuk perampok dengan golok terhunus mengambil televisi hitam putih, sampai sendok dan garpu pun disikat. Orang tersebut diikat di pohon depan rumah sampai diketemukan warga besok hari. Rambut, kumis, alis dan kulit mengkerut sepanjang malam dalam hujan. Dapat dipastikan, lelaki sial itu bukan aku. Aku paling kececeran dompet berisi KTP, STNK, SIM dan beberapa lembar uang.
Atau lagi, misalnya merebak berita soal seorang lelaki montok dilarikan ke rumah sakit, ambulans meraung-raung, tergopoh-gopoh menuju ruang tanggap darurat, sebab pria itu ketika sedang bermotor terlalu melihat kiri dan kanan sehingga tidak sadar di depannya ada tembok pagar yang celakanya berkawat pula. Sehingga ia tersengal-sengal sampai nyaris lunas nyawanya. Lelaki itu bisa saja absurd dan montok, tapi dia bukan aku. Aku paling hanya akan bermotor sambil melamun dan jatuh ke dalam sawah yang penuh air. Tersenyum kepada orang-orang kampung untuk memastikan aku baik-baik saja.
Dalam hidup aku telah merasakan banyak ke-Rahmanan dan ke-Rahiman. Ketika umur Sembilan berenang ke sungai dan terbawa arus, aku sudah mengucapkan syahadat tapi ada yang menolong dan selamat. Ketika hanyut di laut karena berenang dengan ban, aku diselamatkan oleh seorang perenang dan selamat. Ketika tsunami, aku rencana lari pagi ke arah daerah yang parah tsunami, dan syukurnya aku tak terbangun pagi. Berbagai hal di dunia ini, membuat aku percaya bahwa Tuhan menyukai orang-orang baik, atau setidaknya berusaha untuk menjadi baik.
XX
Di dunia ini, siklus alam sangat kuat, hari-hari berganti. Sebentar-bentar sudah senin lagi. Siang di telan malam, malam di telan siang. Dalam segala keterbatasan, kita belajar untuk mencari-cari kebahagiaan sendiri. Sebab, mengharapkan pemerintah memberi kita kebahagiaan agak riskan. Sudah cukup banyak hal-hal yang diurus oleh pemerintah.
Terhadap hal-hal yang kita sangat inginkan, namun Tuhan belum memberikan. Maka janganlah berputus asa kepada Rahman dan Rahim-Nya. Manusia memang terbatas daya tangkap otaknya akan terhadap segala sesuatu, tapi tuhan mencatat dan Tuhan akan membalas. Seperti kata Leo Tolstoy : Tuhan tahu, tapi Tuhan menunggu.
Nyatanya, Dia maha mengetahui. Baik itu rezeki bagi seluruh makhluk di muka bumi, lembaran daun mana yang jatuh berguguran, segala perbuatan baik yang dilakukan terang-terangan maupun tersembunyi, ataupun tiap angan dan isi hati, baik yang diungkapkan maupun dipendam dalam. Namun, Dia juga Maha Menghitung. Kita manusia sama sekali tidak punya pengetahuan tentang bagaimana Dia bekerja, akan tetapi berdasarkan nama julukanNya, mungkin Dia menunggu saat semua variable telah berada pada kondisi yang tepat.
Sebaliknya, hidup beriak-riak kecil, berombak karena karma-karma adalah lumrah. Sesekali gagal dan lupa, atau bahkan terkena sial tak mengapa. Tapi bayangkanlah, jika semua perbuatan dosa / salah mendapatkan balasan seketika, kira-kira berapa banyak penduduk bumi yang masih hidup tanpa rasa hina, dan kita patut bersyukur apabila sebelum mati telah bertaubat kepada-Nya.
Manusia diciptakan sebagai makhluk yang mencintai, karena Tuhan sendiri adalah pribadi yang penuh akan cinta. Dimana ada cinta, di sana Tuhan ada. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR Bukhari)
Rasullullah saw bersabda : “Orang yang paling dicintai Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi orang lain.” (HR. Thabrani dalam Mu’jam AL-Kabir li Ath-Thabrani juz 11 halaman 84)
Hidup (jika) untuk memberi (kebaikan), mempesona layaknya cinta, seperti mengubah kata menjadi puisi.
X
Pingback: MENCARI BELERANG MERAH | Tengkuputeh
Pingback: MAKNA PUISI YANG HILANG | Tengkuputeh
Pingback: SEBUAH KOTAK HITAM | Tengkuputeh
Pingback: SEGALA SESUATU MEMILIKI ASAL MULA | Tengkuputeh
Pingback: AGAR HIDUP LEBIH TERASA HIDUP | Tengkuputeh