NOVEL KURA KURA BERJANGGUT APA BAGUSNYA?
Membaca Novel Kura Kura Berjanggut kita “sebaiknya” menjadi seorang anak-anak yang polos menunggu kejutan-kejutan cerita yang muncul ditiap helai halamannya. Nusantara berhutang kepada Azhari Aiyub atas terbitnya novel ini sebagaimana Indonesia beruntung bahwa seorang Andrea Hirata pernah menciptakan “Laskar Pelangi.” Jikalah dapat diumpamakan Laskar Pelangi diibaratkan sebuah filem Hollywood yang penuh dengan ungkapan-ungkapan indah dan menyenangkan serta memanjakan selayaknya besutan Marvel, maka Kura-Kura Berjanggut ini pekat, kelam seperti filem yang dikeluarkan oleh DC. Novel ini meninggalkan banyak pertanyaan yang tak kunjung selesai.
Kura-Kura Berjanggut membawa kita ke dalam berbagai petualangan yang membawa imaji kita kepada sebuah negeri Lamuri, untuk kemudian mengembara melintasi berbagai negeri sepanjang Istanbul (Turki) sampai Teluk Samboaga (Filipina). Pembaca terpaksa hadir tempat-tempat yang dikutuk, menyaksikan perilaku tercela yang dikecam oleh segala kitab suci. Imajinasi sang pengarang akan sangat menganggu siapapun yang pernah mempelajari Fiqh dengan tekun, atau siapapun yang meyakini prinsip-prinsip moral harus dibawa teguh dalam sebuah karya sastra selayaknya novel Ayat-Ayat Cinta.
Cerita ini adalah sebuah kitab yang tersendiri, tiada sudi mendengarkan. Halaman-halaman yang penuh tragedi ini ternyata diakhir baru kita sadari bahwa semua itu ternyata komedi semua, ironi sebagaimana komplotan pembunuh yang mengancam Sultan Nuruddin dari Lamuri ternyata dipimpin oleh Raja Pelawak.
Azhari Aiyub menyusun sebuah memoar fiktif yang penuh dengan kenakalan imajinasi yang mengejutkan kita dengan memasukkan berbagai intrik seksualitas termasuk homoseksualitas dan praktek menyimpang di seputar para tokoh yang memiliki kebiasaan aneh.
Sekitar tahun 2006, saya pernah membaca buku dengan level kekurangajaran sejenis, Tariq Ali dengan bukunya Kitab Saladin. Waktu itu saya masih terlalu muda dan rigid sehingga bersumpah tidak akan membaca bukunya lagi dikarenakan bertentangan dengan pengetahuan umum tentang diri Salahuddin bin Ayyub sebagaimana diajarkan para guru dan sejarawan. Tapi untunglah Ustad Abdul Somad telah memberitahukan solusi membatalkan sumpah, yaitu berpuasa sunat selama tiga hari berturut.
Tahun 2000, saya pernah bertemu dengan Azhari Aiyub muda (mungkin masih 19 tahun), ketika itu dia diundang sebagai pemateri pada acara Bengkel Sastra di Taman Budaya Banda Aceh untuk siswa Menengah Atas mendampingi seniman senior Aceh, Mas Kirbi. Sebagai pemateri berulang dia ucapkan, “Adik-adik ketahuilah bahwa imajinasi lebih kuat daripada inspirasi, dengan imajinasi kita bisa menciptakan apa saja dan kapan saja secara aktif, berbeda dengan inspirasi yang harus kita tunggu kapan datangnya.” Sebagai pemateri mungkin dia sudah melupakan kata-katanya, tapi sebagai seorang peserta (waktu itu saya masih 16 tahun), saya masih mengingat kata-katanya.
Imajinasilah yang membuat Lamuri hidup kembali, sebuah kerajaan yang terletak di kawasan Banda Aceh dan Aceh Besar sekarang, adalah cikal bakal Kesultanan Aceh menjadi tertenggok kembali, saya menduga mungkin karena Azhari Aiyub (sama seperti saya) berasal dari Aceh Besar, dimana Aceh Besar disebut Belanda dengan nama Aceh Groot (Akar Aceh/Aceh Inti). Berbicara inti ia juga menyebut Zeeland untuk Belanda, dan Castilla untuk Spanyol. Perancis dan Turki menggunakan nama asli dalam bahasa Indonesia, sedang Portugis sebagai musuh kerajaan Aceh di masa lalu disebut Peranggi.
(BACA JUGA : SEJARAH KERAJAAN LAMURI)
Kisah dimulai pada abad ke-16 ketika kekuasaan bangsa putih belum begitu mencengkram Samudera Illahi, Turki masih menjadi jagoan umat Islam dan para Sultan dipenjang pesisir Laut Merah sampai Nusantara masih merdeka dalam menjual rempah-rempah, kemudian meloncat keawal abad 20 dimana bangsa Eropah telah menguasai setiap negeri di Timur (Khususnya Asia Tenggara), dan akhirnya meloncat ke masa sekarang.
Novel Kura Kura Berjanggut adalah kisah tentang mereka yang kalah, tidak ada satu orang pun yang menang. Si Ujud, Sultan Nurruddin, Si Buduk, Kamaria, Tobias, Tajul Muluk sampai Abdoel Ghaffar dan Van Heutz sekalipun semuanya kalah.
Tiap tokoh, tiap kejadian adalah tragedi. Perlu waktu dan energi yang maha besar bagi saya untuk menyelesaikan membaca novel dengan 960 halaman ini, untuk akhirnya mengambil kesimpulan bahwa buku ini ketika dilihat secara menyeluruh ternyata sebuah karya yang penuh dengan humor, yang hitam, pekat dan sedikit menyakitkan hati. Terutama jika yang membaca adalah seorang Aceh, memahami makna-makna Darul Kamal, Istana Daruddonya, Medan Khayali, Kuta Reh dan lain-lain. Istilah-istilah itu membangkitkan kenangan tentang masa lalu penuh kejayaan yang tak terjangkau lagi, ketika Bandar Aceh (pernah) sejajar kota-kota kosmpolitan dunia seperti London, Amsterdam, New York, Dubai sekarang. Kini teronggok dan tak tertenggok di sudut Indonesia, sebuah lorong buntu diujung.
Biasanya ketika saya membaca sebuah buku maka sedikit banyak berusaha mencari roh sang penulis, kepada karakter mana sang pencipta tiupkan. Sebagaimana J.K Rowling mengakui dia memasukkan karakternya ke Hermione dalam serial Harry Potter. Saya menduga Azhari Aiyub memasukkan jiwanya ke tokoh Marabunta sang penasehat yang memuja kerang. Si usil yang menentang segala aturan, memberi nasehat-nasehat kebaikan untuk Anak Haram kemudian menghilang tanpa jejak tiba-tiba.
Saya tidak akan banyak bercerita tentang detil untuk menjadi spoiler bagi Novel Kura Kura Berjanggut ini. Novel ini menganggu pikiran dan menganggu perasaan, sebagaimana sebuah karya sastra yang baik memang untuk diciptakan untuk menganggu. Kata orang sebuah karya sastra adalah anak panah yang ditembakkan oleh si penulis, pembaca yang menentukan bagaimana persepsi terhadap karya sastra tersebut. Tapi bagi saya, Azhari Aiyub adalah seorang teroris, karyanya ibarat bom panci, penuh dengan paku dan beling yang menancap di otak saya. Maka untuk menyembuhkan luka batin saya akibat membaca buku ini, maka kita harus menjadi kanak-kanak yang polos ketika membaca Novel Kura Kura Berjanggut. Seorang anak berkali bisa jatuh dan terluka, tapi mereka selalu bisa bangkit dan tertawa kembali.
Kembali ke judul, Novel Kura Kura Berjanggut Apa Bagusnya? Tentu bagus, karena bagi saya sebuah karya sastra yang bagus adalah yang selesai! Ketika sebuah karya tidak selesai, maka ia tak akan pernah ada.
Selamat membaca Novel Kura Kura Berjanggut, dan selamat sakit kepala!